Kau tau bagaimana rasanya setelah dipaksa berlelah-lelah melawan hawa panas yang seakan membakar tubuh dengan mengitari lapangan rumput yang luasnya tak kira-kira kemudian kembali paksa untuk mempersiapkan diri dan otak melawan rumus-rumus serta ribuan angka gila berteori panjang yang sumpah demi apapun, Davira Faranisa membenci semua itu? Rasanya seperti anda menjadi Iron Man!
--dan kini gadis itu bisa sedikit bernapas lega sebab bel tanda istirahat kedua nyaring dibunyikan dengan nada panjang tiada hentinya. Di jam istirahat pertama, gadis itu tak bisa benar merasakan bebasnya makan bersama teman-temannya di dalam kantin atau hanya sekadar bernapas panjang sebab 'kerja rodi' ala-ala guru matematika yang sudah jahat dengan menghukumnya untuk lari mengelilingi lapangan sudah selesai dilaksanakan. Gadis itu masih harus mencatat beberapa materi yang diberikan selagi dirinya dihukum bersama Arka tadi pagi. Sebenarnya tak harus langsung mengumpulkan, boleh kala jam pulang datang menyapa. Namun bagi Davira selagi ia punya waktu, maka selesaikan saat itu juga! Sebab siapa tahu, jikalau beberapa menit ke depan ada sesuatu yang menghalangi niag baiknya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan padanya? Tidak ada. Jadi, antisipasi saja kalau-kalau semesta tiba-tiba bergurau dengan lawakan tak lucunya.
"Ra gak ke kantin?" tanyannya seseorang membuyarkan lamunannya. Gadis itu mendongak. Mengangkat kepalanya yang baru saja ingin ia letakkan di atas meja.
Davira menggeleng. "Gue capek banget, lo makan siang sendiri aja kali ini." Davira menimpali. Kembali meletakkan kepalanya di atas meja kemudian rapat menutup kedua matanya. Lawan bicara yang ia lontari pernyataan singkat yang berisi penolakan dari gadis berwajah cantik itu tak kunjung juga pergi. Ia masih mematung dan kini menarik kursi kayu di depan Davira. Ia mengetuk sisi meja Davira. Memaksa gadis itu untuk segera bangkit dan mengumpulkan lagi energinya.
"Pucet banget, lo." Ia mengulurkan tangannya. Menyentuh permukaan dahi teman sekelasnya yang kini berdecak sembari menyibakkan kasar tangannya.
Davina ikut bercedak. Gadis ini memang tak pernah bisa merasakan kebaikan dan kekhawatiran teman-teman di sekitarnya.
"Lo mau tidur di UKS aja?" Davina kemudian menawarkan.
Gadis di depannya bungkam sejenak. Menimbang-nimbang kalimat Davina yang mungkin saja bisa jadi solusi terbaiknya untuk bisa sedikit bersantai sembari membaringkan tubuhnya dan menutup matanya guna menghilangkan penat yang dirasa. Davira mengangguk. Tersenyum tipis kemudian bangkit dari kursinya. Ekspresi wajahnya berubah. Seperti berusaha berbicara tanpa kata pada Davina dengan mengatakan bahwa itu adalah ide yang bagus.
"Gue mau ke UKS," gumamnya kemudian. Davina tercengir kuda. Menggeleng samar untuk kelakukan aneh temannya ini.
"Gue anter, sekalian mau jalan ke kantin."
***LnP***
Keduanya berjalan ringan sedikit gontai untuk Davira Faranisa yang sedikit sempoyongan sebab rasa malas dan rasa lelah bercampur menjadi satu. Seakan beradu dan saling melawan untuk menjadi nomor satu yang akan mendominasi dalam diri gadis itu sekarang ini.
Tak ada percakapan yang berarti. Hanya diam sembari terus menatap jauh ke depan dengan langkah yang kian dipertegas.
--dan di sinilah mereka akhirnya berpisah. Davira memutuskan untuk berbelok ke arah kiri untuk sampai ke UKS sekolah dan untuk Davina, kantin adalah tujuan utamanya saat ini. Jadi sembari bergumam ringan dan melambaikan tangannya untuk memberi salam perpisahan sederhana nan singkat pada Davira meskipun nantinya setelah bel berbunyi mereka akan bersua lagi, kemudian mempertegas langkahnya untuk terus berjalan menuju kantin.
Petak ubin demi ubin ia lalui tanpa halangan apapun. Menghantarkan tubuhnya untuk segera datang dan masuk ke area kantin. Seperti dugaan, tak akan pernah sepi dan selalu ramai kalau jam istirahat tiba. Bahkan terkadang, saat jam pembelajaran berlangsung pun juga begitu. Meskipun tak seramai dan sepenuh saat istirahat tiba, namun pastilah kantin ini selalu terisi dengan beberapa manusia lapar yang ingin makan atau hanya sekadar memesan minum dan saling bertukar informasi sembari terkekeh ringan atau tertawa lepas.
Dari kejauhan nampak fisik sekumpulan remaja yang tak asing untuknya. Ditemani dengan beberapa mangkok kaca dan jajaran gelas yang sudah hampir kosong jikalau tak ada pecahan kecil es batu di dalamnya. Salah satu dari remaja-remaja yang masih kokoh dalam canda tawa dan senda gurau yang entah mengapa mereka semua bisa saling menertawai satu sama lain di muka umum tanpa ada rasa canggung dan 'jaim' sebab sekarang ini, semua pasang mata tertuju pada mereka. Bukan pasal tawa Candra yang menggelegar bak sambaran petir di tengah badai. Bukan juga perihal tingkah salah satu temannya yang sesekali memukul meja untuk menyela tawa dari teman yang lainnya. Sorot pasang mata yang tersita fokusnya itu sebab satu alasan yang jelas. Jajaran remeja yang sedang tertawa puas dengan suara berat saling sahut menyahut itu adalah mereka si tampan nan gagah berani yang gemar bermain basket di tengah lapangan. Mengibaskan poni atau hanya sekadar menyeka keringat dengan cara yang bisa dibilang 'super duper wow'! Davina mengenal salah satu dari mereka. Sebenarnya bukan hal salah satu, namun hampir semua.
Akan tetapi yang menyita fokusnya kali ini bukan paras tampan Adam Liandra Kin, melainkan Arka Aditya yang juga ikut tertawa lebar nan puas seakan melupakan segala lelah yang ditempuhnya pagi tadi bersama Davira Faranisa. Gadis itu mempercepat langkahnya. Terus memberi sorot matanya tajam membidik paras tampan milik Arka Aditya. Davina oleng dan mulai menyukai Arka? Oh, maaf! Anda salah. Tatapan fokus tak mau beralih pada siapapun dan hanya ditujukan untuk Arka itu sebab Davina mulai curiga, mungkinkah Arka akan meninggalkan dan mengabaikan Davira —sahabat kecilnya— lalu fokus pada teman-teman baru setimnya serta segala dunia baru yang berhubungan dengan bola basket?
Ada alasan yang jelas mengapa gadis itu bisa berpikir demikian. Arka pergi sebelum bel istirahat berbunyi. Berpamitan pada guru yang mengajar bahwa ia akan pergi ke ruang basket untuk mengurusi beberapa urusan sebentar saja. Namun seperti sudah menjadi sifat dasar seorang laki-laki mengenai dusta dan pandai bersilat lidah, remaja itu tak kembali hingga bel istirahat nyaring berbunyi. Davina pikir ada hal penting yang harus segera diselesaikan hingga membuat remaja itu tak sempat kembali dan harus tetap berada di dalam ruang basket. Salah dugaan! Sebab di sinilah remaja itu berada sekarang. Bersama teman-teman barunya dan sejenak melupakan Davira Faranisa.
"Dav, kok lo sendiri? Davira mana?" Arka akhirnya menegur Davina kala perawakan tubuh gadis itu berjalan kian dekat dengannya.
Gadis itu berhenti. "Di UKS, tidur. Katanya kecapekan. Mukanya juga pucet," terangnya mempersingkat.
Arka membulatkan sejenak matanya. Kemudian kembali pada raut wajah biasa yang membuat Davina sedikit heran, sahabat mana yang diam tak berkutit juga tak berekspresi khawatir kala tau sahabatnya sedang sakit?
"Nanti kalau masuk gue ke UKS," lanjutnya kemudian. Davina mengangguk. Melirik sejenak Adam yang kini diam menghentikan seluruh aktivitasnya. Menatap gelas kosong di depannya dengan tatapan penuh arti.
"Gue pergi dulu. Mau pesen makan," tutur gadis itu berlalu. Tak mau menatap Adam yang masih kokoh dalam diamnya tak mau menanggapi kalimat atau keberadaan Davina saat ini.
"Gue ke toilet dulu." Adam kini menyela. Bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ringan meninggalkan temna-temannya yang kini bungkam sebab suasana lain tak seperti sebelumnya sedang tercipta saat ini. Adam pergi tanpa mau mendengar respon dari teman-temannya untuk menjawab kalimat yang ia lontarkan sebelumnya, sedangkan Arka diam tak bersuara sembari terus menatap langkah teman seperjuangnya itu. Tatapan remaja itu pun sedikit aneh. Seperti sedang menaruh kecurigaan besar pada Adam. Juga Davina yang belum jauh dari posisi mereka ikut menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya serong dan menatap kepergian Adam dengan langkah yang terkesan terburu-buru.
Dalam tebakan Davina maupun Arka, remaja itu sedang dusta. Bukan toilet tujuannya, melainkan UKS untuk menyusul Davira Faranisa.
***LnP***
Di ruang sempit berbentuk petak dengan satu pendingin ruangan yang sedang menyala guna menghalau panas datang inilah Adam berada. Bukan toilet kecil minim oksigen yang menjadi tempat singgahnya setelah berhasil menerobos kerumunan manusia lapar di dalam kantin dan setelah selesai menyusuri lorong demi lorong yang ada. UKS! Benar tebakan Arka juga Davina kalau Adam sedang dusta saat ini.
Ia menatap sesosok tubuh yang terbaring dengan selimut tipis di atasnya. Tatapan matanya memang tak langsung jatuh pada objeknya kali ini, sebab ada sekat kaca besar bewarna hitam yang membuat samar terlihat siapapun yang ada di sebarang sana. Juga ada tirai yang mengahalangi antar satu ranjang dengan ranjang lainnya.
Adam ikut masuk ke dalam. Mengambil tempat kosong di sisi ranjang yang ditempat itu oleh Davira. Tubuh jangkungnya kini berbaring dengan posisi miring. Sedikit membuka bagian ujung tirai hijau di sisinya agar bisa menatap paras cantik Davira dari samping.
"Kamu beneran tidur?" tanyannya lirih.
Tak ada jawaban apapun dari si gadis. Membuat Adam kini yakin bahwa Davira sudah masuk ke dalam mimpinya. Remaja itu tersenyum tipis. Ini 'kah yang disebut tidur berdua tapi tak di atas ranjang yang sama? Meskipun ranjang tak sama, namun Adam harap rasa yang mereka miliki lekas disamakan oleh semesta. Agar ia tak perlu menahan sesak di dadanya sebab beribu kalimat menyakitkan yang terus saja dihujankan Davira padanya.
"Kamu cantik," gumamnya di sela-sela senyumannya. Remaja itu menjulurkan tangannya ke depan untuk bisa menyentuh sisi wajah gadis itu. Akan tetapi ....
"Jangan sentuh aku." Suara tiba-tiba terlontar keluar dari mulut gadis itu. Matanya perlahan terbuka. Baiklah, Davira tak benar tidur sekarang ini.
Adam diam. Cepat menarik tangannya untuk kembali pada posisi semula. Remaja itu bangkit. Kini membuka lebar tirai yang menjadi sekat di antara keduanya.
"Kau gak tidur?"
Gadis itu diam. Memiringkan kepalanya kemudian mendesah kasar. Tubuhnya cepat bangkit tanpa mau merubah posisi hadapnya.
"Ngapain kamu ke sini?"
"Aku kecapekan. Pengen istirahat," jawab Adam beralasan.
Bohong! Memang salah satu sifat seorang remaja brengek itu adalah pandai dalam berbohong.
"Kalau gitu aku pergi." Gadis itu kini menyibakkan kasar selimutnya. Menurunkan keduan kakinya dan bergegas menggunakan sepasang sepatu yang beberapa waktu lalu ia lepas.
"Kamu boleh tetap di sini—"
"Aku tak suka berada dalam satu ruangan dengan orang asing." Gadis itu menyela. Sukses mengenakan sepatunya dan kini bangkit dari ranjang yang sedari tadi menopang tubuhnya.
"Aku 'kan bukan orang asing untuk—"
"Jangan harap kita bisa dekat dan berteman hanya karena kita sering bertemu dan kamu pernah datang ke rumahku," tuturnya kembali memotong kalimat Adam.
"Bahkan, maling pun bisa datang ke rumah korbannya dan berpura-pura akrab untuk mengambil barang berharga di dalam rumah!" pungkas Davira menutup kalimatnya dan berlalu.
Lagi-lagi, kalimat yang keluar dari mulut gadis cantik jelita itu sangatlah menyakitkan dan menyayat hati.
...To be Continued..