webnovel

Love Mare

Love Mare, Love and Nightmare. Love is never a nightmare. Nightmare never relates to love. Pasalnya, malam itu, Suzumi Yukiko membuktikan bahwa kisah cintanya menjadi mimpi terburuk dalam hidupnya, menjadi satu-satunya unsur minus dalam hidupnya yang hampir sempurna. Di malam ketika Ryoma Ayato ㅡkekasihnyaㅡ melamarnya, di malam itu juga, ia harus berjuang sendiri untuk mencapai epilog bahagia bagi kisah cintanya, sekaligus hidupnya.

Seasonal_Girls · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
10 Chs

Chapter 8

"Ada yang perlu kubicarakan denganmu."

"Tentang apa?" tanya Mai Hatsumi, masih dengan senyum sopannya. Aku menarik cokelat itu kembali karena ia tak tampak berminat mengambilnya.

"Di luar saja."

"Tapi, aku belum selesai membersihkan kelas."

Aku berbalik sebelum berucap lagi. "Aku akan menunggu di luar."

Aku menunggu sekitar 5 menit sampai gadis itu keluar dari kelasnya dan menghampiriku. Namun, kali ini, tidak lagi dengan senyuman sopannya tadi.

"Ada apa, Kakak Senior?"

"Kau sedang bertengkar dengan sahabatmu? Suzumi Yukiko?"

Aku bisa melihat air wajahnya yang berubah muram. Ia menatapku datar seolah bertanya dari mana aku tahu tentang hal ini. Namun, dari nanarnya yang tampak berkaca, aku tahu bahwa keadaannya tak jauh lebih baik daripada Suzumi Yukiko.

Mereka berdua sama-sama hancur.

Ia berbalik, kali ini menghadap ke arah lain sejenak sebelum kembali menatapku. "Maaf? Pertama, itu masalah pribadiku. Kedua, apa yang membuat Senior mengambil kesimpulan seperti ini?"

Kau sama saja dengan Suzumi Yukiko, Mai Hatsumi. Sama-sama hancur dan sama-sama apik sekali ketika menyembunyikan kehancuran kalian.

Aku menghela napas kemudian mengangkat bahuku. "Baiklah, maaf bila aku terkesan ikut campur dalam masalah kalian. Aku hanya sedikit penasaran melihat Suzumi Yukiko yang tampak sangat murung dan hancur. Sebagai senior yang baik, tidak salah 'kan kalau aku sedikit memperhatikan juniorku?"

Melihat bagaimana gadis itu kini menyeringai, aku merutuki perkataanku. Seluruh isi sekolah tahu aku bukan orang yang peduli pada siapapun. Bahkan bila mereka saling beradu tonjokan di depanku, aku tidak akan peduli. Bodoh sekali, Ayato! Ayolah, di depanku ini Mai Hatsumi, gadis ini jelas bukan gadis yang bodoh. Dari tatapannya saja, ia jelas sedang menelisik gerak-gerikku.

Untuk menyudahi kebodohanku, aku berbalik membelakanginya. Oh, ya, cokelat Eiji.

Dengan gaya sok keren, aku melemparkan cokelat itu ke arah Mai Hatsumi yang langsung ditangkapnya. "Itu pemberian Eiji, temanku."

Aku rasanya sudah ingin terbirit-birit karena malu, tapi gadis itu lagi-lagi memanggilku dan aku terpaksa berhenti.

"Tunggu, Senior!"

Sebelum aku sempat berbalik, gadis itu menarik tangan kananku dan langsung meletakkan cokelat itu di telapak tanganku. Kemudian, ia berjinjit dan berujar di dekat telingaku.

"Senior, kau tahu? Suzumi Yukiko bukan seseorang yang mudah ditebak, bahkan aku pun membutuhkan bertahun-tahun untuk mengerti perasaannya melalui tindakannya. Bahkan, tidak ada satu pun anak laki-laki lain yang sangat menyukainya dan selalu mengekorinya yang tahu bahwa ia sedang hancur. Kau tampaknya sangat memperhatikan sahabatku, Senior."

Gadis itu kemudian menepuk bahuku dan melenggang pergi begitu saja.

Aish, sial! Sudah kuduga Mai Hatsumi itu kelewat jenius!

"Ah, satu lagi."

Gadis itu berbalik kemudian mengulas senyumnya. "Sampaikan ucapan terimakasih-ku pada Senior Hasegawa atas cokelatnya dan perhatiannya padaku. Tapi, aku bukan penggemar cokelat."

Aku menepuk jidatku berkali-kali. Bodoh, bodoh, bodoh!

***

"Minggir." perintahku pada Eiji yang sedang berbaring di kasurku dengan kaki dan tangannya yang dilebarkan.

"Cuih! Pelit sekali." komentarnya kemudian bangkit duduk. Aku mengeringkan rambutku, menunduk untuk mengendus seprai kasurku.

"Bau." komentarku singkat, mendelik kepada Eiji sebagai tanda aku menyalahkannya atas bau tak sedap itu. Padahal satu-satunya bau yang tercium olehku adalah bau pelembut fabrik.

"Enak saja! Aku datang ke sini setelah mandi, sabun mandiku itu sabun mahal, tahu?!" protesnya sembari melemparkan bantal kepadaku.

"Oh, ya! Bagaimana?"

Eiji menatapku dengan cengiran lebarnya, sesekali alis kanannya terangkat jahil.

"Apa?"

"Cokelatku? Apakah Mai Hatsumi menerimanya? Ah, pasti ia menerimanya! Duh, bayangkan ia tersenyum manis dan berterima kasih!"

Eiji bangkit dan duduk di sampingku kemudian mengguncang-guncang bahuku. "Beritahu aku, semanis apa senyumnya!"

Aku menepis tangan Eiji, beranjak untuk mengambil ransel sekolahku dan mengeluarkan bungkusan cokelat berpita itu. Dengan wajah tanpa rasa bersalah, aku merobek pita itu dan bungkusan cokelatnya, kemudian melahapnya langsung.

"KAU TAK MEMBERIKANNYA PADA MAI?!" hardik Eiji setelah menyadari bahwa itu adalah cokelat pemberiannya.

"Dia tidak mau."

"BOHONG!"

"Ck, serius."

"KALAU KAU JUGA INGIN, BILANG SAJA! AKU 'KAN BISA MEMBERIKANMU, KENAPA HARUS MENGAMBIL MILIK MAI?!"

"Sudah."

"SUDAH APANYA?!"

"Berisik."

"KEPALAMU BERISIK!"

Aku berdecak, 'kan bukan salahku Mai Hatsumi menolak cokelatnya. "Aku sudah memberikannya kepada Mai Hatsumi, ia yang menolak. Ia tak suka cokelat."

"Bohong!! Pasti kau tak memberikannya!"

"Terserah." Aku meronyokkan bungkusan cokelat itu kemudian melemparnya ke tong sampah. Aku keluar dari kamarku, menghiraukan delikan tajam yang sarat akan kemusuhan dari Eiji. Menghampiri dapur, aku memasak dua bungkus udon instan dan membawanya ke atas. Cara membungkam Eiji.

Saat aku naik ke atas dan menaruh dua mangkuk udon instan itu di meja, Eiji masih tetap mendelik. Namun, tangannya segera meraih sumpit.

"Kumaafkan kau, awas saja lain kali." ancamnya.

Setidaknya, ia akan diam selama beberapa saat. Dengan khidmat, kami menghabiskan dua mangkuk udon ini dan aku langsung merebahkan tubuhku ke kasur yang diikuti Eiji.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku skeptis saat Eiji merebahkan tubuhnya di kasur berukuran 180 sentimeter-ku.

"Tidur siang."

"Turun."

"Hah? Untuk apa?"

"Kau 'kan pelayan, tidurnya di lantai."

"Sialan!" umpat Eiji sambil melempariku bantal. Akhirnya, kubiarkan ia tidur di sampingku. Tak lupa memberi batasan berupa guling di tengah-tengah kami.

***

Sekitar pukul 8 malam kami terbangun dan aku langsung mencuci wajahku sementara Eiji turun untuk menyeduh kopi.

"Belajar apa kita hari ini?" tanya Eiji.

"Matematika." ucapku dan aku bisa mendengar Eiji yang mendengus lengah. Tidak ada ulangan Matematika mendatang yang mengharuskan kami untuk belajar sebenarnya, tapi aku hanya senang membuatnya tertekan.

Aku berbalik dan merogoh tas ransel untuk mencari buku paket Matematika-ku, tapi anehnya, buku itu tidak ada.

"Mana bukumu?" tanya Eiji. Wajahnya separuh senang dan separuh berharap agar aku tidak bisa menemukan buku itu.

Sial, sepertinya aku meninggalkannya di sekolah.

"Ya, sudah. Besok saja belajarnya, hari ini kita bermain game." Eiji menutup buku.

"Ayo ke sekolah." ujarku, mengambil jaket yang tergantung di pintu kamarku.

"Hah?"

"Ayo ambil buku Matematika-ku."

***

Oke, sekarang aku menyesal.

Setelah membujuk (tepatnya mengancam) Eiji untuk menemaniku ke sekolah, kami sampai di sekolah dengan diantar supir. Sampai di sekolah dan melihat betapa gelapnya keadaan sekolah di jam 9 malam membuatku memaki diriku sendiri di dalam hati.

Apa yang membuatku berpikir untuk ke sekolah semalam ini? Hanya untuk buku Matematika?

"Kau tunggu di mobil saja." ucapku pada Eiji, karena jujur saja, aku tiba-tiba merasa bersalah memaksanya ikut denganku ke sekolah malam-malam begini.

Angin malam dan suasana sekolah yang gelap membuatku merinding setengah mati. Dan sialnya, aku tidak menemukan buku-ku sama sekali di kelas. Aku sudah mengacak-acak meja dan lokerku tetapi tetap tidak menemukannya.

Oh, rooftop?

Apakah aku meninggalkannya di sana? Mengingat seminggu ini aku selalu makan dan belajar di sana.

Oke, mari segera ambil bukuku karena aku ingin segera pulang.

Separuh berlari, aku menaiki tangga ke rooftop dan membuka pintu itu. Betapa bersyukurnya aku ketika aku menemukan buku itu tidak jauh dari pintu yang kubuka sekarang.

Meraih buku Matematika itu, aku menyingkirkan debu yang menempel dengan tanganku sebelum atensiku berpindah pada ujung rooftop.

Seorang gadis dengan tubuh semampai dan rambut panjang kecoklatan berdiri tegak di atas kursi. Saat tangannya meraih ujung dari pagar tinggi yang sengaja dibangun agar tidak ada murid yang terjatuh, aku berlari sekuat mungkin ke arahnya.

Tidak, tidak, biarkan aku menyelamatkannya.

Aku menarik ujung sweater dari seragam gadis itu ke arahku, membuat ia terkejut. Tubuhku yang tidak seimbang membuatku terjatuh ke lantai, disusul dengannya yang ikut terjatuh menimpaku.

"Ugh..." ringis gadis itu dan ia mengangkat tubuhnya.

"Ayato?!"

Aku mengangkat kepalaku sedikit untuk melihat siapakah gadis ini dan malam itu, aku bersyukur aku datang ke sekolah semalam ini.