webnovel

16 – Like a Normal Day 

"Benarkah?" Suara berat dari kegelapan di sudut kamar membuat aku dan Vea sama-sama terlonjak.

Ketika aku berbalik, kulihat Demon sudah berdiri di sudut, bersandar santai di sana, di bawah kegelapan. Sejak kapan dia …?

"Kau benar-benar mencoba melakukan segala hal, bukan begitu, Penghancur?" Demon menghampiriku.

Aku berdehem. "Vea tidak tahu di mana adikmu. Percuma kau menahannya seperti ini," kataku.

"Tapi, dialah alasan adikku mengikat kami. Adikku pasti akan muncul. Untuk menemui Pemburu itu. Cepat atau lambat," sahut Demon.

"Aku akan membantumu mencarinya," kataku cepat.

Demon mendengus. "Memangnya, ke mana kau akan berkeliaran mencarinya dengan kekuatanmu yang mengerikan itu? Alih-alih menemukan adikku, kaulah yang akan ditemukan para Pemburu dan Pejuang yang menginginkanmu."

"Aku akan meminta bantuan ayahku. Lagipula, dengan begitu, kau tidak perlu khawatir Vea akan melarikan diri. Kau bilang, cepat atau lambat, adikmu akan muncul untuk mencari Vea, kan? Vea akan aman dari kaumnya, dari para Pejuang, dari … kaummu …." Aku menyebutkan hati-hati kata terakhir itu.

Mendengar itu, mata Demon menyipit berbahaya. Dia sudah mengangkat tangannya ke arah leherku, tapi sebuah suara lain yang tiba-tiba muncul di ruangan itu, menghentikan tangannya di udara.

"Jauhkan tanganmu darinya, Iblis." Key. Sialan.

Demon mendesis tak rela, tapi dia menarik tangannya dan mundur.

"Urus gadismu, dan aku akan mengurus gadisku," kata Demon tajam.

Key tak menjawab, tapi kemudian aku merasakan seseorang menarik tanganku.

Tapi, tunggu! Tadi Demon menyebut Vea gadisnya? Uh well, akhirnya dia mengaku sendiri.

"Jangan merencanakan hal yang akan membahayakan nyawamu sendiri." Suara Key berhasil menarikku dari pikiran tentang Demon dan Vea.

Aku berdehem, menoleh padanya. Aku mengerjap mendapati diriku sudah berada di kamarku.

"Apa?" tantangku.

"Apa yang kau rencanakan dengan Pemburu itu, hingga membuat Demon semarah itu?" Key menatapku tajam.

Aku membuang muka. "Bukan urusanmu."

"Aku tidak keberatan jika kita harus bertarung sekarang," kata Key tiba-tiba, kontan membuatku cemas.

Bertarung? Dengannya? Lalu, membuatnya terluka lagi?

"Aku hanya meminta bantuannya dan menawarkan bantuan lain sebagai balasannya," akhirnya aku mengaku. "Kupikir, dia tidak akan mengajarkan semua kemampuannya padaku karena ada kau dan Demon, karena itu aku membuat penawaran dengannya. Penawaran yang tidak bisa ditolaknya."

Mata Key menyipit. "Membuatnya bebas dari Demon?" dengusnya. "Kau tidak bisa melakukannya. Yang mengikatnya adalah …"

"Membuatnya terhindar dari Demon, dan kaumnya, dan kaummu. Aku akan membawanya pergi bersamaku," selaku.

"Dia bisa saja menyerangmu," Key mengingatkanku.

Aku mendengus, lalu menatap tepat ke mata cokelatnya. "Dia bukan Pejuang. Bukan pula Iblis. Dia bukan orang dari dunia ini. Untuk masalah kepercayaan, sepertinya hanya para Pemburu yang bisa diandalkan, bukan begitu?"

Lagi-lagi, aku tak bisa mengartikan tatapannya itu. Namun kemudian, Key mundur.

"Baiklah. Lakukan sesukamu," dia mengalah. "Tapi, jika sampai rencanamu membahayakanmu, atau jika dia berusaha mengkhianatimu, aku tidak akan pernah membiarkanmu keluar dari rumah ini lagi, atau meninggalkan dunia ini, dan aku akan segera mengirimnya ke dunia bawah."

Setelah mengatakan itu, Key menghilang, meninggalkanku mematung di tempatku. Jika sampai rencana ini membahayakanku … brengsek Key! Bahkan jika pilihanku ini membahayakanku, itu urusanku! Apa haknya untuk mengurungku di sini jika aku membahayakan diriku sendiri. Toh aku bukannya berusaha membunuhnya.

Pejuang brengsek keras kepala!

***

Setelah hampir seminggu berlatih dengan Vea, aku berhasil menguasai beberapa gerakan sulit. Well, sudah kubilang, aku belajar dengan cepat. Dan syukurlah begitu.

Ketika akhirnya aku berhasil menangkap lengan Vea, lalu menariknya ke punggungku sebelum membantingnya, Vea sempat terkejut, sebelum tertawa puas. Begitu pun denganku, yang kemudian menyusul merebahkan tubuh di sampingnya.

"Akhirnya," Vea berkata.

"Yeah, akhirnya," aku membeo. Selama seminggu ini, aku memang kesulitan jika sudah menyangkut gerakan yang menggunakan kekuatan. Bahkan di rumahku sendiri, sepertinya barang paling berat yang pernah kubawa adalah tumpukan cokelat dan novel-novel favoritku.

"Kurasa besok kita bisa berlibur dari latihan untuk merayakannya," celetuk Vea.

"Yeah, ini juga membunuhku," aku setuju, membuat Vea tergelak pelan.

Selama beberapa hari ini, aku benar-benar babak belur dan kelelahan karena latihan ini. Tidak seperti Key yang bisa berteleportasi tanpa kesulitan, aku harus berlatih berlari cepat, sambil sesekali merunduk atau melompat. Belum lagi jika berlatih bertarung tanpa senjata dengan Vea. Tanganku bahkan masih terasa sakit karena pitingannya kemarin lusa.

"Kau suka memasak?" tanya Vea tiba-tiba.

Aku mengerutkan hidung. "Tidak," jawabku jujur. "Aku lebih suka makan. Sambil membaca. Atau menikmati pemandangan."

Vea mendengus geli. "Piknik?"

Mendengar itu, aku sontak beranjak duduk. "Di belakang rumah ada bukit kecil dan pohon di atasnya yang sepertinya cocok untuk piknik," usulku.

Vea kembali tergelak. "Baiklah. Aku akan memasak besok. Jika dia mengizinkan," katanya seraya mengedikkan kepala ke arah Key dan Demon yang ada di balkon rumah, menonton latihanku dari kejauhan.

"Well, jika dia mengurung kita di rumahnya, dia harus menanggung resikonya," kataku.

Vea tersenyum geli seraya mengangguk.

"Omong-omong tentang Pejuang itu, kupikir dulu kalian adalah Pasangan, melihat bagaimana dia menuruti semua kata-katamu," celetuk Vea kemudian.

Aku meringis. "Saat itu, aku hanya tidak tahu kenyataan bahwa aku diculik olehnya."

Vea mengangguk. "Tapi, kau menyukainya?" Dia beranjak duduk dan menatapku.

Aku memutar mata. "Kau menyukai Demon?" balasku.

"Tentu saja tidak. Dia mengikatku dengan ancaman yang mengerikan." Vea bergidik.

"Aku pun sama. Kenapa aku menyukainya, ketika dia menculikku, mengurungku di sini, dan mungkin akan membunuhku?" kataku.

Vea meringis. "Tapi kurasa, dia tidak akan melakukannya. Dia … peduli padamu."

"Demon juga peduli padamu," balasku.

Giliran Vea yang memutar mata. "Itu karena dia akan ikut merasakan sakit jika aku terluka."

"Sama. Key juga hanya ingin memanfaatkanku, karena itu dia bersikap begitu baik padaku," ujarku.

Vea mendesah berat. "Yeah. Mereka memang sama saja."

Aku mengangguk setuju. "Tak ada yang bisa dipercaya di dunia ini. Key adalah bagian dari dunia ini dan Demon adalah Iblis. Mereka pasangan yang cocok, kan?"

Vea lagi-lagi tergelak mendengarnya. Dia mengangguk setuju. Kami lalu berdiri dan berjalan ke arah rumah, masih sambil bertukar cerita. Kali ini, tentang rumah kami. Dunia kami.

***

"Nanti jika kita sudah pulang ke rumahku, akan kukenalkan kau pada koki-koki terhebat di sana. Kau bisa belajar resep baru dari mereka. Yah, meski makanan di duniaku tidak seenak di sini," aku mengakui.

Vea tersenyum. "Tentu saja. Masakan di sini juga sebenarnya lebih enak dari duniaku. Di duniaku benar-benar parah. Bahkan mungkin makanan di duniamu lebih baik daripada di duniaku."

"Separah itukah?" Aku mengerutkan kening membayangkannya.

Vea mengangguk. "Karena kami Pemburu, kami terbiasa hidup praktis, cepat. Hanya daging dipanggang atau digoreng. Ayam dan ikan pun begitu. Tidak ada waktu untuk menatanya seperti ini," katanya seraya menunjuk makanan berbagai jenis yang tertata di meja makan.

"Ugh, pasti parah sekali," komentarku.

Vea kembali mengangguk.

"Tapi, apa memasak itu tidak sulit?" tanyaku penasaran.

Vea menggeleng. "Menyenangkan," katanya. "Aku sendiri baru belajar memasak begitu masuk ke dunia ini. Setelah melihat bagaimana mereka menata makanannya, aku jadi tertarik untuk memasak sendiri."

"Kurasa, nanti kau bisa mengajariku juga begitu kita sudah pulang ke rumahku," kataku riang.

Vea mengangguk antusias. Namun, detik berikutnya, suasana riang hati kami diganggu komentar Demon,

"Seolah kalian berdua akan benar-benar bisa pergi ke rumah itu."

Seketika, aku dan Vea menatapnya tajam. Di sebelah Demon, Key mendesah berat.

"Tidak bisakah kau tidak mengganggu mereka? Setidaknya, biarkan aku makan dengan tenang," kata Key kesal seraya melirik Demon.

Kini Demon mendesah berat. "Kalau begitu, lakukan sesuatu dengan gadismu. Harus berapa kali kuingatkan jika dia memang bisa pergi, dia akan pergi tanpa Pemburu itu."

"Kalau begitu, kau juga ingatkan gadismu. Bahwa kau tidak akan membiarkannya pergi ke mana pun," balas Key sinis.

Lalu, keduanya saling berperang tatapan kesal. Aku berbaik hati menengahi,

"Well, kurasa kami tidak akan mengganggu pertengkaran rumah tangga kalian, jadi kami naik dulu."

Seketika, Key dan Demon menatapku. Aku dengan santai melambaikan tangan sembari berdiri, mengajak Vea yang sudah tersenyum geli, untuk pergi bersamaku.

Kedua pria itu, selalu berbicara seolah aku dan Vea adalah milik mereka. Seolah kami tidak akan pernah bisa pergi dari sini. Well, mereka bisa lihat nanti begitu aku dan Vea menghajar mereka.

Memangnya siapa mereka berani menyebut kami ini gadis-gadis mereka?

***