webnovel

6 – Ikatan 

Don't hurt me

It'll hurt more because it's you

Aku mengerutkan kening ketika mendapati diriku berada di ruang kerja Key. Setelah bertengkar dengannya di halaman tadi, aku naik ke kamarku dan pergi tidur tanpa makan malam, sengaja menunjukkan bahwa aku masih marah padanya. Lalu … kenapa sekarang aku berada di ruang kerja Key?

Di sana, aku melihat Demon juga. Mereka sedang berdebat keras.

"Kau bisa saja terbunuh jika jiwanya terbangun," Demon berkata.

"Tidak akan," sanggah Key. "Dia tidak tahu apa-apa. Jangan memancingnya dan jangan menyentuhnya."

"Karena itu, kau selalu membuatnya kesal? Untuk melihat sejauh mana kemarahan itu akan memancing jiwanya?" dengus Demon.

"Hanya memastikan aku bisa meredam jiwanya yang memberontak jika emosinya sampai pada tingkat itu," balas Key ketus. "Aku melakukannya dengan baik. Sampai sore tadi. Sekarang, dia berada dalam bahaya. Karena itu …" Key tiba-tiba menghentikan kalimatnya, lalu menoleh ke arahku.

Well, dia baru menyadari kehadiranku?

"Sial, dia …"

"Jangan sentuh dia!" Teriakan Key menghentikan Demon yang sudah hendak melompat ke arahku. Demon tampak marah, tapi Key tampak lebih marah lagi.

"Sial, Key! Dia mulai terbangun. Dia menyadari bahaya dan mulai terusik. Dia akan mulai menyerang. Kau mungkin akan mati sebelum kau bisa menggunakannya!" Demon melotot marah pada Key.

"Dia tidak akan melakukan apa pun selama masih berada di tubuh gadis itu," balas Key.

Demon mendengus. "Maaf, tapi aku tak mau mengambil resiko. Untuk sementara, dia akan ikut denganku dan …"

"Coba saja," sela Key seraya mengancamkan moncong pistol yang entah didapatnya dari mana, ke arah jantung Demon.

Apa alasan mereka bertengkar seheboh ini?

"Key." Mata Demon menyipit penuh peringatan.

Key menarik napas dalam. "Dia Pasanganku. Sentuh dia, dan kau akan mati di tanganku. Kau tahu kan, para Pejuang akan mengorbankan nyawanya demi Pasangannya?"

"Sialan, Key! Kau tidak bisa …"

"Ya, aku bisa," sela Key. "Ini Perjanjianku denganmu. Dia Pasanganku. Jangan sentuh dia."

Demon menoleh ke arahku, menatapku tak percaya. "Kau bahkan tak tahu apa yang akan dilakukan ayahmu padanya."

"Ayahku tidak akan menyentuhnya selama dia terikat padaku," balas Key tegas.

Demon kembali menatap Key, seolah pria itu sudah gila. "Kau bahkan akan melawan ayahmu sendiri untuknya?"

"Dia Pasanganku. Apa yang kau harapkan?" sahut Key, terdengar lebih tenang kini.

Demon mengumpat kasar. "Kau bisa saja mati di tangannya," dia mengingatkan, entah untuk yang keberapa kalinya tentang itu.

"Aku tahu," sahut Key pasrah.

Demon kembali mengumpat. "Apa yang sebenarnya terjadi ketika kau mengawasinya? Apa yang sebenarnya terjadi ketika kau membawanya kemari? Kau … tidak masuk akal, Key." Pria itu tampak putus asa.

Key mendesah. "Ketika membawanya kemari, aku nyaris kehilangan nyawaku. Kau juga tahu resiko aku akan kehilangan nyawaku jika membawanya pergi. Tapi, saat itu, dia menyelamatkanku. Dan detik itu juga, semua rencanaku berubah."

Demon mendengus tak percaya. Dia meneriakkan frustrasinya dalam makian kasar, sebelum menatapku sekilas, lalu menghilang di tengah udara kosong.

Key mendesah lelah, tapi ketika menatapku, dia tersenyum.

"Well, maaf mengganggu pertengkaran pasangan kalian," kataku setengah meledek. "Tapi, kupikir ini mimpiku. Jadi, aku berhak melakukan apa pun yang kuinginkan, kan?"

Key mendengus geli. Dia lalu menghampiriku, dan aku tersentak ketika tiba-tiba dia mendaratkan ciuman lembut di keningku.

"Jangan berkeliaran sembarangan di dalam mimpimu," katanya. "Jangan membuatku khawatir, Crystal."

Aku mengerjap bingung. Mimpi ini benar-benar menakjubkan. Siapa sangka, aku akan bertemu dengan Key yang bisa bersikap semanis ini.

Di tengah kebingunganku, tiba-tiba semua yang ada di hadapanku tadi lenyap. Termasuk Key. Aku menoleh panik. Mimpiku sepertinya berganti. Kali ini, aku berada di taman bunga yang luas. Aku langsung sadar, ini taman bunga yang ada di resort favorit ibuku. Yang kelak akan kuurus begitu aku kembali ke duniaku.

Pikiran riangku membawaku melompat riang mengelilingi taman itu. Ayah selalu bilang, ibuku sangat menyukai bunga. Sepertinya, alasan aku begitu menyukai alam adalah karena ibuku juga menyukainya.

***

"Melihatmu di sini, sepertinya kau sudah tidak marah lagi." Suara Key membuatku menoleh dan mendesis kesal padanya yang baru masuk di ruang makan. Selalu bersikap menyebalkan. Seandainya pria yang ada di dalam mimpiku semalam benar-benar Key ….

"Kau tahu, semalam aku bermimpi sangat aneh. Aku bermimpi tentangmu, tapi kau tidak semenyebalkan ini. Well, apa yang kuharapkan? Itu hanya mimpi," kataku dengan nada meledek.

Key menyeringai. "Mimpimu pasti menyebalkan," katanya.

Aku memutar mata. "Kau pikir …" Kalimatku terhenti ketika kulihat sosok Demon bergabung dengan kami di ruang makan. "Dia belum pulang?"

"Kau tidak mengusirku, kan?" sahut Demon seraya duduk di salah satu kursi. "Rumah ini belum resmi menjadi milikmu, omong-omong."

Aku mendengus. "Rumahku sudah cukup bagus, omong-omong. Jadi, aku tidak akan pernah menginginkan rumah ini. Ini terlalu besar," balasku.

"Kau tidak tampak setakut kemarin." Demon menelengkan kepalanya.

Aku menyeringai. "Aku bermimpi indah semalam. Tentang kau yang tak bisa berkutik ketika Key mengancammu dengan senjata. Setelah dipikir-pikir, di dalam film yang pernah kutonton, kalian bisa dihancurkan juga, kan?"

Demon melirik Key, lalu kembali menatapku. "Well, mimpimu menarik." Dia menunduk menatap piring sarapannya.

"Menurut Key, itu menyebalkan," aku memberitahunya. "Tapi, aku tidak pernah tahu jika Iblis juga butuh makan."

"Hanya untuk mengisi waktu dan beradaptasi jika diperlukan." Demon mendesah pelan.

"Mengisi waktu," ulangku. "Yeah, apa yang kuharapkan dari seorang Iblis, ya kan?"

Mengejutkanku, Demon tak sedikit pun tampak kesal dengan komentarku. Sepertinya memang adanya senjata yang bisa menghancurkannya itu benar. Aku akan mencari tahu itu nanti. Setidaknya, aku tidak perlu menghadapi satu lagi orang menyebalkan setelah Key.

***

"Demon akan ikut kita ke hotel?" tanyaku ketika kami akan pergi ke hotel setelah sarapan pagi itu.

Key mengangguk. "Aku harus melakukan sesuatu di luar sana, jadi aku butuh bantuannya untuk menjagaku," katanya.

"Aku tidak bisa melakukannya?" Aku menunjuk diriku sendiri.

Key tersenyum. "Kau justru yang akan membuatku kerepotan. Dan tolong jangan memikirkan hal yang aneh di luar sana nanti. Kuperingatkan kau, aku akan bisa mendengarmu."

Aku mengerutkan kening. Bisa mendengarku? Pikiranku?

"Kau … sekarang mendengar pikiranku?" tanyaku hati-hati.

Key menggeleng. "Aku belum membuka pikiranku. Nanti, aku perlu membuka pikiranku untuk mengenali para Pemburu. Setidaknya, aku harus menangkap Pemburu yang berani menyerangku kemarin dan membalasnya."

Aku mengangguk-angguk. "Jika kau membuka pikiranmu, kau akan bisa merasakannya? Bagaimana caranya?" Aku semakin penasaran.

"Aku akan bisa mendengar dan merasakan pikiran mereka. Tidak hanya mereka, tapi semua orang yang ada di sekitarku. Termasuk dirimu. Karena itu, di luar nanti, jangan memikirkan hal yang aneh. Terutama pikiran buruk tentangku. Aku sedang butuh berkonsentrasi," dia mengingatkan.

Aku meringis. "Akan kucoba. Setiap kali muncul di kepalaku, kau selalu hadir dalam bentuk yang menyebalkan," jujurku.

Key melirikku tajam.

"Baiklah, baiklah. Aku akan berusaha. Benar-benar berusaha," janjiku.

Key mendesah pasrah, tapi tak lagi protes.

"Siap berangkat sekarang?" Suara itu datang dari Demon yang baru masuk ke ruang kerja Key.

Key mengangguk. Aku sedikit terkejut ketika tiba-tiba Key menggenggam tanganku. Aku mengangkat alis menatapnya. Dia tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Aneh.

***

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku ketika aku dan Demon sedang menunggu Key memeriksa berkas-berkas hotelnya.

"Tidak," Key menjawab, bersamaan dengan Demon yang menjawab,

"Ya."

"Oke," sahutku santai, lalu memutuskan untuk mengambil jawaban Demon dan menoleh padanya. "Kalian bilang, kalian tidak saling percaya untuk bekerja sama, lalu kenapa kau membantunya?"

Demon mendesah berat. "Karena aku berutang nyawa padanya. Jika aku tidak melunasinya, aku akan terikat padanya."

"Seandainya utang nyawamu itu bisa ditujukan pada orang yang kupilih, sekarang pasti kau sudah bebas dariku," celetuk Key santai.

Aku menoleh ke arahnya. "Apa maksudnya itu?"

"Dia hanya bisa terlepas dariku jika melunasi utang nyawanya padaku. Dan hanya berlaku padaku. Sayangnya," sahutnya muram.

"Ada orang lain yang kau ingin dilindungi Demon?" tanyaku penasaran.

"Kurang lebih seperti itu," sahut Key tanpa menatapku.

"Pelit," cibirku karena dia tak memberikan jawaban yang memuaskan. Aku kembali menatap Demon. "Bagaimana kau bisa berutang nyawa padanya? Kau kan, putra Raja Iblis. Seharusnya kau cukup kuat untuk melindungi dirimu sendiri, kan?"

"Tidak ada yang terlalu kuat jika orang yang disayanginya terancam, Nona yang Ingin Tahu Segalanya," jawab Demon.

"Kau … punya orang yang seperti itu?" Aku menatapnya sangsi.

"Jika tidak, aku tidak akan berada di sini dan terikat pada Pejuang sialan yang duduk di sana itu," balas Demon kesal.

Aku meringis. "Mendadak aku merasa menjadi orang ketiga di sini," kataku.

"Yeah, tepat sekali," tandas Demon. "Key akan …"

"Demon, kurasa sebaiknya kau fokus mencari adikmu alih-alih mencampuri urusan yang seharusnya tidak kau campuri," sela Key tajam.

Aku menatap Key sekilas, lalu kembali menatap Demon. "Adikmu?"

Demon mendesah. "Ketika dia kabur kemari, karena tergoda dengan keindahan dunia ini, dia tertangkap Pemburu. Mereka membawanya ke Perbatasan dan menginterogasinya untuk mencari tahu tentang dirinya, tapi adikku tak mau mengatakan apa pun. Sampai aku datang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa ketika mereka membuatku babak belur karena mereka mengancam akan menyakiti adikku. Untunglah, saat itu Key pergi bersamaku. Dia membawa adikku pergi, tapi segera kehilangan adikku lagi karena dia kembali untuk menolongku yang sudah sekarat."

"Pilihannya adalah Elaire atau nyawamu. Setidaknya, dia baik-baik saja. Dan hidup. Tapi, jika aku terlambat sedikit saja, kau mungkin akan kehilangan jiwamu dan ayahmu akan mengamuk di duniaku," tambah Key.

Elaire? Nama yang cantik. Itu berarti … adik perempuan?

"Tapi sampai sekarang, aku masih tak bisa menemukan adikku. Sialnya, dia punya kemampuan sialan itu," Demon tampak geram.

"Kemampuan apa?" tanyaku.

"Berubah wujud," jawab Key. "Dan menyamarkan hawa iblisnya. Karena itulah, dia bisa kabur dari kastilnya."

Aku tak dapat menahan gumaman kagumku.

"Tampaknya kau menyukai itu," sinis Demon.

Aku menggeleng. "Aku turut berduka atas kehilanganmu atas adikmu. Tapi … dia benar-benar keren. Kuharap aku juga punya kekuatan seperti itu jika harus berada di dunia ini. Menjadi diriku sendiri terlalu mengerikan di sini."

Demon mendengus. "Yeah. Sangat mengerikan."

Mengejutkan Iblis ini bisa setuju denganku. Tapi itu bagus juga. Aku tidak perlu membuang tenagaku untuk mendebatnya, seperti yang biasanya selalu kulakukan saat bersama Key.

***