webnovel

17 – Picnic 

Never let go of my hand

I know it's you

"Bisakah kau membuatnya menggunakan kekuatannya?" Aku mengenali suara itu. Demon.

Aku menoleh. Kulihat dia berbicara pada Vea, di kamar Vea, sementara Key juga ada di sana, bersandar di dinding sebelah pintu.

"Kau ingin dia menyerangku?" Vea menyipitkan mata.

"Aku akan melindungimu," janji Demon.

"Kau pikir, dia akan mau menggunakan kekuatannya lagi setelah apa yang terjadi pada Pejuang itu?" Vea mengedikkan kepala ke arah Key, yang mendesah berat.

"Dia harus menggunakannya," Key angkat bicara. "Meskipun dia bisa bertarung dengan tangan kosong, tapi lawannya bukan hanya para Pejuang, tapi juga para Pemburu. Kau pikir, dia akan bisa menang tanpa menggunakan kekuatannya?"

"Kenapa kau harus peduli tentang itu?" sengitku, seketika membuat ketiga orang itu menoleh kaget padaku.

"Sejak kapan kau ada di situ?" tanya Key seraya menghampiriku.

Aku lantas teringat bagaimana pria itu mengirimku kembali ke tubuhku dan refleks aku mundur.

"Cukup lama untuk mendengar apa yang kalian rencanakan untukku," jawabku. "Dan jangan mendekat jika kau hanya ingin mengusirku," kesalku.

Seketika, langkah Key terhenti. Pria itu menatapku lekat.

"Pelindung?" Demon bertanya.

Key mengangguk. "Jika dia bisa mengendalikannya, dia mungkin bisa pergi tanpa harus bertarung."

Mataku melebar. "Bisakah begitu?" tanyaku antusias. Well, pikiran menyakiti orang lain, atau Key, sudah cukup membuatku mual, omong-omong.

"Tapi, kau bahkan tak mau menggunakan kekuatanmu," balas Key. "Kau harus melatih keduanya, Crystal. Dengan begitu …"

"Tidak, kataku," selaku tajam.

"Sepertinya, kau memang lebih suka tinggal di sini. Haruskah aku benar-benar membuatmu menjadi Pasanganku?" Key menelengkan kepala, seolah benar-benar mempertimbangkan keputusan gilanya itu.

Aku menatapnya ngeri. "Agar kau bisa selamanya memanfaatkanku, lalu mengorbankanku seperti yang dilakukan kaummu pada ibuku?"

Mendengar itu, ekspresi Key berubah dingin. Dan dia menjawab, "Ya."

Sial. Itu sakit. Pria brengsek ini …

"Aku akan menahanmu di sisiku untuk memanfaatkan kekuatanmu, lalu …"

"Hentikan," selaku. Aku tidak ingin mendengar itu sendiri darinya.

"Aku akan …"

"Hentikan, kataku!" teriakku. Seketika itu juga, Key terlempar ke ujung ruangan. Dia menabrak dinding, tapi tidak terluka ataupun berdarah.

Meski begitu, aku bisa merasakan tubuhku kaku. Aku … menyerangnya lagi.

"Maaf, aku lupa mengingatkan jika jiwamu juga bisa menggunakan kekuatanmu sebaik ketika dia berada dalam tubuhmu," Demon berbaik hati mengatakan.

Aku menatap Key yang berjalan ke arahku, tampak baik-baik saja bahkan setelah seranganku tadi. Sial. Apa pria itu sengaja? Membuatku marah seperti tadi …

"Jangan mendekat, Key, kumohon," pintaku putus asa.

"Kau akhirnya memanggil namaku lagi." Key bahkan masih bisa tersenyum sesantai itu di saat seperti ini.

"Brengsek, kau," makiku pelan sembari berbalik, tapi kemudian aku terpaksa berhenti ketika Key sudah berada di depanku.

Seketika, aku menautkan tanganku ke belakang punggung, menjauhkannya dari Key, khawatir aku akan tanpa sadar menyakitinya karena emosiku sedang tidak ramah.

Key mendengus geli. Mengejutkanku, dia tiba-tiba memelukku. Sialan, Key, dia kembali menjebakku di alam mimpi yang sulit kutolak. Kali ini, dia membawaku ke taman bunga. Namun, ini bukan taman yang ada di resort. Ini … sebuah taman di dunia ini. Rumputnya, bunganya, pohonnya … dan kupu-kupunya. Dengan sayap yang begitu cantik, dengan berbagai warna cerah, kupu-kupu itu berterbangan, meninggalkan jejak cahaya berwarna-warni di belakangnya.

Ketika aku menunduk, kulihat sebuah selimut piknik berada di depanku, dengan berbagai macam makanan di sana. Aku nyaris bersorak ketika menjatuhkan diriku di sana. Aku tahu ini hanya mimpi, tapi aku tak bisa menahan kegembiraanku. Sepertinya, aku terlalu mudah tergoda dengan makanan. Namun, kemudian aku sadar, Key mendengar rencanaku untuk piknik dengan Vea besok.

***

Setelah membiarkan Vea menata rambutku pagi itu, aku mengikutinya ke dapur. Aku nyaris melompat-lompat dalam perjalananku karena terlalu senang.

"Aku senang kau tidak harus selalu berada di kamarmu lagi," kataku jujur.

Vea tersenyum. "Kurasa itu berkat kau," balasnya. "Sebenarnya, Iblis itu masih tidak mau membiarkanku pergi ke mana pun di luar kamar itu, tanpa dia di sebelahku. Tapi, Pejuangmu itu berkata bahwa dia yang akan menjamin aku tidak akan pergi ke mana pun. Yeah, dia akan melakukan apa pun untuk membuatmu merasa lebih baik setelah kau tahu tentang kebenaran yang dia sembunyikan."

Aku mencibir. "Dia hanya khawatir aku akan membuat masalah dan menghancurkan istananya."

Vea tergelak. "Dia mungkin bahkan tidak akan keberatan dengan itu."

Aku meringis. "Tapi, kenapa dia begitu keras kepala agar aku menggunakan kekuatanku? Apa dia benar-benar akan menahanku di sini dan memanfaatkan kekuatanku begitu aku bisa mengendalikannya?"

Vea menggeleng, tampak serius. "Dia benar tentang itu. Tapi, alasannya karena para Pemburu juga menginginkanmu, Crystal. Tanpa kekuatanmu, kau tidak akan bisa mengalahkan kedua kaum itu."

Aku mendesah berat. "Tapi, aku tidak mau menggunakan kekuatanku," kataku muram.

Vea meraih tanganku, menggenggamnya lembut. "Aku tahu. Tidak perlu khawatir. Aku akan mengajarimu teknik-teknik lain lagi besok. Untuk serangan jarak jauh, jika kau punya senjata, kau mungkin tidak perlu menggunakan kekuatanmu," ucap Vea, menghiburku, membesarkan hatiku.

Aku tersenyum mendengarnya. "Aku sedikit menyesal mengatakan ini, tapi aku tidak bisa berbohong, aku senang mereka menangkapmu dan membawamu kemari," ungkapku jujur. "Meski aku benci bagian Key menyiksamu dan Demon mengancammu," tambahku cepat.

Vea yang tadinya tampak terkejut, kini tergelak. "Kau tahu? Semakin aku mengenalmu, kau tampak semakin polos di mataku."

Aku meringis. "Apa itu buruk?"

Vea menggeleng. "Karena dengan begitu, aku bisa sepenuhnya mempercayaimu."

Aku lega mendengarnya. Benar. Di dunia ini, hal tersulit untuk didapatkan adalah kepercayaan. Di luar sana, kau bisa mati jika membabi buta percaya pada orang lain. Namun dengan Vea, setidaknya aku tidak perlu khawatir tentang itu.

***

"Kau tidak bisa menata rambutmu sendiri?" tanya Vea takjub setelah aku mengaku betapa bersyukurnya aku ketika dia mau menata rambutku untukku.

Aku menggeleng. "Ada yang melakukannya untukku," jawabku. "Karena sejak kecil aku tumbuh tanpa ibuku, ayahku menyewa beberapa pengasuh untukku. Bahkan hingga umurku dua puluh tahun, aku tak pernah pergi ke mana pun tanpa mereka."

"Kau … baru dua puluh tahun?" Vea terdengar heran.

Aku mengangguk. "Dan kau? Sudah ratusan tahun juga?" cibirku.

Vea tersenyum geli, menggeleng. "Hanya beberapa tahun lebih tua darimu. Dua puluh enam usiaku tahun ini."

Aku terbelalak. "Tidak ratusan tahun?"

Vea tergelak seraya menggeleng. "Aku bukan makhluk immortal," katanya.

Mendengar itu, seketika tatapanku berubah muram.

"Ada apa?" tanya Vea, sedikit terkejut karena perubahan tiba-tiba suasana hatiku.

"Jika kau bukan makhluk immortal, lalu bagaimana dengan Demon? Bukankah Iblis makhluk immortal? Bagaimana dia akan menjalani ratusan tahun, dan ribuan tahun mendatang, tanpa dirimu?" ungkapku sedih.

Vea menatapku geli. "Dia akan baik-baik saja, Crystal. Kami akan segera tahu bagaimana mengakhiri ikatan ini begitu adiknya kembali. Dan aku tidak harus menemaninya selamanya."

"Karena itu … bagaimana dengan Demon jika kau tidak bisa hidup abadi sepertinya?" Aku masih tak bisa menyingkirkan kesedihanku, memikirkan betapa sedihnya Demon nanti.

"Crystal, kupikir kau tidak menyukai Iblis itu?" sebut Vea hati-hati.

Aku menggeleng. "Tapi, dia menyukaimu."

Vea tergelak, menggeleng. "Tidak. Sudah kujelaskan kan, kami hanya terikat. Itu saja. Kenapa kau begitu peduli tentang apa yang akan terjadi padanya?"

Aku meringis. "Karena dia tampak begitu sedih dan terluka saat kau terluka parah, dan dia selalu mengkhawatirkanmu, dan dia selalu mengamuk setiap kali kita mengobrol tentang kepergianmu ke duniaku."

Vea mendengus geli. "Well, tentu saja dia merasa seperti itu. Berapa kali harus kukatakan, kami terikat, dengan paksa. Dia akan kesakitan jika aku terluka. Dan dia pikir, akulah satu-satunya kunci tentang keberadaan adiknya yang menghilang itu."

Aku mendesah berat. Sepertinya kami memang tidak akan pernah sepakat tentang ini. Sudah diputuskan, Vea terlalu membenci Demon untuk memikirkan kemungkinan manis atas perhatian Demon padanya.

Menyerah membicarakan itu, aku mulai menikmati masakan Vea, dan mendesah takjub mendapati betapa lezatnya omelet kepitingnya.

"Wah, kau benar-benar hebat. Kau bisa memasak, kau bisa berdandan," aku menunjuk rambutku, "dan kau bisa bertarung. Apa yang tak bisa kau lakukan?"

Vea tersenyum geli. "Para Pemburu pandai beradaptasi, karena kami terus berpindah tempat untuk berburu, pergi ke belahan dunia mana pun, bahkan dunia lain sekalipun, jadi kami harus bisa beradaptasi dan mempelajari dengan cepat."

Aku mengangguk-angguk.

"Kurasa, aku tahu kenapa ayahmu memperlakukanmu seperti tuan putri dalam dongeng-dongeng," cetus Vea kemudian.

Aku menatapnya, menunggu jawabannya.

Vea tersenyum. "Karena kau memang secantik mereka. Sungguh."

"Kau juga cantik," balasku. "Demon bahkan tak ragu mengakui itu."

Aku tersenyum geli melihat Vea memutar mata.

"Tapi, tidakkah sikapnya yang menyebalkan itu sangat menakjubkan?" lanjutku.

"Yeah, itu tertulis jelas di wajahnya," Vea menanggapi, membuat kami berdua terbahak puas.

***