webnovel

15 – Fear 

"Kau pikir dia akan baik-baik saja setelah melihat bagaimana dia nyaris membunuhmu?" Suara itu terdengar begitu jauh, tapi aku mengenalinya sebagai suara Demon.

Apakah jiwaku meninggalkan tubuhku lagi? Tidak. Aku tidak melihat apa pun selain kegelapan. Lalu, aku mendengar Key berbicara,

"Dia hanya belum terbiasa. Ayahnya selalu melindunginya hingga dia tak pernah melihat hal buruk di luar sana."

"Kau hanya akan membuatnya takut untuk menggunakan kekuatannya." Demon terdengar kesal.

"Dia harus menggunakannya untuk melawan para Pejuang. Hanya dengan begitu, dia punya kesempatan untuk melarikan diri," ucap Key.

"Lalu, kau? Kau pikir, apa yang akan terjadi padamu jika mereka tahu kau membantunya?" sinis Demon.

"Aku bisa melindungi diriku sendiri. Aku Pejuang terkuat dan aku …"

"Akan harus melawan ayahmu sendiri," Demon menyela. "Kau yakin bisa mengalahkannya?"

Key tak menjawab, tapi aku mendengar dia mendesah berat, dan aku merasakan genggaman erat di tanganku. Ini Key.

Kau akan baik-baik saja, kau harus baik-baik saja, aku ingin mengatakan itu pada Key, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Aku menggerakkan tanganku, membalas genggamannya, erat, dalam usahaku menenangkannya.

"Dia mulai sadar." Aku mendengar Key berbicara. "Crystal?" panggilnya lembut.

Aku merasakan belaian lembut di kepalaku.

"Crystal?" Key kembali memanggilku. "Bisakah kau membuka matamu?" pintanya.

Tak ingin mengecewakannya, aku berusaha menembus kegelapan. Perlahan, aku membuka mataku. Mengerjap beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan terangnya lampu kamarku.

Aku menoleh, dan Key duduk di sampingku, tampak lega menatapku.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya, senyum lembut terukir di bibirnya.

Aku sudah nyaris membalas senyumnya, ketika teringat lengannya yang terluka karenaku. Sontak, aku menarik tanganku dari pegangannya. Aku bisa melihat keterkejutan muncul di mata Key. Buru-buru aku memalingkan wajah.

Aku mengepalkan tangan ketika Key juga menarik tangannya yang tadi ada di kepalaku. Saat kurasakan Key berdiri, aku menoleh padanya untuk melihat lengannya. Lukanya sudah menutup, meski aku masih melihat bekas goresannya. Padahal saat serangan Pemburu itu, tidak separah itu. Aku kembali memalingkan wajah ketika Key kembali menatapku.

"Aku akan mengambilkan makan malam untukmu, setelah itu istirahatlah agar besok kau bisa berlatih lagi," katanya.

"Tidak mau," aku menjawab, tanpa menatapnya.

"Crystal?" Key terdengar kaget. "Apa maksudmu?"

"Kubilang, aku tidak mau berlatih lagi," ulangku. Aku menatapnya dan kulihat ekspresinya mengeras.

"Karena kejadian tadi pagi?" tanyanya.

"Tidak juga," dustaku. "Menyenangkan juga membuatmu seperti tadi." Pembohong, aku memaki diriku sendiri.

"Lalu?" Key menunggu.

Aku berdehem. "Aku hanya tidak suka mengotori tanganku. Kau tahu, ayahku tidak pernah mengajariku seperti itu. Karena itu, kutarik kata-kataku kemarin. Kau tidak perlu mengajariku mengendalikan kekuatanku. Kembalikan saja aku ke duniaku," kataku.

"Jika Key melakukan itu, dia akan disebut pengkhianat," Demon berkata.

Key menatap Demon tajam. "Jangan bicara omong kosong padanya."

Demon mengabaikan peringatan Key dan melanjutkan, "Dan kaumnya akan memburunya. Tidak cukup para Pemburu, tapi juga para Pejuang."

Key tiba-tiba menghilang dan muncul di depan Demon, mencengkeram kerah jaket Demon. "Jangan bicara lagi, Iblis," desis Key.

Demon mendengus, lalu menghilang dari pegangan Key, dan muncul di samping tempat tidurku.

"Bahkan meskipun dia adalah Pejuang terkuat, dia tidak akan bisa melawan mereka jika mereka semua menyerangnya. Terlebih, dia masih harus melindungimu. Aku yakin, dia pasti akan mati dalam usahanya melindungimu nanti," lanjut Demon dengan santainya.

"Kubilang, jangan bicara omong kosong padanya!" raung Key seraya menerjang Demon, dan keduanya menghilang dari kamarku.

Omong kosong? Key pasti sudah gila. Dan aku tahu, Demon mengatakan kebenarannya. Key yang membawaku kemari, atas perintah kaumnya. Jika dia melepaskanku, bahkan membantuku, tentu mereka akan menyebutnya pengkhianat. Mereka akan menyerangnya.

Aku memejamkan mata ketika merasakan mual menyebalkan ini. Lagi. Sial, aku benar-benar tak suka pikiran Key akan terluka. Aku benci itu, lebih dari apa pun juga.

***

Vea terlonjak kaget ketika melihatku masuk ke kamarnya malam itu. Well, aku harus menunggu tengah malam sebelum bisa pergi kemari tanpa sepengetahuan Key ataupun Demon.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Vea berbisik, seolah tahu aku tak ingin membuat keributan dengan keberadaanku di sini.

"Menawarkan sesuatu?" jawabku, sedikit ragu.

Vea mengerutkan kening, menatap tanganku waspada, dan aku segera berkata, "Aku tidak akan menyerangmu. Aku tidak sedang marah. Dan aku tidak akan marah." Aku memberikan janjiku.

Vea mengangguk, meski dia masih tampak ragu.

Tak ingin menakutinya, aku berdiri beberapa meter darinya. "Kita bisa berbicara dengan jarak seperti ini," kataku.

Vea tampak ingin tersenyum, tapi gadis itu hanya mengangguk.

"Ajari aku bertarung dengan caramu untuk melawan para Pejuang," kataku langsung.

Vea mengerutkan kening. "Caraku? Cara Pemburu, maksudmu?"

Aku mengangguk.

"Iblis itu akan memaksaku melakukannya meski kau tak memintaku, omong-omong." Vea mengedikkan bahu.

"Tapi, kau tidak akan mengajarkan semuanya padaku, kan?" tembakku. Tepat sasaran, karena Vea bergerak tak nyaman di tempatnya.

"Well, kau punya kekuatan yang mengerikan untuk melawan mereka tanpa menggunakan cara Pemburu. Tapi, jika menggunakan cara Pemburu, kau akan butuh senjata, kecepatan, dan ketangkasan. Itu bukan hal yang mudah. Apalagi jika kau belum pernah mencobanya sekali pun," ucap Vea.

Aku mengedikkan bahu pasrah. "Aku bisa belajar dengan cepat." Semoga.

Vea menatapku sangsi. "Dan yang kau minta dariku adalah?"

"Ajarkan aku semuanya, cara melawan para Pejuang," jawabku mantap. "Aku mungkin tidak akan bisa menggunakan kekuatanku lagi, karena itu …"

"Kau … tidak bisa menggunakan kekuatanmu lagi?" tanya Vea tak percaya.

Aku mendesah berat. Pikiranku kembali pada kejadian ketika aku membuat Key terluka parah tadi pagi, dan aku bergidik.

"Tidak akan pernah lagi," kataku.

Vea ternganga tak percaya. "Tapi, kau bahkan tak bisa mengontrolnya. Kekuatanmu … sepertinya cukup mengerikan ketika kau mengamuk."

"Aku akan mencoba belajar pengendalian diri. Itu lebih mudah, daripada mengendalikan kekuatanku," jawabku pasrah. "Karena itu, ajarkan aku cara melawan para Pejuang."

Vea mendesah. "Dan apa yang akan kau tawarkan padaku?"

"Aku … akan membawamu pergi bersamaku. Bukan berarti aku percaya padamu atau apa, tapi aku harus melakukan sesuatu untukmu dan kupikir itu yang kau perlukan. Pergi dari Demon. Bahkan jika akhirnya kau bisa kembali ke kaummu, Demon akan bisa menemukanmu. Karena itu … aku menawarkan hal yang lebih baik. Perlindungan ayahku. Bagaimana?" sebutku.

Mendengar itu, mata Vea melebar. Aku bisa melihat sinar harapan di mata hijaunya.

"Tapi, jika kau sampai menyerang aku atau ayahku, akan kupastikan hidupmu berakhir di sisi Demon, selamanya," tambahku.

Bahkan gadis itu tak tampak setakut sebelumnya mendengar ancaman itu.

"Aku tidak akan mengkhianatimu. Aku bukan para Pejuang, dan aku bukan Iblis. Aku tidak akan melakukan itu," katanya mantap.

"Benarkah?" Suara berat dari kegelapan di sudut kamar membuat aku dan Vea sama-sama terlonjak.

***