webnovel

20 - Avoiding

Even when I close my eyes

I can see you there

Only you

Aku melongok ke ruang makan dari pintu. Kali ini hanya ada Demon dan Vea di sana. Keduanya seketika menoleh ke arahku ketika menyadari kehadiranku.

Aku melambaikan tangan pada Vea. "Key di mana?" tanyaku.

Baik Vea maupun Demon tak menjawab. Sementara Vea meringis, Demon sudah tersenyum geli.

"Aku di sini." Suara di belakangku membuatku tersentak. "Apa yang kau lakukan di sini? Tidak makan?"

Aku berdehem, sebelum akhirnya berbalik. Aku sudah hendak memberikan alasanku ketika Key sudah berjalan melewatiku. Aku menoleh menatap punggung pria itu dengan kesal, tapi segera meredakannya, khawatir akan menyerangnya tanpa sengaja.

"Kau mau menghindari dia?" Demon bertanya padaku, menunjuk pada Key.

"Dia yang marah padaku," sahutku enteng. "Entah kenapa."

Key mendesah berat. "Karena kau tidak berkonsentrasi pada latihanmu dan malah melukai dirimu sendiri. Kau bahkan tak tahu salahmu?" Pria itu menatapku tajam.

Aku berdehem, lalu mengambil tempat di sebelah Vea. "Maaf. Aku sedang banyak pikiran belakangan ini. Kau bukan orang pertama yang kesal karena itu." Aku melirik Vea, meringis.

Vea mendengus geli.

"Pikiran seperti apa yang berhasil menyibukkanmu begitu rupa?" Demon menatapku penasaran.

Key. Apa lagi?

"Bukan urusanmu," ketusku.

"Well, Key bisa menembus pikiranmu dan … ah, tidak bisa. Itu akan sedikit menyakitimu, jadi dia tidak akan melakukannya. Tapi, mungkin … membuka pikirannya?" sebut Demon.

Aku merengut mendengarnya. "Jangan pernah melakukan hal seperti itu padaku," kataku pada Key.

"Apa itu berarti besok kau akan berkonsentrasi pada latihanmu?" balas Key tanpa menatapku.

Aku semakin merengut, tapi menjawab, "Ya," dengan setengah hati.

"Baiklah, kalau begitu," sahut Key ringan.

Aku mendengus kesal ketika mengisi piring makan malamku dengan daging panggang, lalu melahapnya dengan cepat untuk melampiaskan kekesalanku.

"Makanlah pelan-pelan, astaga!" Key terdengar kesal ketika mengatakannya.

Aku membanting garpu dan pisauku ke meja. "Aku sudah kenyang!" seruku kesal sebelum melangkah meninggalkan ruang makan. Aku bahkan pergi tanpa meminum air. Sekarang, tenggorokanku seolah tersumbat. Namun, aku tidak peduli. Memangnya siapa yang akan peduli pada hal seperti itu ketika sedang kesal?

***

"Mau apa kau kemari?" ketusku ketika Demon masuk ke kamarku, tak lama setelah aku meninggalkan ruang makan.

"Membawakanmu minum," katanya.

Perhatianku seketika tertuju pada segelas air minum di tangan Demon.

"Tidak biasanya kau berbuat baik. Sangat tidak Iblis," kataku, tapi aku berjalan ke tempatnya untuk mengambil alih gelas minuman di tangannya.

Demon mendengus geli ketika aku menenggak habis isi gelas itu dalam sekejap.

"Kurasa, jika Key yang membawanya kemari, bahkan meskipun kau hampir mati kehausan, kau tidak akan mau meminumnya," celetuk Demon.

"Kau sangat tahu diriku," pujiku tulus sembari melemparkan tubuhku kembali ke tempat tidur setelah melempar gelas kosong ke arah iblis itu.

"Key, lebih tepatnya," kata Demon lagi. "Dia yang menyuruhku membawakan minum untukmu, karena dia tahu, kau mungkin akan membanting gelasnya jika Key yang membawanya."

Aku mengerang mendengar itu, mendadak perutku bergolak. Key pasti sudah mengutuk airnya.

"Baiklah, aku sudah mendengarnya. Sekarang kau bisa pergi," usirku sembari menyelipkan tubuh di balik selimut. Aku ingin tidur cepat, dan aku sudah cukup lelah karena bertengkar dengan Key. Memang, kemarahan adalah hal yang efektif untuk memancing keinginan tidur. Bukan kantuk, tapi keinginan tidur.

Demon mendengus geli. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu," katanya.

"Bukan omong kosong yang akan membuat Key berteriak 'tutup mulutumu, Iblis,' itu, kan?" sinisku.

"Aku terharu melihat bagaimana kau menghafal kebiasaan menyebalkannya itu," sarkas Demon, membuatku merengut. "Tapi, bukan itu. Ini lebih tertuju padamu. Atau lebih tepatnya, menguntungkanmu."

Mendengar itu, aku menyipitkan mata, curiga, waspada, sekaligus penasaran.

"Aku tahu alasan kau tidak bisa berkonsentrasi dalam latihan mungkin adalah Key," Demon berbicara. "Dan itu terlihat jelas tadi."

Aku mendesah berat. "Jika kau hanya ingin meledekku …"

"Tidakkah kau ingin memastikan dia tidak akan terluka ketika berlatih bersamamu?" sela Demon, seketika menghentikan usiranku.

"Kau tahu … caranya?" aku balik bertanya.

Demon mengangguk. "Seperti yang kau tahu, kekuatanmu bukan hanya Penghancur, tapi juga Pelindung. Kau … mau mencoba menggunakan kekuatanmu yang itu?"

Mendengar itu, aku melebarkan mata. "Itu berarti, aku bisa melindunginya, tanpa perlu menyakitinya?"

Demon mengangguk. "Kau bahkan bisa melindungi Pemburu itu juga, atau siapa pun yang ingin kau lindungi."

Aku nyaris bersorak mendengarnya. "Kau tahu … cara kekuatanku itu bekerja?"

Demon mengangguk. "Tentu saja," jawabnya mantap. "Mau aku mengajarimu?" tawarnya.

Tanpa keraguan, aku mengangguk. "Tentu saja," aku menirukan jawabannya.

Membayangkan diriku akan bisa melindungi Key, dan Vea, dan Demon mungkin, aku merasa lebih baik. Yeah, aku juga punya kekuatan Pelindung. Dan aku akan melindungi mereka, terutama dari kekuatan Penghancurku sendiri.

***

"Bagaimana kau bisa meyakinkannya?" Key terdengar heran. "Kurasa mengirimmu untuk berbicara dengannya adalah keputusan yang tepat. Dia bahkan mungkin tidak akan mau membicarakan tentang itu jika denganku."

Aku menoleh ke arah sumber suara. Kulihat Key bersandar di samping jendela ruang kerjanya, menatap Demon yang bersandar santai di kursi di depan meja kerja Key.

"Kesepakatan kecil." Demon mengedik.

Key mendengus. "Seolah kau akan menepatinya."

Demon menyeringai.

Oh ya, tentu saja. Iblis. Apa yang kuharapkan darinya?

"Siapkan saja dirimu jika besok dia mengetahui bahwa kau akan mengkhianatinya," Key berbaik hati mengingatkan Demon.

Demon tersenyum lebar. "Dia akan harus berpikir dua kali untuk itu. Kecuali dia ingin menyakiti Vea juga."

"Sekarang kau bahkan memanfaatkan gadis itu juga?" dengus Key.

"Aku harus bertahan hidup. Pilihan apa yang kupunya?" sahut Demon.

"Jadi, besok dia mau berlatih menggunakan kekuatan Pelindungnya?" Key memastikan.

Demon mengangguk. "Dengan polosnya, dia ingin agar aku tidak mengatakan ini pada kau ataupun Vea."

"Itu … kesepakatan kalian? Hanya agar kau tidak mengatakan tentang itu padaku atau Pemburu itu?" Key mengerutkan kening. "Apa untungnya itu bagi dia?"

"Karena dia tidak ingin kau tahu bahwa dia …"

"Bahwa aku bisa melindungi diriku sendiri," aku menyela kalimat Demon.

Seketika, Demon dan Key menoleh padaku, tampak terkejut.

"Kau … sejak kapan …?" Key berjalan ke tempatku, tapi aku mengangkat tanganku, memintanya berhenti.

"Cukup untuk tahu bahwa dia tidak menepati kesepakatannya denganku. Iblis sialan itu." Aku mengedik ke arah Demon yang sudah menyeringai tanpa rasa bersalah.

"Kurasa jiwanya bisa menggunakan kekuatannya dengan sendirinya, bahkan tanpa dikendalikan," Demon berkata.

"Itu lebih berbahaya lagi," Key menyahut. "Crystal, kurasa sebaiknya kau kembali ke tubuhmu karena besok kau masih harus berlatih mengendalikan kekuatanmu."

Aku mendengus. "Kenapa? Kalian toh hanya akan membicarakan tentangku. Lanjutkan saja. Aku akan menjadi pendengar yang baik."

"Baiklah. Lagipula, ada satu hal yang perlu kau tahu," kata Key kemudian.

Aku menyipitkan mata. "Apa?"

"Kau akan berlatih denganku besok, bukan dengannya." Dia mengedik ke arah Demon.

Aku terbelalak. "Tapi, dia bilang …"

"Dia hanya akan membantu," sela Key. "Dan dia pasti akan dengan senang hati membantumu untuk itu."

Aku menatap Demon heran. Dengan senang hati membantuku?

Demon tersenyum lebar seraya melompat berdiri. "Baiklah, itu saja yang perlu kita bicarakan. Aku pergi dulu, sementara kau mengantarkan gadismu ke alam mimpi."

"Kuharap kita bertemu lagi di mimpiku, Iblis, agar aku bisa membuatmu membayar untuk ini," desisku.

Demon, alih-alih takut, justru tertawa puas. Dia menunjuk Key, "Dia tidak akan mengizinkanku mengganggu tidurmu. Dan omong-omong, bertemu denganku dalam mimpi itu berarti mimpi buruk. Kau benar tentang satu hal. Aku Iblis."

Aku sudah hendak membalasnya ketika kurasakan seseorang memalingkan wajahku, merengkuhku dalam peluknya, dan aku kembali berada di alam mimpi. Tanpa Demon, tentu saja. Dan sayangnya, tanpa Key juga.

Aku mendesah berat ketika mendapati diriku berada di pantai. Aku duduk di atas pasir, menatap lurus ke depan. Menoleh ke samping dan merengut mendapati Key tak ada di sini. Ada apa denganku, sungguh?!

***