webnovel

2 – Penyelamat Menyebalkan 

Sial, itu sakit. Mimpi sialan macam apa ini?

"Kau iri pada wajah cantiknya?" Sebuah suara tiba-tiba datang dari salah satu sudut gang itu, membuatku menoleh ke belakang.

Keningku berkerut melihat sesosok tinggi pria berambut cokelat gelap yang agak berantakan, bersandar santai di sudut gang. Dari mana dia datang? Bagaimana dia datang? Melompat dari atas? Aku tadi tidak melihatnya di sana. Jadi, bagaimana bisa dia ada di sana sekarang?

"Sial," umpat wanita sialan di depanku ini. "Pejuang."

Pejuang? Oh, abad keberapa sebenarnya mimpiku ini?

"Kurasa kalian tahu, aku tidak akan berbaik hati seperti para Prajurit." Pria yang baru datang itu berjalan ke arahku.

Saat itu juga, aku merasakan pegangan tanganku terlepas. Tanpa menatapku lagi, keempat orang itu berlari keluar gang, meninggalkanku terlongo di tempatku.

"Tidakkah kau tahu bahwa kau tidak seharusnya percaya pada siapa pun kecuali kau ingin mati?" Suara itu kontan membuatku menoleh. Pria misterius tadi.

Aku mengusap lenganku sembari menyipitkan mata menatapnya. Pria itu bahkan tidak bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. "Kenapa aku harus melakukan itu? Apa kau tahu? Tidak ada satu pun orang yang akan menyakitiku," balasku tanpa ragu.

"Lalu, tadi itu apa?" Pria itu mengedikkan kepala ke ujung gang.

Aku berdehem. "Aku tidak tahu. Mereka mungkin tidak mengenalku. Atau ayahku. Siapa pun yang mengenal ayahku, tidak akan pernah melakukan hal seperti itu padaku," ucapku dengan dagu terangkat tinggi.

"Aku juga tidak," sahut pria itu.

"Kau tidak tahu Anthony Wiratmaja? Pemilik A Group?" sebutku.

Pria itu mengerutkan kening, lalu menggeleng. "Apakah dia sepenting itu? Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya."

Aku mendengus tak percaya, tapi kemudian aku sadar. Ini dunia mimpi. Tentu saja.

"Well, kurasa kau tidak perlu tahu. Yang kuperlukan hanya bangun dari mimpi sialan ini dan kau juga akan lenyap dari hidupku. Selamanya," kataku.

Kerutan di kening pria itu semakin dalam. "Mimpi?"

Malas menjawabnya, aku berbalik, tapi pria itu menahan lenganku. "Kau mau ke mana?" tanyanya tajam.

"Pulang. Atau lebih tepatnya, jalan-jalan sebentar, sebelum bangun dari mimpi ini. Meski di sini aku bertemu dengan orang-orang menyebalkan, tapi kuakui, pemandangannya menakjubkan. Jadi, aku akan menikmatinya sedikit lebih lama lagi."

Aku sudah menarik tanganku dari pegangan pria itu ketika guyuran deras air yang entah datang dari mana mendarat di kepalaku, seketika membekukanku.

"Kau masih berpikir ini mimpi?" pria di belakangku berkata.

Aku kembali menatapnya.

"Jika ini mimpi, tidakkah kau seharusnya terbangun setelah disiram air sebanyak itu? Atau, perlukah aku menamparmu, seperti yang dilakukan wanita bodoh tadi padamu, untuk menyadarkanmu?" Pria itu terdengar kesal.

Aku mengerjapkan mata. Ini bukan mimpi. Aku baru sadar aku mengucapkan apa yang kupikirkan, ketika pria itu membalas,

"Ya, ini bukan mimpi."

"Lalu … aku di mana?" tanyaku bingung, menatap sekitarku, lalu di bawahku. Setelah mengetahui bahwa ini bukan mimpi, mendadak aku merasa mual berada di ketinggian setinggi ini, hanya menapak pada lantai kaca.

"Apa maksudmu kau ada di mana?" Suara pria itu begitu dekat dan ketika aku menoleh. Dia berada tepat di depanku, tanganku memeluk erat lengannya. "Kita ada di belakang stasiun. Daerah sini memang rawan perampokan. Seolah penipuan belum cukup saja setiap harinya,"dengus pria itu kesal.

Perampokan? Penipuan? Dunia macam apa ini?

"Jangan percaya pada siapa pun. Tidakkah kau sudah diperingatkan tentang itu oleh orang tuamu?" kata pria itu, masih terdengar kesal.

Aku mendengus pelan, tak percaya. Tidak. Satu-satunya hal yang dikatakan Ayah padaku adalah,

"Dunia ini milikmu. Kau bisa melakukan apa pun sesukamu, dan tak akan ada yang berani menyakitimu."

Selama ini, aku hidup dengan kepercayaan itu. Lalu … sekarang aku terdampar di dunia yang sama sekali berbeda dengan kepercayaanku itu?

"Hei," panggil pria itu seraya mengguncang bahuku. Aku menoleh, tapi entah kenapa, pria itu tampak semakin tinggi. Atau lebih tepatnya, kakiku yang kehilangan kekuatan hingga aku merosot ke lantai kaca itu.

Tidak. Ini pasti mimpi. Harus mimpi. Di dunia seperti ini, bagaimana aku bisa hidup? Tanpa ayahku, bagaimana aku bisa hidup?

"Hei!" Seruan itu terdengar begitu jauh ketika aku merasakan tubuhku limbung, dan akhirnya aku merasakan lantai kaca yang dingin itu di tubuhku. Ya. Lantai kaca. Sialan.

***

Aku menatap pria itu kesal karena memaksaku kembali melihat pengalaman mengerikan pertamaku di dunia ini. Ya, setelah aku sadar esok harinya, pria itu menjelaskan semuanya padaku, menanyakan alasanku bisa berada di sana, dan terheran-heran dengan dunia tempat aku tinggal. Sialan pria itu.

Sebelum ini, aku tidak pernah percaya dengan dunia paralel. Namun, ini bukan sekadar dunia paralel. Ini dunia yang sama sekali berbeda, orang yang berbeda, meski mereka menggunakan bahasa manusia yang sama denganku. Namun … pria itu memiliki kekuatan, yang jika di duniaku, hanya bisa kulihat di film-film fantasi dunia sihir. Bedanya, pria itu tidak memerlukan tongkat atau mantra untuk melakukan hal-hal itu. Dia bilang, setiap Pejuang terlahir dengan bakat itu. Dan Pejuang terkuat, memiliki kemampuan paling banyak, paling kuat.

Meski awalnya aku masih percaya bahwa aku sedang bermimpi, tapi setelah aku tinggal di dunia ini selama hampir dua bulan, mau tidak mau aku harus menerima kenyataan, bahwa aku terdampar di dunia antah berantah ini, dan aku harus menemukan cara kembali ke duniaku sendiri.

Selama hampir dua bulan berada di sini, aku mempelajari hal-hal penting seperti, bagaimana kau benar-benar akan mati, dan itu benar-benar mati, jika kau percaya pada orang lain di dunia ini. Namun bahkan setelah hampir dua bulan, aku masih saja bisa tertipu. Well, bisa dibilang, aku baru berumur beberapa minggu di sini.

Kau akan terkejut jika kukatakan berapa umur pria di depanku ini. Tiga ratus empat puluh tiga tahun. Oh, wow, astaga. Dia amat sangat tua sekali. Sedangkan aku … hanya gadis kecil ayahku yang masih berusia dua puluh tahun. Di mata pria ini, aku adalah bayi yang baru lahir. Dan aku mau tak mau harus mengakui itu.

Di dunia ini, semuanya hampir mirip dengan duniaku. Di sini juga ada orang-orang semacam polisi yang disebut Prajurit. Lalu ada Pejuang, yang seperti anggota elit di masyarakat. Konon, para Pejuang masih keturunan dari Kerajaan, sebelum pemerintahan berganti Republik. Ya, mereka punya Presiden, atau semacam itu, dengan sebutan Pimpinan Besar. Dan Menteri, yang bernama Pendamping Pimpinan. Di sini juga ada semacam rumah sakit, tapi namanya Tempat Pemulihan, dengan para ahli medis yang disebut Penyembuh.

Di sini juga ada televisi, yang lebih canggih dari duniaku. Layarnya berupa gambar hologram, seperti gambaran masa laluku yang barusan ditampakkan pria itu padaku. Hanya saja, di sini mereka bisa mengontrol gambar hologram itu. Mereka bisa membuat gambar hologram itu hanya bisa dilihat orang-orang tertentu.

Seperti gambaran masa laluku tadi, pria itu membuatnya hanya bisa terlihat olehku. Aku bahkan tak tahu bagaimana bisa dia mendapatkan gambaran itu, tapi dia bilang, itu dari ingatannya. Jika ingatan seseorang begitu kuat, dia bisa memasukkannya dalam gambar hologram. Yang paling ahli dalam hal itu tentu saja, para Pejuang. Oh, dan Pemikir. Semacam ilmuwan jenius jika di duniaku.

"Kurasa kita tidak akan mendapatkan apa pun lagi di sini tentang dunia tempat tinggalmu," kata pria itu, menarikku keluar dari pikiranku.

Aku mendesah berat. "Apa kau akan diam saja bahkan meskipun ponselku diambil pencuri di depan matamu?" protesku.

"Aku sudah mengingat wajah pencurinya tadi," jawabnya santai.

"Lalu? Kita akan pergi ke pol … Prajurit?" Aku meralat kata terakhirku.

"Tidak perlu. Dia akan kembali ke sini." Pria itu masih begitu santai. Itu sukses membuatku semakin kesal.

"Yeah, dia akan kembali ke sini dan mengembalikan ponselnya padaku setelah melarikan diri," sahutku sarkatis.

"Kenapa baru sekarang kau menunjukkan ketidakpercayaanmu?" balas pria itu sinis.

Aku berdehem. "Memangnya aku bisa mengontrol itu?" sengitku.

"Berusahalah. Jika kau tidak ingin mati sebelum kembali ke duniamu berasal," balasnya, yang seketika membungkamku. Dia benar. Aku ingin kembali ke rumahku, ke ayahku, dalam keadaan hidup.

Pria itu berbalik kemudian, dan aku mengikuti arah tatapannya untuk melihat pria berjas kantor tadi melajukan motornya ke arahku, dengan ekspresi terkejut.

Saat dia berdiri di depanku, dia menoleh ke arah pria yang berdiri di sebelahku. "Kau … Pejuang." Pernyataan, bukan pertanyaan. Tepat.

Pria di sebelahku tak menjawab dan mengedik santai ke arah ponsel yang ada di tangan pencopet, pencuri, atau entah apa namanya di dunia ini. Pria berjas kantor itu seketika mengangsurkan ponsel itu kembali padaku, sebelum melesat kabur dari sana.

"Bagaimana kau melakukannya? Membuatnya kembali ke sini, bahkan langsung tahu tentangmu?" Aku menatap pria di sebelahku penasaran.

Pria itu tersenyum seraya mengetuk keningnya dengan jari telunjuk. "Aku sempat mengendalikan pikirannya sebelum dia pergi. Pikirannya terlalu lemah, jadi mudah ditembus dan dikendalikan. Kau tahu, kemampuanku …"

"Aku tahu, aku tahu," selaku, tak ingin mendengar dia membanggakan kekuatannya lagi, atau kenyataan bahwa dia adalah salah satu Pejuang terkuat.

"Aku tahu, di duniamu kau tidak terbiasa melihat orang sekuat aku, tapi …"

"Key," aku menyebutkan namanya, menghentikan kalimatnya yang hanya akan membuatku memutar mata itu.

"Ya?" balas pria itu.

"Sebaiknya kita pulang dan segera istirahat. Sepertinya kau menggunakan kekuatanmu terlalu banyak pada pria malang tadi," kataku.

Key mendengus. "Crystal?" panggilnya.

Dan aku tahu, dia tidak pernah tidak membalasku, untuk apa pun yang kulakukan padanya.

"Satu-satunya hal yang menyita kekuatanku adalah dirimu, kau tidak lupa itu, kan?"

Sudah kubilang, kan, dia benar-benar pendendam sialan menyebalkan?

***