webnovel

21 – Always Here

"Hentikan, kumohon!" aku berteriak putus asa ketika Key jatuh berlutut, kesakitan, akibat serangan Demon.

Sialan Iblis itu, dia malah tersenyum ketika menatapku, lalu mengangkat tangan, menghentikan serangannya.

"Seharusnya kau melindunginya, Pelindung. Bukan salahku jika dia kesakitan. Kau yang tidak melakukan tugasmu dengan benar, kan?" balas Demon santai.

"Sialan kau, Iblis," desisku kesal sembari menghampiri Key. "Maaf, aku benar-benar tidak bisa. Aku sudah berusaha, tapi … tidak bisa …" ucapku penuh sesal.

Key menggeleng. "Aku baik-baik saja."

Aku merengut. "Makanya, bukankah sudah kubilang, dia bisa menyerangku dan aku akan berusaha melindungi diriku sendiri. Mungkin itu lebih mudah," kataku.

"Kau bahkan belum bisa menggunakan kekuatanmu itu dengan benar. Jika kau terluka, aku tidak akan bisa menyembuhkanmu, Crystal," sahut Key seraya berdiri. Dia lalu menatap Demon, "Dan kau! Jika kau ingin menyiksa pikiranku, lakukan itu tanpa membaca apa yang ada di sana!" kesalnya.

Demon menyeringai. "Yeah. Aku tidak akan melakukannya lagi. Toh hanya ada satu hal yang ada di sana."

Key menatap Demon kesal seraya mendorongku lembut untuk menjauh. "Fokuslah, Crystal. Dan jangan meminta Demon untuk berhenti seperti tadi. Itu tidak akan menghasilkan apa pun. Berusahalah lebih keras. Kau pasti bisa melakukannya." Key membesarkan hatiku.

"Aku tidak mau!" Aku tak dapat menahan diriku lagi.

Key menatapku, terkejut.

Aku bilang, aku mau mempelajari ini agar bisa melindungi pria ini, dan bukan menyakitinya. Sialan Iblis itu! Dia benar-benar menipuku mentah-mentah! Tak adakah yang bisa kupercayai di dunia ini?!

Demon menghampiriku. "Penghancur, aku …"

"Apa?!" seruku marah ke arahnya. Saat itu juga, Demon terpental ke belakang, sementara Vea yang duduk tak jauh dari mereka, mengerang kesakitan seraya memegangi dadanya.

Oh, sial. Aku menyerang Iblis itu, dan Vea juga kesakitan karenanya. Aku bergegas menghampiri Vea.

"Maaf, maaf, aku tidak sengaja," kataku cepat begitu aku berlutut di depan Vea.

Vea mendongak, tersenyum padaku. "Tidak apa. Aku justru senang kau melakukannya," katanya seraya mengedikkan kepala ke arah Demon yang sedang berusaha berdiri.

Aku meringis. "Seandainya tidak ada ikatan sialan itu, aku pasti akan melakukan ini lebih sering," kataku.

Vea tergelak. "Aku setuju." Vea lalu menatapku lembut. "Lihat, kau bisa menggunakan kekuatanmu jika kau mau. Dan kau tidak sampai membunuhku," katanya.

Saat itu juga, aku tersadar bahwa aku baru menggunakan kekuatan Penghancurku. Lagi. Aku sudah hendak membalas kata-kata Vea ketika detik berikutnya, aku tersentak oleh kemunculan tiba-tiba Demon di sebelah Vea.

"Kau!" Aku menudingnya kesal.

"Kau bisa menyakitinya, Penghancur, astaga!" Demon tampak geram. Tanpa kata, dia meraih pergelangan tangan Vea selama beberapa saat.

"Apa yang kau lakukan?" Vea berusaha menarik tangannya, tapi Demon tidak melepaskannya.

"Diamlah, Pemburu! Aku sedang memastikan tidak ada luka dalam," Demon membentak Vea.

Vea mendengus tak percaya. "Aku bisa mengurus tubuhku sendiri, dan aku baik-baik saja, Iblis! Jadi, enyahlah!" balasnya sama kerasnya.

Demon mendesah berat, lalu melepaskan tangan Vea setelah mendapatkan apa yang ingin dia tahu. Lalu, dia menarikku, membawaku kembali berpindah ke medan latihan.

"Dan kau," Demon menatap Key, "jaga gadismu ini, astaga!" kesalnya.

Key meringis. "Maaf. Itu juga di luar kendaliku."

Aku mendesis kesal. Dalam hati berharap aku bisa segera menggunakan kekuatan pelindungku agar aku bisa melindungi Vea dan menyerang Demon sepuasnya.

"Tapi jujur, aku lega," Key melanjutkan, kali ini menatapku. "Karena kau masih mau menggunakan kekuatanmu lagi."

Aku merengut mendengarnya. Bukan karena aku ingin. Tapi karena Iblis sialan itu terus mendesakku. Jika seperti ini, bukannya bisa menggunakan kekuatan Pelindungku, aku mungkin akan kembali menggunakan kekuatan Penghancurku. Atau jangan-jangan … justru itu yang direncanakan Demon?

"Apa kau akan terus tidak fokus dengan latihanmu?" Key terdengar kesal kini.

Aku menatapnya, meringis. "Aku hanya sedang memikirkan cara menyerang Demon tanpa menyakiti Vea," akuku.

Key tampak terkejut. "Dengan … kekuatanmu?" Dia terdengar ragu.

Aku menatap Demon penuh dendam. "Hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa membalasnya. Iblis sialan itu, berani dia menipuku, dia akan merasakan akibatnya," kataku penuh tekad.

"Semangat yang bagus, Penghancur!" seru Demon, agak sedikit terlalu riang.

Aku tersenyum sinis. Tentu saja. Dan dia akan menyesal mengatakan itu.

Ketika Key memulai latihan kami lagi, aku berusaha lebih keras untuk fokus kali ini. Aku harus bisa merasakan kekuatanku sendiri, sebelum bisa menggunakannya. Aku memejamkan mata, menarik napas dalam, samar aku mendengar Key mengerang kesakitan, tapi suaranya terdengar jauh, dan aku bisa merasakan jiwaku seolah terpisah dari diriku. Masih di dalam diriku, tapi seolah membentuk perisai sendiri.

Sekarang!

***

Ini sudah hari kesepuluh latihanku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya menguasai kekuatan Pelindungku. Ya, aku bisa melindungi Key. Tapi, tidak bisa melindungi Vea pada waktu bersamaan. Aku bahkan tidak bisa melindungi diriku sendiri, yang membuat Key terlalu sering marah karena serangan Demon berganti menyakitiku. Vea bahkan tak mau bicara lagi pada Demon karena kesal.

"Aku bisa apa? Dia yang tidak bisa melindungi dirinya, kenapa aku yang kalian salahkan?" adalah pembelaan Demon setiap kali Key maupun Vea memberinya tatapan kesal.

Di akhir hari itu, Vea bahkan tak mau menatap Demon lagi karena aku sempat pingsan setelah serangan terakhirnya tadi. Key bahkan berkata bahwa memang sebaiknya aku tidak berlatih lagi ketika akhirnya aku sadar beberapa saat lalu. Aku sudah hendak membantahnya, tapi dia tampak terlalu kesal, dan aku tak ingin membuatnya lebih kesal lagi.

Bahkan ketika aku tidur malam itu, jiwaku hanya duduk manis di dalam tubuhku, tak ingin berjalan-jalan ke mana pun, karena terlalu lelah. Lebih mudah untuk merasakan kekuatanku ketika aku hanya dalam bentuk jiwa. Aku sudah mencobanya. Namun, Key bilang itu beresiko. Jika mereka menemukan tubuhku dan membunuhnya, maka Demon akan membawa jiwaku ke dunia bawah. Atau yang lebih parah, ke neraka.

Key sudah mengingatkanku dengan keras, untuk tidak pergi terlalu jauh dari tubuhku. Yeah, setelah aku tahu resikonya, aku juga tidak akan berani melakukannya. Mengingat banyaknya orang yang mengincar nyawaku kali ini.

Namun, kemudian aku mendengar suara percakapan Vea dan Demon di kamar Vea. Satu lagi yang kusuka dari jiwaku ini. Pendengaranku menjadi sangat tajam. Ini menyenangkan.

Dengan riang, aku terbang ke kamar Vea, menembus dinding-dinding yang menghalangi kamar kami. Begitu aku tiba di sana, kulihat Demon dan Vea yang sedang bertengkar tentang … aku?

"Haruskah kukatakan sendiri padanya?" Demon menatap Vea, penuh ancaman.

Vea menatap Demon marah. "Kau juga mau mengambilnya dariku?"

"Sejak awal, dia bukan milikmu," desis Demon.

Vea tak membalas.

"Penghancur itu masih tidak bisa melindungi dirinya sendiri, karena itu kita akan menggunakan cara ini. Kau harus menyerang Key, dan baru berhenti sampai dia bisa melindungi dirinya sendiri, dan melindungi Key secara bersamaan," Demon berkata.

"Tidak!" Seruan itu datang dari aku dan Vea, yang kemudian menoleh ke arahku dengan kaget.

"Crystal? Sejak kapan kau …"

"Kenapa orang-orang selalu bertanya seperti itu setiap kali aku muncul tanpa sepengetahuan kalian?" selaku jengah. "Apa kalian menyembunyikan sesuatu dariku? Lagi? Selain rencana kalian menggunakan Key untuk memancing kekuatanku, maksudku."

Vea berdehem, menggeleng. "Hanya saja … lain kali kau ke kamarku saat ada orang lain selain aku di sini, tidak bisakah kau memberitahuku lebih dulu?" pintanya.

Demon mendengus di sebelahnya, tapi aku mengabaikannya dan mengangguk pada Vea. "Tidak masalah," kataku ringan.

Aku lalu duduk di sebelah Vea, lalu menatap Demon. "Kau mau mundur sendiri atau aku harus menyerangmu?"

Demon menyeringai. "Kau juga akan menyakiti dia?" Dia mengedik ke arah Vea.

"Kau lupa? Aku bisa melindungi orang lain, meski tidak diriku sendiri," sahutku enteng.

Demon mengumpat pelan, lalu mundur dan bersandar di dinding dekat pintu.

"Dan aku tidak setuju dengan rencanamu tadi," kataku terus terang.

"Sayangnya, Key berkata sebaliknya," sahut Demon.

Aku mengerutkan kening. Key? Aku menoleh dan kulihat pria itu sudah berdiri di samping jendela, bersandar santai di sana dengan tangan terlipat di dada.

"Sejak kapan kau ada di situ?" semburku.

"Tidak lama setelah kau tiba di sini," jawabnya. "Dan kurasa obrolan kalian sudah selesai, jadi sudah waktunya kau pergi."

"Tunggu!" Aku merentangkan tanganku ke depan ketika dia mendekat. "Aku masih belum setuju."

Key tersenyum. "Sejak kapan kami meminta persetujuanmu untuk metode latihanmu?"

Aku sudah hendak protes, tapi Key sudah menghilang dan muncul di depanku, lalu membawaku pergi, seperti biasa.

"Kau tahu kau benar-benar brengsek?" Aku berbicara padanya dalam kegelapan.

Aku sempat mendengar balasan, "Aku tahu," darinya sebelum aku tiba di tepi sungai yang luar biasa jernih airnya.

Aku mendekati sungainya dan takjub melihat airnya yang bening dan berkilau karena sinar matahari, sementara di bawah sana ada banyak ikan yang berenang bebas dan bebatuan berwarna-warni. Sejenak, aku membiarkan diriku menyingkirkan pikiran tentang latihanku. Tempat ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan memikirkan hal menyebalkan seperti itu.

***