webnovel

19 – Latihan Berat 

"Ah! Ah! Tunggu, tunggu!" Aku berteriak kesakitan ketika Vea memiting lenganku.

Vea segera melepaskan pitingannya, tapi tampak kesal. "Lagi? Apa sebenarnya yang kau pikirkan? Kau sama sekali tidak fokus. Berapa kali aku harus menyakitimu seperti ini?"

Aku meringis. Well, Vea belakangan selalu kesal setiap kali aku lengah dan membiarkan diriku sendiri terluka saat berlatih. Dua hari terakhir ini memang konsentrasiku sedikit kacau. Dan alasannya, tak lain adalah Pejuang brengsek bernama Key.

Seandainya sejak awal dia mengatakan bahwa dia menculikku, menyiksaku, seperti yang dia lakukan pada Vea, saat ini aku pasti tak akan ragu sedikit pun menyerangnya, atau kabur dari tempat ini sekarang juga. Sialnya, pria brengsek itu, setelah bersikap begitu manis bak malaikat penolongku, sekarang dia menikamku dari belakang. Tak hanya itu, aku bahkan tak bisa melakukan apa pun karena khawatir aku akan menyakitinya.

Vea mendesah berat. "Kau mau bercerita? Kau lebih banyak diam belakangan ini," Vea berkata lembut, tak ada lagi nada kesal di sana.

Aku tersenyum lemah, menggeleng. Aku tak ingin membuat dia khawatir juga.

"Aku hanya sedikit kesal, karena aku masih belum semahir kau dalam bertarung dengan tangan kosong," aku beralasan.

Vea mengangguk mengerti. "Maaf, aku jadi bersikap menyebalkan. Aku hanya khawatir. Kau terus-menerus membiarkanku menyerangmu. Lihat ini." Vea menatap lebam di ujung bibirku.

Aku meringis, mengabaikan nyerinya. "Tidak apa-apa. Aku mulai terbiasa. Aku harus terbiasa, kan?"

"Seandainya kau mau menggunakan kekuatanmu sedikit saja," desah Vea.

"Aku akan baik-baik saja bahkan tanpa itu," aku berusaha menenangkannya.

"Kalau begitu, mau mencoba memakai senjata?" Demon tiba-tiba sudah bergabung di halaman. "Para Pemburu sangat ahli menggunakan senjata. Berbagai macam senjata."

"Kau akan membiarkanku menggunakannya?" sinis Vea.

"Untuk mengajari Crystal, ya," sahut Demon santai. "Tapi, jika kau berusaha kabur dan kembali ke kaummu, dia yang akan menggantikanmu untuk pergi ke dunia bawah," tambahnya, membuat Vea menggeram marah.

"Seharusnya aku tahu," desis Vea penuh dendam.

Demon mengedikkan bahu santai. "Apa yang kau harapkan? Aku seorang Iblis, Cantik."

Vea mendengus kasar. "Dan terkutuklah kau, Iblis."

Demon merentangkan tangan, berbesar hati menerima umpatan Vea. Ketika dia menurunkan tangan, tangan kanannya membawa sebuah belati.

"Senjata pertama," Demon berkata seraya melemparkan senjata itu ke arahku.

Aku yang tak siap terkejut. Aku mendengar Vea mengumpat di sebelahku seraya melompat ke arahku, tapi sebuah tangan lain sudah menangkap belati itu untukku. Key.

"Lain kali, hati-hati dengan tanganmu, Demon. Aku mulai kehabisan kesabaran," Key berkata dingin.

"Aku hanya mengundangmu kemari, Pejuang. Kupikir kau akan suka melihat gadismu terluka oleh senjata itu selama berlatih," kata Demon, agak sedikit terlalu riang.

Sementara, Key dan Vea sudah melemparkan tatapan kesal ke arah Iblis itu.

Demon akhirnya berkata padaku, "Maaf." Diikuti seringaian usilnya. Aku hanya memutar mata menanggapinya.

***

"Untuk Pejuang yang punya kemampuan teleportasi," Vea kembali menjelaskan untuk teknik lainnya, "biasanya mereka akan muncul di depanmu. Tapi jika kau bisa melindungi senjatamu, dia akan berputar ke belakang. Saat itulah, kau harus …" Vea tiba-tiba menghentikan penjelasannya dan menatap Key. "Sebenarnya aku tidak suka menunjukkan ini di depanmu, tapi karena kau sangat sering berteleportasi, kuberi tahu kau agar kau bisa menghindar jika Crystal menyerangmu dengan cara ini," katanya pada Key.

Aku kontan menatapnya kesal. "Kenapa kau harus mengatakan itu padanya? Kau ingin aku kalah darinya?" omelku.

Vea tersenyum. "Maaf, tapi aku melakukan ini untukmu." Dia mengusap kepalaku lembut. "Jadi, jika penyerangmu ada di belakangmu, kau harus memutar pisaunya, dan arahkan ke bagian vitalnya, di bagian perut yang paling mudah. Lalu berbaliklah, dan buat tusukannya semakin dalam. Itu akan membunuh mereka dengan cepat."

"Wah, tidakkah kau terlalu brutal mengajarinya?" Demon berkomentar.

"Dia harus menguasai ini, terutama jika lawannya adalah Iblis," balas Vea tanpa menatap Demon. Dia lalu menatapku. "Jika kau melawan Iblis, pastikan kau menusuk jantungnya. Tepat di jantungnya," Vea menekankan.

Aku melirik Demon yang sudah menatap Vea kesal. Aku tersenyum kecil melihatnya.

"Baiklah, aku akan mencoba," kataku sembari mengambil alih belati di tangan Vea. Aku mengulangi teknik-teknik sebelumnya, lalu memutar belati di tanganku dengan cepat, meski belum selincah Vea, untuk mempraktekkan teknik terakhir tadi.

"Kau akan melukai tanganmu jika seperti itu," protes Vea. "Kemarikan, dan lihat," katanya. Lalu, dia kembali menunjukkan gerakan yang benar.

Aku mengangguk, mengulanginya. Selama beberapa saat, aku berlatih memutar belati di tanganku tanpa melukai tanganku. Vea berkali-kali menjerit panik ketika aku melakukan kesalahan.

"Tampaknya, sebelum kau menguasai itu, Pemburu itu akan kehabisan suaranya lebih dulu," Demon berkomentar santai.

Aku meliriknya kesal, harus menahan diri untuk tidak melempar belatiku ke arahnya.

"Yeah, aku tahu apa yang kau inginkan. Tapi, melemparnya dari jarak sejauh ini tidak akan terlalu menyakitinya. Jika ingin menyerangnya, lakukan dari jarak dekat," Vea berbaik hati memberikan saran, membuat Demon lagi-lagi menatap gadis itu kesal, dan aku lagi-lagi tersenyum geli.

"Sekarang, kau akan mempraktekkannya denganku. Aku akan mencoba menyerangmu dan …"

"Tidak!" aku dan Demon berseru bersamaan menanggapi kata-kata Vea.

Vea menatapku bingung. "Kenapa?"

Aku meringis. "Aku khawatir aku akan melukaimu."

Vea menggeleng. "Tidak akan. Aku akan …"

"Aku yang akan melakukannya." Demon tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.

Aku menatapnya. "Haruskah aku mencoba menikam jantungmu?"

Demon tersenyum geli. "Belati itu tidak akan membunuhku. Itu bukan belati perak. Jika kau menikam jantungku pun, Pemburu itu juga akan kesakitan. Mungkin dia juga akan mati bersamaku."

Aku seketika menoleh pada Vea. Lalu, kembali menatap Demon. Sekarang, aku harus berlatih dengan siapa?

"Kau akan berlatih denganku kecuali kau ingin menyakiti Pemburu itu." Suara Key membuatku mencelos.

Tidak dia juga, kumohon.

"Setidaknya, dia bisa segera menyembuhkan lukanya sendiri jika dia terluka," Demon berkata.

Aku menatapnya kesal. Bukan berarti dia tidak akan merasakan sakitnya, kan? Dan aku tidak suka jika harus menyakitinya.

"Tidak bisakah kita menggunakan salah satu Iblis pengawal di kastilmu?" tanya Vea hati-hati.

Demon menatap Vea penuh minat. "Jika kau mau, tidak masalah. Toh kelak mereka juga akan menjadi pengawalmu."

Mendengar itu, seketika Vea merengut. Demon tampak sangat menikmatinya.

"Aku tidak akan terluka semudah itu," Key kembali berbicara. Pria itu sudah berdiri di sebelahku, tapi aku masih belum berani menatapnya. "Dan aku yang paling tahu bagaimana para Pejuang bertarung."

Aku mengeluh dalam hati. Tidak bisakah pria ini pergi saja?

"Baiklah, tidak perlu berlatih lagi," Demon berkata riang. "Kita berempat bisa mengobrol santai di sini. Sudah lama kita tidak mengobrol seperti ini, kan?"

Kontan aku menatap Demon kesal. "Kau saja, mengobrollah dengan dirimu sendiri."

Demon tergelak, mengangkat tangan, lalu mundur. "Satu hal lagi kenapa kau memang seharusnya berlatih dengan Key," katanya.

Aku mengerutkan kening.

"Dia tidak suka jika pria lain menyentuhmu." Demon menyeringai.

"Tutup mulutmu, Iblis," desis Key kesal. "Dan kau, menyingkirlah," dia berkata pada Vea.

Vea menatapku, sedikit cemas, entah kenapa, sebelum akhirnya mundur. Well, seingatku beberapa waktu lalu, dia yang mengatakan bahwa Key selalu berusaha melindungiku. Lalu, untuk apa dia tampak begitu cemas?

"Aku akan menyerangmu. Seperti kata Pemburu itu di awal latihan kalian, kau harus menggunakan instingmu untuk menghadapi seranganku," Key berkata, memaksaku untuk fokus pada pertarungan kami.

Aku mengangguk. Aku tak punya pilihan lain. Yah, aku hanya harus memastikan dia tidak terluka.

Begitu kami mulai, Key mulai menyerang. Aku berusaha menahan serangannya, lalu balas menyerang, tapi Key juga berhasil menghindar. Tiga teknik pertama yang diajarkan Vea tadi gagal karena aku bergerak kurang cepat, atau lebih tepatnya, aku terlalu berhati-hati untuk tidak menyakiti Key.

Ketika Key akhirnya berpindah tepat di depanku, tangannya meraih tanganku, hendak merebut belatiku, tapi aku melempar belatiku lewat punggungku, menangkapnya dengan tanganku yang lain. Saat itulah Key menghilang ke belakangku. Aku bisa merasakannya. Aku mengingatkan diriku untuk mengarahkan seranganku sejauh mungkin dari perutnya, tapi karena fokus akan tujuan seranganku, aku merasakan tanganku tergores saat membalik belatinya.

Belatinya seketika terlepas dari tanganku dan berpindah ke tangan Key, sebelum lenyap entah ke mana. Sementara, pria itu sudah meraih tanganku, memeriksa lukaku. Hanya luka gores ringan, tapi ya, berdarah. Dan perih.

"Crystal." Vea menghampiriku, tampak cemas.

"Aku baik-baik saja." Aku tersenyum menenangkannya.

Namun kemudian, Demon tiba-tiba muncul di depan Vea, menghalangi Vea berjalan ke arahku. Detik berikutnya, aku mendapati diriku berada di tengah kegelapan, sebelum aku mendapati diriku berada di kamarku. Key pergi sebentar hanya untuk mengambil kotak obat, dan segera kembali untuk mengobati lukaku.

"Istirahatlah." Hanya itu yang dia katakan sebelum pergi setelah mengobati lukaku.

Sementara aku tak dapat mencegah diriku terbengong-bengong di tempatku. Apa itu tadi? Hanya begitu? Namun, Key tampaknya marah. Apa karena aku tidak serius dengan latihanku? Yah, aku bisa apa? Aku benar-benar tidak ingin menyakitinya. Tidakkah seharusnya dia berterima kasih karena aku sudah berhati-hati?

Aku merengut ketika akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Aku tidak ingin memberikan alasan lain lagi pada Key untuk marah padaku.

***