webnovel

Love Is Universal

Bagaikan daun pada musim gugur yang lepas dari pohonnya dan jatuh indah ke tanah yang tidak akan pernah tumbuh lagi. Namun satu hal yang harus kita ketahui, bahwa daun dapat kembali tumbuh pada pohonnya lebih indah lagi dari sebelumnya yang membuat daun tersebut bersatu kembali dengan poros kehidupan. Begitu juga dengan cinta yang akan pergi serta kembali kapanpun ia mau. Bahkan di dalam cinta banyak hal yang tidak masuk akal menjadi masuk akal dalam artian nyata. Perbedaan apapun itu tidak ada yang mampu melarang cinta itu untuk tumbuh, Tidak ada yang bisa melarang hati setiap manusia kemana ia akan berlabuh. ...Cinta itu luas, dia universal. Maka dari itu, dibutuhkan pemikiran yang terbuka dalam membaca cerita ini... -CINTA ITU TERLALU UNIVERSAL UNTUK KITA BATASI- "Aku berharap dia mencintainya apa adanya." "Jangan pergi." "Jangan tinggalkan aku." "Mengapa kau tidak mendorongku dan membiarkanku dari awal?" "Kenapa?" "Kenapa kau membiarkanku jatuh terlalu dalam?" "Mengapa kau tidak meninggalkanku?" "Aku mencintaimu!" "Aku telah menunggu mu selama ini di sini."

DindaTarigan · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
267 Chs

LIU | 18

"P-pulang." Katanya takut.

Matanya sudah dipenuhi oleh genangan air yang siap tumpah kapanpun itu.

Gavin hanya diam saja memandang ke arah Gray, tidak lama. Setelah itu ia melangkahkan kakinya tidak tahu kemana yang otomatis Gray mau tidak mau harus mengikuti kemana Gavin akan membawanya pergi.

Ia tidak berani mengangkat kepalanya, ia masih takut. Ia menahan suaranya, menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara isakan. Iya, Gray menangis. Saat ini Gray sedang menahan suaranya karena sungguh ia sangat takut pada Gavin yang seperti itu.

BUK!

Langkah kaki Gavin yang secara mendadak berhenti itu membuat Gray mau tidak mau harus menubruk punggung Gavin. Sejujurnya Gavin tidak berhenti secara mendadak, hanya saja Gray yang tidak melihat jalan.

"Saya ambil ini." Kata Gavin mengangkat sebuah boneka yang diinginkan oleh Gray.

Ah, ternyata Gavin membawa mereka ke toko tempat dimana boneka yang diinginkan Gray berada.

"Sebentar." Kata sang pelayan mengambil boneka yang ada di tangan Gavin dan membawanya ke kasir untuk dihitung harganya. Lebih tepatnya untuk membuat struck tanda barang tersebut sudah menjadi milik Gavin.

Setelah menunggu kurang lebih dua menit, akhirnya pelayan itu kembali dan menberikan boneka tersebut pada Gavin.

"Ini tuan." Kata sang pelayan seraya memberi boneka yang diminta Gavin.

Tidak heran kalau mereka mendapatkan pelayanan khusus seperti itu mengingat semua orang sudah tahu siapa dirinya.

"Terimakasih." Katanya kini memutar tubuhnya menghadap ke arah Gray.

Sedikit ada penyesalan yang melandanya saat melihat bagaimana kondisi Gray saat ini.

"Ini." Katanya menyerahkan boneka yang diinginkan oleh Gray tadi.

Gray dapat melihat boneka yang ia inginkan kini berada dihadapannya. Ia mengangkat kepalanya guna melihat siapa yang memberikan boneka itu padanya dan apa yang sedang terjadi.

Saat tahu siapa yang memberikan boneka tersebut, ia kembali menundukkan kepalanya. Ngomong-ngomong ia masing takut dengan Gavin.

"T-tidak jadi. A-aku ti-tidak menginginkannya lagi." Sungguh jawaban yang memancing emosi.

"Aku sudah membelinya, kau tidak bisa memulangkannya lagi. Jadi, ambillah!" Titahnya.

"Sungguh, aku tidak menginginkannya." Memang Gray sungguh memancing kesabaran orang lain.

Tadi ia sangat menginginkannya, lalu sekarang? Sungguh di luar dugaan, namun ini juga salah Gavin yang membuatnya menjadi takut seperti itu.

"Ambil atau kau ingin aku tinggalkan di sini? Aku sudah membelinya Ray! Tidak munginkan aku memulangkannya?"

"T-tapi tadi--"

"Kalau kau tidak mau, yasudah. Terserahmu! Aku akan membuangnya." Kata Gavin mencampakkan boneka itu begitu saja.

Ia kesal. Sudah dibelikan malah ditolak. Gavin melepaskan ikatannya dengan Gray.

"Sekarang terserah kau mau apa." Katanya berlalu pergi tidak peduli dengan tatapan orang yang ada disekitar sana sedang menatap ke arah mereka.

Tidak peduli dengan status keluarganya.

Tidak peduli bagaimana perasaan Gray saat ini.

Gray yang memang sedari tadi sudah menahan suara tangisannya hanya mampu diam berdiri bagaikan patung menatap nanar ke arah boneka tersebut dan ke arah Gavin secara bergantian.

Hingga menit berikutnya ia mengambil boneka tersebut dan berniat untuk menyusul Gavin. Namun sangat disayangkan, ia kehilangan jejak Gavin dan itu membuatnya takut.

"Vinvin?" Lirihnya mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Gavin.

Sungguh Gray sangat takut di tinggal sendirian seperti ini ditambah ia mengingat perkataan Gavin soal penculikan.

Gray juga tidak tahu arah, ia buta arah. Ia juga tidak tahu mall apalagi struktur bangunannya yang memiliki banyak lorong, belokan, atau apapun itu.

"Vin-- Maaf hiks..."Akhirnya suara tangisannya itu keluar juga dengan air yang ikut mengalir keluar dari matanya yang indah.

"Vin hiks... Vinvin..." Panggilnya terus berjalan ke arah dimana Gavin menghilang dari pandangannya.

Gray sendiri tidak peduli kalau ia menjadi bahan tontonan pengunjung mall yang ada di sana. Ia hanya mau ingin menemukan keberadaan Gavin.

Sementara pengunjung yang menonton semua drama keluarga terpandang dan terkenal di kalangan bisnis bisa dikatakan mereka itu raja bisnis merasa gemas sendiri. Ditambah wajah Gray yang terlihat semakin menggemaskan ketika menangis seperti itu. Ingin rasanya mereka memberitahu keberadaan Gavin karena pada dasarnya mereka mengetahui dimana Gavin berada.

Ya, siapa juga yang tidak tahu keberadaan Gavin? Mereka semua pasti tahu dimana Gavin yang tentu saja melalui media sosial yang mereka punya. Gavin masih berada di mall tersebut.

Tidak mungkin kan ia pergi meninggalkan adik kesayangannya? Sementara Gray? Ya sama saja, dia juga tidak mungkin meninggalkan anak dari pamannya itu. Bisa di bunuh dia. Itupun kalau pamannya peduli sama anaknya. Eh.

"Hiks... Vinvin hiks... Mana..." Isak Gray terus berjalan tidak menentu arah sambil memeluk erat boneka yang tadi di beli Gavin dan sempat di tolaknya.

Ngomong-ngomong ia lelah, tapi ia harus menemukan Gavin.

Sementara itu orang yang sedari tadi di cari Gray sedang berjalan menuju ke arah dimana adiknya berada. Tadi Gavin sempat bertanya dimana adiknya berada, jadi ia melangkahkan kakinya ke tempat dimana adiknya berada setelah ia mendapatkan balasan dari sang adik tentang dimana ia berada. Melupakan fakta kalau ia sedang membawa anak pamannya yang mungkin saja bisa terancam keselamatannya kapanpun itu.

Kalau Gavin dan Yervant itu sudah biasa dengan hal seperti itu, jadi tidak heran lagi kalau mereka menyembunyikan sesuatu yang berbahaya di balik baju mereka yang mewah itu.

"Sudah selesai?" Tanya Gavin saat ia sudah menemukan adiknya.

"Sudah! Coba lihat, bagus kan?" Kata Yervant sang adik begitu antusias memperlihatkan kalung yang tampak sederhana namun bernilai kalau di jual dan harganya itu tidak main-main.

"Hm... Aku akan ke sebelah. Mau ikut?" Tanya Gavin pada adiknya.

"Hum! Aku juga sudah selesai, jadi tidak masalah kalau aku ikut." Jawabnya yang dibalas dengan anggukan dari Gavin.

Sesampainya mereka di tempat yang dimaksud oleh Gavin, mereka menuju ke suatu rak dimana di sana tersusun rapi perlengkapan melukis. Ya, Gavin tidak melupakan tujuan awalnya datang ke mall bersama adik dan anak pamannya yang sampai sekarang ia juga belum sadar kalau ia meninggalkan anak pamannya itu entah dimana.

Gavin mengambil semua barang sesuai keperluan Gray. Ia tidak tahu apa aja yang dibutuhkan oleh Gray karena ia sendiri tidak paham mengenai dunia per lukisan. Jadi, Gavin mengambil beberapa kuas dengan ukuran yang berbeda serta cat warna yang ia tidak tahu apakah cat warna yang ia ambil sudah benar atau belum.

Jangan lupakan kanvas, mungkin saja kanvas Gray sudah habis begitu pikirnya.

Setelah Gavin merasa kalau apa yang ia beli semuanya sudah cukup lengkap untuk keperluan Gray atau bisa saja kelebihan. Ia tidak tahu.

Sudah dikatakan kalau ia tidak paham tentang dunia lukis bukan? Sementara Yervant hanya diam melihat apa saja yang kakaknya itu beli karena ia bingung dan berpikir, sejak kapan kakaknya suka melukis?