webnovel

22 – The Feeling 

Jantungku seolah merosot ketika melihat Key nyaris tertikam belati di tangan Vea. Detik berikutnya, aku mengepalkan tangan menahan sakit luar biasa di kepalaku.

"Fokus, Penghancur, fokus!" Demon mengingatkanku.

Aku juga berusaha, tapi …

Aku meneriakkan rasa sakitku ketika Demon menambah kekuatan serangannya. Di depan sana, Key kehilangan konsentrasi dan menoleh ke arahku cemas, sementara Vea melompat ke arahnya, belatinya siap menyerang lehernya.

Aku memejamkan mata, berusaha, memohon, putus asa, mencari pecahan kekuatanku. Lalu, aku bisa merasakan jiwaku sendiri, dan perlahan rasa sakit di kepalaku berkurang. Aku membuka mata dan menatap Key, mendesah lega ketika berhasil melindunginya tepat ketika belati Vea hanya berjarak tak lebih dari tiga senti dari lehernya.

"Dia berhasil melakukannya!" Seruan gembira Vea membuat Key terlonjak karena perhatian pria itu masih sepenuhnya fokus padaku.

Ketika Key menunduk dan melihat apa yang nyaris dihadapinya, dia meringis. Pria itu lantas menghilang, untuk muncul lagi di depanku.

"Kau berhasil," ucapnya lega, senang.

Aku meringis. Namun, Key salah mengartikannya dan tangannya bergerak menyentuh kepalaku.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya cemas.

Aku mengangguk sembari menarik kepalaku dari sentuhannya. Tatapanku berpindah ke lehernya yang syukurlah, tak terluka meski satu gores pun.

"Sekarang kita hanya harus melatihnya mengendalikannya," Demon berkata seraya menghampiriku. "Kali ini, aku dan Key akan bertarung. Kau harus melindungi Key, dan Pemburu itu. Dia akan kesakitan jika aku terluka."

"Itu berarti aku tidak perlu melindungimu?" sebutku.

"Bukannya kau memang tidak mau?" balas Demon dalam dengusan geli.

Aku berdehem. "Memang tidak. Bahkan aku mungkin akan menyerangmu juga," aku memperingatkannya.

"Selama kau bisa melindungi Pemburu itu, kau bisa melakukannya sesukamu," balas Demon, tak sedikit pun peduli akan kemungkinan dia terluka parah.

Namun, mengingat bagaimana dia menipuku untuk ini, aku membalas, "Tidak masalah. Selamat menikmati rasa sakitmu, kalau begitu."

Demon meringis ketika berjalan menjauh dariku. Begitu pun dengan Key, meski sebelum meninggalkanku, dia sempat berkata,

"Jangan terlalu keras menyiksanya. Pemburu itu mungkin akan terlalu cemas nanti."

Aku mengerutkan kening, menoleh ke arah Vea yang berjalan ke tempatku, tersenyum lebar. Vea … mencemaskan Demon? Well, itu hal baru. Apa yang sudah kulewatkan, omong-omong?

***

"Kau bahkan tak sekali pun berusaha menyerang Iblis itu," celetuk Vea saat kami makan malam.

Aku melirik Key. Apa mungkin pria itu salah? Mana mungkin Vea mencemaskan Demon? Kemarin Vea bahkan dengan senang hati mendukungku ketika aku menyerang Demon. Jika Demon mencemaskan Vea, aku tahu. Namun, jika sebaliknya …

"Aku yang memintanya untuk tidak melakukannya," Key menyahut. "Lukanya belum benar-benar pulih."

Aku mengerutkan kening. Luka apa? Demon terluka?

"Semalam Vea menipunya dan membuat Demon terluka parah saat mereka keluar dan bertemu para Pemburu," lanjut Key.

Aku terbelalak, menatap Vea, yang meskipun berusaha tampak setak peduli mungkin, tapi aku bisa merasakan ketidaknyamanannya. Sementara Demon masih sesantai biasanya. Well?

"Dia bahkan diam saja ketika Demon diserang teman-temannya. Bahkan meskipun dia juga kesakitan, tapi dia tampaknya menikmati melihat Demon dihajar para Pemburu. Dia sengaja membawa Demon ke sana, berkata bahwa dia bermimpi tentang keberadaan adiknya di sana. Aku bahkan melihat itu dalam pikirannya. Tapi ternyata, itu hanya mimpinya. Dan dia tahu itu hanya mimpi, tapi dia membawa Demon ke sana, hanya karena dia tahu, di sana tidak ada adik Demon, melainkan para Pemburu," cerita Key.

"Oh." Hanya itu yang bisa kukatakan.

"Kurasa kau sebaiknya berhati-hati, atau dia akan menipumu juga," lanjut Key.

Aku berdehem. "Itu tidak mungkin," kataku tanpa ragu. "Aku bukan Iblis. Dan aku tidak pernah menyiksa Vea."

"Hanya mengingatkanmu," sahut Key. "Kau sendiri yang bilang, tak ada yang bisa dipercaya di dunia ini."

Aku kembali berdehem. "Aku tahu. Dan aku tahu apa yang kulakukan, jadi urusi saja urusanmu sendiri," ketusku.

"Terima kasih pada Pemburu itu, sekarang aku kembali berutang nyawa pada Key," Demon tiba-tiba berkata. "Tapi setidaknya, kau tidak meninggalkanku sekarat di sana sendirian. Kau masih punya hati juga, Pemburu." Dia menatap Vea.

Aku menoleh pada Vea yang tampak terlalu sibuk dengan makanannya. Namun, di pangkuannya, kulihat tangan kirinya mengepal erat.

Uh, wow? Jadi, apa yang dikatakan Key tentang kecemasan Vea akan Demon itu benar?

Ketika melihat Key yang juga tampak fokus menatap makanannya, aku berkata pada Vea,

"Kau mungkin ingin berhati-hati dengan pikiranmu. Sepertinya Key sedang ingin mengusik pikiran orang lain."

Vea terbelalak kaget, kelabakan menatap Key, lalu tiba-tiba gadis itu berdiri. "Aku … sudah kenyang. Aku akan ke kamarku dan istirahat," dia berkata. Dia lalu menatapku. "Sampai jumpa besok, Crystal. Atau mungkin nanti malam jika jiwamu mengunjungiku," tambahnya.

Aku hanya mengangguk ketika dia beranjak pergi, terburu-buru.

"Apa sebenarnya yang kau dengarkan dari pikirannya hingga dia bereaksi seperti itu?" Demon menatap Key penasaran.

Key tersenyum ketika kembali melahap makan malamnya. "Sudah kubilang, itu hadiah untukmu jika kau tahu. Dan aku tidak suka memberikan itu padamu."

Demon mengerutkan kening heran. "Tentang dia?" Dia mengedik ke arahku.

Key menggeleng. "Hebatnya, bukan."

Demon mendecakkan lidah tak sabar. "Jika aku nekat menembus pikirannya, kau pikir dia akan mengamuk?"

"Sangat," sahut Key mantap. "Kau mungkin akan kehilangannya juga." Dia mengedikkan bahu.

Mendengar itu, Demon merengut. Frustrasi Demon itu menghiburku.

***

"Vea?" panggilku lembut ketika aku datang ke kamar Vea malam itu, dan gadis itu tidak sedang tidur, tapi menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya. Ketika melihatku, Vea melompat duduk dan tersenyum lebar.

"Kau datang lebih cepat. Ini bahkan belum jam sepuluh," katanya seraya melirik jam.

Aku meringis. "Karena ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tanpa mereka tahu." Aku mengedik kecil ke arah pintu kamarnya.

Vea tersenyum geli. "Jika dalam bentuk jiwa, kau bahkan sudah bisa mengendalikan Pelindungmu?"

Aku mengangguk. "Ini lebih mudah daripada saat aku berada dalam tubuhku," akuku.

Aku duduk di sebelahnya, di atas tempat tidurnya.

"Jadi, apa yang ingin kau tahu?" tanyanya antusias.

Aku meringis. "Sebenarnya, ini tentang kau dan Demon."

Mendengar itu, ekspresi Vea sempat kaku, tapi kemudian dia tersenyum. "Maaf, aku hanya sedikit sensitif dengan nama itu."

Aku mengangguk, tersenyum geli. "Aku tahu."

Vea meringis.

"Aku hanya ingin tahu, ikatan yang mengikat kau dan Demon. Jika nanti kau pergi denganku, aku tidak yakin apa yang akan dia lakukan. Apa dia bisa menyakiti Key? Dia juga terikat dengan Key, kan?" tanyaku.

"Oh, tentang ikatan itu," gumam Vea. "Memang ada beberapa macam ikatan, sebenarnya. Jika yang terjadi padaku dan Demon, itu jenis ikatan yang sulit. Adiknya pasti sangatlah hebat karena bisa melakukannya. Dan ikatan itu tak bisa dilepas kecuali oleh orang yang mengikatnya. Sementara, ikatan antara Demon dan Key, akan berakhir begitu Demon membalas utang nyawanya pada Key.

"Tapi, sepertinya Key terlalu kuat hingga dia mungkin tidak akan butuh bantuannya. Satu-satunya kelemahan Key adalah kau. Dan kau bisa menghancurkan apa pun, atau siapa pun, jadi mungkin akan sedikit sulit bagi Demon untuk membayar utangnya dan terbebas dari Key." Vea tersenyum geli.

"Tapi, bagaimana bisa aku menjadi kelemahan Key? Aku pernah mendengar, Key terikat padaku. Aku memang pernah menyelamatkannya saat dia menculikku, tapi apakah karena itu aku menjadi begitu penting?" tanyaku heran.

Vea tersenyum, menggeleng. "Ikatan nyawa seperti itu hanya terjadi pada Iblis. Tidak pada Pemburu atau Pejuang. Pejuang terikat dengan Perjanjian. Itu peraturan di dunia ini. Bahkan jika mau, kau juga bisa melakukannya selama kau masih di dunia ini. Dan ikatan antara Key denganmu, sekarang aku sudah tahu apa itu. Tapi, ikatan Key denganmu … yang kumaksud denganmu adalah … um … bagaimana aku mengatakannya?" Vea tampak sedikit ragu. "Kurasa kau seharusnya bertanya pada Key sendiri. Yang jelas, dia tidak akan menyakitimu, dan dia akan melakukan apa pun demi melindungimu. Karena ikatan itu … sebenarnya Key sendiri yang membuatnya. Dan alasannya … well, silahkan bertanya sendiri padanya."

Aku merengut mendengarnya.

"Jangan begitu. Aku juga tidak ingin membuat masalah dengan Pejuang itu. Jika aku memberitahumu, dia mungkin akan langsung menendangku ke dunia bawah bersama Iblis itu," Vea membela diri.

Aku meringis. "Tapi omong-omong, sebelumnya tadi kau baik-baik saja menyebutkan nama Demon, alih-alih Iblis itu," singgungku.

Vea tampak terkejut mendengarnya. Dia berdehem, tampak salah tingkah. "Aku hanya … berusaha untuk tidak membuatmu bingung, karena itu aku langsung menyebut namanya."

Aku mengulum senyum dan mengangguk-angguk.

"Sebaiknya kau segera kembali sebelum Pejuang itu kemari," kata Vea kemudian. "Dia mungkin akan kemari dengan Iblis itu dan menghukumku atas apa yang kulakukan pada Iblis itu kemarin."

Aku meringis. "Kenapa kau melakukannya?"

Vea ikut meringis. "Aku juga tidak tahu jika dia akan terluka separah itu."

Sekarang aku bisa melihat kenapa Key menyebut tentang kecemasan Vea pada Demon hari itu. Mungkin itu memang hanya karena rasa bersalah Vea pada Demon. Atau mungkin hal lainnya. Yah, hanya Vea yang tahu. Dan mungkin, Key, mengingat pria itu sudah mendengar cukup banyak dari pikiran gadis ini.

***