webnovel

9 – Demon dan Vea 

"Ini sudah lewat tengah malam," aku mengingatkan Key, yang lagi-lagi mengabaikanku, seolah aku tak ada.

Lalu, kembali terdengar teriakan kesakitan Vea. Jika begini terus, bisa-bisa dia akan mati.

Aku menarik napas dalam, bangkit dari dudukku dan menghampiri Key. Aku menyentuh bahunya pelan.

"Cukup untuk malam ini, Key. Kau bisa membunuhnya," kataku.

"Jangan ganggu aku, Crystal. Dan aku tidak akan pergi sampai dia mengatakan apa yang ingin kuketahui," sahut Key keras kepala.

"Jika dia mati, tak ada yang bisa kau dapatkan darinya," sebutku.

"Jika dia mati, maka itu sayang sekali. Tapi toh aku masih bisa berburu para Pemburu lainnya besok," jawabnya santai, seolah membunuh adalah hal yang biasa dia lakukan. "Kenapa? Itu membuatmu lebih jijik lagi padaku? Tapi, lalu bagaimana? Kau bahkan tak akan bisa meninggalkan rumah ini kecuali aku mengizinkanmu pergi."

Lalu, kembali terdengar teriakan kesakitan Vea. Sial, Key marah padaku dan melimpahkannya pada Vea.

"Key, hentikan! Dia bisa mati!" sentakku.

Key akhirnya menoleh padaku. "Kenapa jika dia mati? Kau kasihan padanya padahal dia sudah menyerangku? Dan kau jijik padaku karena aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan? Atau, kau lebih suka jika aku membiarkan dia pergi dan memberitahukan pada teman-temannya untuk menyerangku di sini? Kau lebih suka begitu?"

Aku mengepalkan tangan marah. Ini sudah keterlaluan.

"Jijik padamu? Ya, karena sikapmu yang seperti ini. Aku benci melihatmu menyiksa orang lain dan aku benci karena kau mengabaikanku. Kenapa aku harus berada di sini dan melihatmu melakukan semua itu? Aku bahkan tidak bisa menemukan jalan pulang ke rumahku yang nyaman dan damai, tapi aku masih harus melihatmu menyiksa orang lain di depan mataku? Pikirkan aku sedikit saja, tidak bisakah kau?!

"Aku sudah menceritakan padamu kehidupan macam apa yang kujalani sebelum aku terdampar di dunia ini, tapi apa yang kau lakukan? Kau mengurungku di sini, membuatku melihatmu menjadi pria kejam yang suka menyiksa. Setidaknya, perhatikan aku, sialan! Atau biarkan Demon atau siapa pun orang yang kau percaya pergi denganku jika yang bisa kau lakukan untukku hanyalah mengabaikanku!" Aku meneriakkan amarahku.

Key tampak terkejut, lalu suara Demon di belakangku membuatku menoleh,

"Astaga, apa-apaan ini?!"

Demon berdiri di dekat sofa tempat aku biasanya duduk menunggu. tapi tempat itu tampak berantakan seolah barusan ada angin ribut di sana. Sofanya terbalik dan barang-barang di sekitarnya berserakan berantakan. Seketika, aku menoleh pada Key.

"Kau menggunakan kekuatanmu? Padaku?" Aku melotot tak percaya.

"Aku …" Key tiba-tiba berhenti, lalu menggeleng. "Maaf, aku juga sudah sangat lelah hari ini."

Aku mendengus tak percaya. Aku sudah hendak meneriakkan umpatan padanya ketika Demon berseru marah,

"Astaga, Key! Apa yang kau lakukan padanya?" Demon berjalan cepat menghampiri Vea yang sepertinya sudah tak sadarkan diri. "Pantas saja aku merasa hampir mati malam ini. Kau …"

Key menatap Demon, lalu menatap Vea. "Kalian … benar-benar terikat? Tapi … bagaimana bisa?"

Demon menggeleng. "Oh, sial," umpat Demon seraya memeriksa nadi Vea. "Kau benar-benar nyaris membunuhnya. Dan juga aku."

Key tampak menyesal. "Maaf, aku sedang bertengkar dengan Crystal dan …" Key mengangkat tangannya pasrah.

Demon mendengus tak percaya. Dia melayangkan tangannya ringan, melepaskan ikatan tak tampak yang mengikat Vea di kursi. Lalu, dia mengangkat Vea dalam gendongannya dengan mudah.

"Aku akan menggunakan salah satu kamar di rumah ini sementara kalian berdua bereskan kekacauan yang kalian sebabkan," katanya seraya mengedikkan kepala ke arah sofa, sebelum menghilang.

Key mendesah berat begitu hanya tinggal aku dan dia di sini. "Maaf," katanya lagi.

Melihat kesungguhan dalam suaranya, aku mendapati sulit untuk tetap marah padanya.

"Kau juga berniat menyerangku?" tanyaku, masih sedikit kesal.

Key menggeleng. "Tidak pernah," jawabnya, begitu mantap, meyakinkan.

Aku mendesah berat. "Aku akan kembali ke kamarku. Kurasa kau tidak akan kesulitan membereskan ini, kan?" Aku mengikuti cara Demon mengedikkan kepala ke arah kekacauan yang dibuat Key tadi.

Namun, ketika aku berbalik, Key menahan lenganku. "Maaf, karena aku belum bisa menepati janjiku padamu. Maaf, karena aku mengabaikanmu. Maaf, karena aku membuatmu melihatku menjadi pria kejam yang membuatmu jijik. Maaf, karena aku bahkan tidak bisa membiarkan kau pergi meski kau bersama Demon. Aku hanya tidak percaya padanya, sungguh," dia berkata.

Aku kembali menatapnya dan pria itu tampak sedih, terluka. "Kau masih perlu minta maaf karena kekacauanmu itu." Aku menyinggung kekacauan di sudut ruangan.

Key mendengus kecil, mengangguk. "Maaf," ucapnya seraya tersenyum tipis.

Sekarang aku bisa melihat betapa dia juga sudah sangat lelah. Sial, kenapa aku harus membuat ini semakin sulit baginya? Tadinya aku hanya … kesal karena dia hanya memusatkan perhatiannya pada Vea dan mengabaikanku sepenuhnya. Sepanjang hari. Namun pada akhirnya, aku mengatakan hal-hal yang tak kuniatkan padanya.

"Kau pasti lelah," dia berkata.

Tidak selelah dia, tentu saja. Aku hanya duduk dan melihatnya, sementara dia terus menggunakan kekuatannya.

"Akan kuantar ke kamarmu," lanjutnya, seraya menarikku dalam peluknya. Ketika dia melepaskanku, aku sudah berada di kamarku. "Tidurlah," katanya.

Aku mengangguk. Key lalu berbalik, berjalan ke pintu kamar, tapi dia menghentikan langkah tepat di depan pintu kamarku.

"Apa aku … begitu menjijikkan di matamu kini?" tanyanya.

Oh, sial. Mendengar dia mengatakan itu entah kenapa terasa menyakitkan. Aku menghampirinya. Kurasa aku tak berpikir ketika aku melingkarkan lengan di pinggangnya, memeluknya dari belakang.

"Maaf, aku juga tidak bermaksud mengatakan itu. Aku hanya kesal karena harus terkurung di sini. Dan melihatmu menyiksa orang seperti itu … aku tidak suka, Key. Aku … maaf, kurasa aku juga sudah bertingkah konyol malam ini. Aku juga sepertinya sudah terlalu lelah hingga melemparkan kata-kata seperti itu padamu," ucapku sepenuh hati.

Key melepaskan pelukanku. Apa dia marah?

Pria itu berbalik, dan tersenyum. Lega. Lalu, tanpa mengatakan apa pun, pria itu kembali merengkuhku dalam peluknya. Cukup lama. Namun, aku tidak berusaha menarik diri. Mungkin, dia sedang butuh penghiburan, atau sandaran. Yah, setelah apa yang kukatakan tentangnya tadi, sampai dia semarah itu, dia pasti sangat terluka.

"Maaf," kataku lagi.

"Bukan salahmu. Aku yang keterlaluan," balasnya.

Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan tentang siapa yang bersalah di sini karena tidak ingin membuatnya semakin lelah.

"Tidurlah," katanya kemudian, tapi dia masih memelukku.

"Well, aku juga ingin tidur, tapi aku tidak akan bisa pergi kecuali kau melepaskanku," sebutku.

Key tertawa pelan ketika akhirnya melepaskan pelukannya. "Aku akan memeriksa Demon dan Vea sebelum tidur," beritahunya. Yah, aku tidak terlalu ingin tahu, tapi aku lega mendengar itu. Dia masih Key yang kukenal.

"Sampai besok, Crystal," pamitnya, sebelum dia membuka pintu dan meninggalkan kamarku.

Ketika aku sudah sendirian, aku tak dapat menahan senyumku. Aku bahkan melompat-lompat riang dalam perjalanan ke tempat tidur. Dengan lompatan tinggi, akhirnya aku mendarat di atas tempat tidur. Kurasa, aku akan tidur dengan nyenyak malam ini.

***

Aku mengerutkan kening ketika melihat Demon duduk di ujung tempat tidur tempat Vea berbaring tak sadarkan diri. Tangannya menggenggam erat tangan Vea, sementara di belakangnya, berdiri Key yang mengawasi mereka berdua. Lagi, aku memimpikan mereka. Namun, kali ini ada Vea.

"Dia datang lagi. Tentu saja, dia baru saja menggunakan kekuatannya," Demon berbicara pada Key tanpa menatap Key.

"Aku tahu," balas Key pendek. "Jadi, kau benar-benar terikat dengan gadis ini? Vea?" Key bertanya pada Demon, memastikan.

Demon mengangguk. "Sepertinya begitu. Tapi, aku tak tahu ikatan macam apa yang ada di antara kami."

"Kau mungkin bertanggung jawab atas kematian keluarganya," sebut Key.

Demon menggeleng. "Aku mencari tahu dari Raja Iblis tentang pembantaian itu dan itu terjadi bahkan sebelum dia memerintah."

"Lalu apa?" Key tampak tak punya petunjuk. "Kurasa, aku akan masuk ke dalam pikirannya lagi. Dia tidak akan bisa terlalu menolak dengan keadaan seperti ini. Tapi, ini akan sedikit menyakitkan. Kau tidak apa?" Key meminta izin.

Demon mengangguk. Lalu, aku melihat genggamannya di tangan Vea semakin erat. Selama beberapa saat, mereka tak bicara. Hingga kemudian, Key mendengus tak percaya.

"Dia pernah sekali berusaha membantu adikmu kabur, tapi gagal," Key berkata.

"Dia … apa?" Demon akhirnya menoleh pada Key.

"Berusaha membantu adikmu, tapi gagal. Ada yang melihatnya, jadi dia terpaksa kembali mengikat adikmu. Tapi …" Key menggantung kalimatnya. "Di tepi hutan Perbatasan, tepat di balik pepohonan tempat aku meninggalkan adikmu, dia membuat pingsan dua orang Pemburu yang mengendap-endap di sana. Setelah itu, dia melihat adikmu, yang juga melihatnya. Adikmu tersenyum padanya, menggumamkan sesuatu yang tak jelas sebelum pergi."

"Menggumamkan apa?" desak Demon. "Tempat persembunyiannya? Atau apa?"

Key mengedikkan bahu. "Tidak jelas. Kusarankan kau bertanya sendiri pada Vea begitu dia sadar. Itu pun jika dia mau memberitahumu."

"Tentu saja, dia akan," sahut Demon seraya kembali menatap Vea.

"Tapi, Demon," panggil Key. "Bagaimana jika … adikmu yang mengikat kalian karena kejadian itu?"

Demon mendengus tak percaya. "Kenapa dia harus melakukan itu?"

"Untuk memberimu petunjuk, mungkin. Bahwa dia selamat, bahwa dia baik-baik saja. Atau, bahwa gadis ini telah menyelamatkannya, jadi kau tidak boleh menyakitinya karena adikmu yang seharusnya terikat padanya. Tapi seingatku, satu-satunya orang yang terikat adalah yang diselamatkan, dan itu tak bisa dilemparkan, kan?" Key mengerutkan kening. "Itu berarti … adikmu sengaja mengikatmu dengan Vea, dengan kekuatannya, entah untuk alasan apa."

Demon mengangguk-angguk. "Mungkin untuk memberiku petunjuk tentang keberadaannya. Gadis ini mungkin tahu sesuatu." Demon terdengar begitu penuh harap.

Syukurlah jika akhirnya dia akan bisa menemukan adiknya. Selama dia sibuk dengan Vea, sepertinya aku bisa meminta Key menemaniku mencari jalan menuju duniaku. Ah, tapi ini hanya mimpi. Sial.

"Omong-omong, kau ingin aku yang mengusirnya atau …"

"Aku akan mengantarnya pergi," sela Key. Setelah itu, pria itu berbalik dan berjalan ke arahku. Dia tak mengatakan apa pun, tapi sama seperti sebelumnya, dia mengecup keningku lembut, dan aku kembali berada di taman bunga di resort ibuku.

"Tidak bisakah kau bersikap semanis ini di dunia nyata?" aku berkata pada udara kosong di hadapanku, berharap Key bisa mendengarnya. Karena, betapa menyenangkannya jika Key benar-benar bisa bersikap semanis ini padaku.

***