webnovel

3 – The Castle 

When everything is not okay

Can I just hold on to you?

Key tinggal di rumah (baca: istana) keluarganya, sendirian. Ayahnya selalu keluar kota untuk urusan pekerjaan, sementara ibunya … yah, aku sudah mengatakan bahwa aku turut berduka saat mendengar bahwa dia kehilangan ibunya saat dia masih sembilan tahun. Aku tidak tahu bagaimana rasanya, karena aku sendiri tidak pernah mengenal sosok seorang ibu sejak lahir di dunia ini. Ah, tidak, di duniaku, maksudku.

Aku hanya beberapa kali bertemu dengan ayah Key sejak aku datang ke rumah ini. Ayahnya bukan orang yang mempermasalahkan orang asing sepertiku. Key memperkenalkanku sebagai temannya yang butuh tempat tinggal. Dia bilang pada ayahnya bahwa aku kabur dari rumah. Ayahnya berkata bahwa di luar sana berbahaya, jadi lebih baik jika aku tinggal di rumah ini dengan Key. Mungkin dia tidak tahu bahwa putranya itu juga sama berbahayanya dengan orang-orang di luar sana.

Sudah tak terhitung berapa kali Key mengerjaiku di rumahnya sendiri. Mulai dari meninggalkanku sendirian di tengah-tengah aku bercerita padanya, –dan aku bahkan tak menyadari jika dia sudah pergi, sampai mengambil makanan-makanan kesukaanku, hanya karena itu adalah makanan kesukaanku. Pria tua yang kekanakan dan menyebalkan itu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, suatu saat aku akan mencabut rambut cokelat gelap di kepalanya itu dengan amat sangat menyakitkan untuk balas dendam.

Ah, dan yang terakhir juga, dia tiba-tiba masuk ke kamarku ketika aku sedang berganti pakaian. Salahku, tidak mengunci pintu. Tapi, dia juga tidak mengetuk. Saat itu, dia hanya mengumpat, sebelum menghilang. Teleportasi memang adalah sarana transportasi paling nyaman dan menyenangkan di dunia mana pun. Itu juga yang dia lakukan ketika menyelamatkanku hari itu. Seandainya saja di duniaku ada hal seperti teleportasi. Aku akan dengan sepenuh hati mempelajari itu.

Omong-omong tentang pelajaran, sekolah di dunia ini benar-benar unik. Dan menyenangkan. Sekolahnya seperti miniatur kehidupan. Bahkan, di setiap sekolah punya mata uang sendiri, mall khusus pelajar sekolahnya sendiri, pemerintahannya sendiri. Benar-benar seperti kehidupan yang sesungguhnya. Tidak ada TK, SD, SMP, SMA atau Universitas. Hanya sekolah.

Selepas dari sekolah itulah murid-muridnya langsung masuk ke kehidupan sesungguhnya, dengan pekerjaan yang juga sudah dipelajari saat sekolah. Namun, sama seperti di duniaku, di sini juga ada pengangguran. Mereka adalah orang-orang yang salah mengambil pilihan jurusan saat sekolah, dan tidak tahan dengan pekerjaan di kehidupan sesungguhnya, lalu memutuskan untuk menyerah dan menjadi pengangguran. Padahal jika mau, mereka bisa belajar lagi.

Bicara tentang pekerjaan, kurasa Key tidak jauh berbeda denganku. Bedanya, jika di duniaku aku tidak perlu bekerja dan hanya menikmati hasil kerja ayahku, di sini Key setidaknya punya sebuah hotel untuk diurusnya sendiri, meski dia hanya datang ke sana untuk mengecek. Meski begitu, hotel itu miliknya, atas namanya. Meski bisa dibilang, yang melakukan pekerjaan adalah Henry, satu-satunya orang yang dipercaya Key. Dan untuk itu, Henry harus melakukan Perjanjian dengan Key.

Ya, satu-satunya yang bisa menjamin kepercayaan di dunia ini adalah Perjanjian. Dalam perjanjian, siapa yang melanggar, tidak hanya akan kehilangan nyawa, tapi juga jiwanya. Hanya dua hal itu yang bisa ditawarkan dalam Perjanjian.

Namun, melihat cara Key bekerja yang tampak begitu santai dan nyaman, kurasa aku akan melakukan itu juga saat kembali ke rumahku nanti. Resort yang disebut Ayah sebagai tempat favorit ibuku adalah hal pertama yang kupikirkan. Di tempat itu, entah bagaimana, aku seolah bisa merasakan kehadiran ibuku. Di tempat itu, aku selalu merasa tenang, nyaman, hangat.

"Sialan, Crystal, astaga!" Seruan marah itu membuatku berbalik ke arah pintu kamarku. Key sudah berbalik dan berjalan keluar, sebelum membanting pintunya dengan agak sedikit terlalu keras. "Kuncilah pintumu jika kau berganti pakaian, atau aku bersumpah, aku akan menguncimu di dalam sana!" teriaknya dari depan pintuku.

Aku mendengus tak percaya sembari meraih kaos pendek dari lemari, berjalan ke arah pintu sembari memakainya melewati kepalaku.

"Kau yang seharusnya belajar mengetuk pintu, atau aku akan mengetuk kepalamu dengan pintunya," balasku sembari membuka pintunya begitu aku sudah memakai kaos di atas tank top-ku.

"Dan berpakaianlah dengan benar, astaga!" Pria itu masih terdengar kesal ketika mengikutiku masuk. Lalu aku merasakan tarikan pelan di punggung kaosku.

"Terima kasih," kataku pendek atas bantuannya merapikan kaosku yang sepertinya terlipat di bagian pinggangnya tadi.

"Tidak sama-sama," balas Key, tidak mengherankan dari seseorang yang begitu pendendam sepertinya.

"Hari ini kau akan ke hotel?" tanyaku sembari mendaratkan pantat di ujung tempat tidur.

"Belakangan kau suka sekali jika kita pergi menengok hotel," sahutnya seraya menggeserku paksa untuk duduk di tempatku tadi, seolah tak ada tempat lain. Well, aku sudah terbiasa. Aku bahkan tidak akan protes, atau dia akan memindahkanku ke bath tub, seperti sebelumnya.

"Aku juga ingin belajar. Begitu aku pulang nanti, aku akan mengelola resort favorit ibuku. Ayahku pasti akan sangat senang jika tahu aku tertarik untuk bekerja," kataku riang.

"Atau mungkin tidak," kata Key, menyiram semangatku dengan air sedingin es. "Mendengar bagaimana ayahmu membuatmu hidup bagaikan seorang putri selama ini, kurasa ayahmu tidak akan membiarkanmu melakukan apa pun."

Aku memberengut mendengarnya.

"Kehidupanmu tampaknya tidak terlalu berbeda dariku. Tapi, ayahmu membiarkanmu bekerja," kataku.

"Karena aku anak laki-laki," ia mengingatkan fakta itu.

Aku mendengus. "Bahkan di dunia ini juga ada diskriminasi seperti itu?" sinisku.

"Bukan diskriminasi. Hanya saja, di dunia mana pun, kurasa seorang ayah akan selalu mengkhawatirkan putrinya. Sementara, dia mengajarkan anak laki-lakinya tentang tanggung jawab. Pikirkan saja, jika nanti aku menikah, aku akan harus bertanggung jawab atas keluargaku. Sedangkan kau, jika kau menikah, kau tidak perlu bekerja dan hanya di rumah, mengurus rumah dan anak-anakmu," katanya.

"Aku masih terlalu muda untuk menikah, kau tahu?" aku mengingatkannya.

"Atau mungkin, kau tidak pernah mengenal satu pun pria yang ingin kau ajak menikah, mengingat bagaimana kau dikurung di rumahmu," sahut pria itu meledek.

"Kau sendiri?" balasku menyerangnya. "Tiga ratus tahun lebih tapi masih belum menikah? Jika kau tinggal di duniaku, kau pasti sudah menjadi bahan ejekan seluruh negeri."

"Karena itu, syukurlah aku tidak tinggal di sana, dengan bayi-bayi bodoh sepertimu," balasnya telak. Aku benci disebut bayi olehnya.

"Tidak bisakah kau berhenti menyebutku seperti itu?" protesku.

"Memangnya, apa yang salah dengan … astaga, Crystal! Apa kau sudah gila?!" Teriakan marah dan kaget Key membuatku puas. Meski detik berikutnya, aku mendapati diriku sudah berada di dalam bath tub.

"Kau bilang aku hanya bayi, lalu kenapa kau sudah seheboh itu hanya karena tubuhku menimpamu? Apakah semua bayi di dunia ini memang seberat itu?" teriakku dari kamar mandi. Aku hanya melemparkan tubuhku padanya, secara harafiah, tentu saja.

Ketika aku membuka pintu kamar mandi, aku kembali terdorong masuk. Terkutuklah kekuatan Pejuang itu.

"Kau memang bayi. Hanya saja, kau berada di tubuh yang tidak seharusnya," kata Key kesal dari luar. Lalu, aku mendengar bantingan keras di pintu kamarku. "Kau juga makan terlalu banyak, apa kau sadar itu?!"

Apa katanya tadi? Aku berada di tubuh yang tidak seharusnya? Aku makan terlalu banyak?

"Sepertinya otakmu juga berada di tempat yang tidak seharusnya! Kau mungkin meninggalkannya di kamarmu! Katakan saja jika kau butuh bantuanku untuk mencarinya!" aku balik berteriak begitu sudah keluar dari kamar mandi kamarku. "Atau mungkin, kepalamu ikut terganggu karena kau terlalu banyak menggunakan kekuatanmu!"

"Sialan kau, Crystal!" makinya dari kamarnya, dengan suara yang sangat keras hingga aku masih bisa mendengarnya.

"Yeah, sama-sama, Brengsek!" balasku sama kerasnya. Lalu, aku mendengar suara benda hancur. Dia pasti menendang pintunya lagi. Ini sudah yang kedua kalinya dalam bulan ini.

Terakhir kali aku membuatnya mengamuk seperti itu ketika aku sengaja tanpa sengaja menumpahkan saos di sepatu baru yang dipamerkannya padaku.

***