webnovel

11 – Unexpected You 

It's okay

Cause you're with me

Genap dua bulan aku berada di dunia ini ketika ayah Key pulang ke rumah itu. Seperti biasa, ayah Key menyapaku ramah, lalu pergi ke ruang kerjanya untuk berbicara dengan Key, dan Demon kali ini. Sementara itu, aku naik ke kamarku. Namun, dalam perjalanan ke sana, aku teringat bahwa saat ini Vea juga sedang sendirian di kamarnya.

Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya karena Key melarangku pergi ke kamar gadis itu. Namun, kurasa tidak masalah jika aku mampir sebentar. Benar-benar hanya sebentar.

Saat aku memasuki kamar Vea, gadis itu sedang duduk di atas tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela. Meski dia tampak lebih kurus, lelah, frustrasi, tapi dia masih cantik. Ketika menyadari aku masuk ke kamar itu, Vea tampak terkejut.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya gadis itu.

Aku tersenyum. "Hanya menyapamu. Kau pasti sangat frustrasi karena tak ada satu pun teman di sini. Jika kau butuh teman bicara, kau bisa …"

"Apa Pasanganmu tahu kau pergi ke sini?" sela Vea.

Aku mengangkat alis. Key, maksudnya? Well, dia bukan Pasanganku, sebenarnya, tapi aku menjawab, "Tidak. Dia sedang sibuk."

Mata Vea menyipit. "Kenapa kau kemari? Jika dia tahu, kau bisa …"

"Kau tidak sedang mencemaskanku, kan?" selaku sembari duduk di kursi yang biasanya diduduki Demon, di samping tempat tidur Vea. "Kau seharusnya mencemaskan dirimu sendiri."

Vea menatapku, penasaran. "Kau tidak seperti yang dibicarakan orang-orang."

Aku mengerutkan kening. "Orang-orang mengenalku? Orang-orang siapa? Teman-teman Pemburumu?" tanyaku.

Vea tak menjawab pertanyaanku, tapi yah, aku juga tidak mengharapkan apa pun. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padanya.

"Kau tahu, ketika kau tak sadarkan diri ruang bawah tanah, Demon yang membawamu kemari. Dia juga yang melarang Key menyakitimu lagi," kataku.

"Itu karena dia juga akan kesakitan jika kekasihmu itu menyiksaku," balas Vea ketus.

Key bukan kekasihku. Namun, aku tak merasa perlu mengoreksi itu. Toh, itu bukan hal yang penting.

"Kurasa tidak hanya itu," kataku. lagi "Demon seharian, sepanjang malam, duduk di sini selama kau tak sadarkan diri. Dia juga yang merawatmu sampai kau benar-benar pulih."

"Itu karena dia pikir aku tahu tentang adiknya." Vea memutar mata.

Aku berdehem. "Tapi, dia peduli padamu."

"Dan mengancam akan mengurungku di kastilnya, bersamanya, bersama kaumnya, selamanya?" dengus Vea.

"Itu karena dia tidak ingin menyakitimu," jawabku.

"Tentu saja, karena dia akan kesakitan jika dia menyakitiku." Vea menatapku gemas.

"Tapi, kau tahu kan, Demon sangat menyayangi adiknya? Karena itu, jika kau tahu sesuatu tentangnya, katakan saja padanya. Mungkin setelah itu, dia akan melepaskanmu," beritahuku.

"Tidak. Dia tidak akan. Aku ini Pemburu. Dia, dan kekasihmu, akan membunuhku, tak peduli meskipun aku sudah mengatakan kebenaran." Vea menatapku, keningnya berkerut dalam. "Tapi, astaga, kau begitu polos hingga aku bahkan tak akan mengira bahwa kau adalah …"

"Jangan bicara lagi atau aku akan mengirimmu ke dunia bawah." Suara itu menghentikan Vea, yang seketika menutup mulutnya.

Tampaknya bagi Vea, dunia bawah lebih mengerikan dari kematian sekalipun.

"Dan apa yang kau lakukan di sini?" Key menghampiriku, menatapku tajam.

"Aku …" Kalimatku terpotong oleh kedatangan Demon.

"Jawab aku!" bentak Key, membuatku tersentak.

"Kau … membentakku?" Aku menatapnya tak percaya, mulai jengkel.

"Apa yang kau lakukan di sini, ketika aku sudah memperingatkanmu untuk tidak pergi ke tempat ini?!" Key kembali berteriak.

Sial, ini menyakitkan.

"Jangan berteriak padaku, kataku!" aku balik berteriak. Lalu seketika itu juga, angin kencang berpusar di ruangan itu. Aku mendengus tak percaya, menatap Key marah. "Kau menggunakan kekuatanmu lagi? Padaku?!"

Key tak menjawab, tapi kini dia tampak pucat. Melihat itu, seketika amarahku surut, berganti kecemasan. "Ada apa?" tanyaku. "Kau baik-baik saja?"

"Jangan pergi menemui Pemburu ini sendirian, dia mungkin akan berusaha menyakitimu," kata Key ketika dia semakin memperpendek jarak di antara kami, lalu memelukku. "Dan kontrollah emosimu, Crystal. Aku tidak akan menggunakan kekuatanku padamu, sungguh. Karena itu, kontrollah emosimu." Suara Key terdengar begitu putus asa.

"Kurasa, sekarang semuanya sudah terlambat. Mereka akan segera membuat keputusan, Key," Demon berbicara.

Aku berusaha menarik diri untuk bertanya pada Demon, apa maksudnya, tapi Key memelukku semakin erat. Kurasa, dia juga terkejut karena menggunakan kekuatannya seperti tadi.

Aku membalas pelukannya, menenangkannya.

"Aku baik-baik saja. Maaf karena tidak mendengar kata-katamu dan membuatmu cemas. Maaf," ucapku sungguh-sungguh.

Key tak membalas, tapi beberapa saat kemudian, dia melepas pelukannya, dan aku sudah berada di kamarku.

"Aku harus menemui ayahku. Dan aku akan kemari lagi nanti. Tolong jangan pergi ke mana pun dan tunggu aku di sini," katanya.

Aku mengangguk. Key menatapku lekat selama beberapa waktu, sebelum menghela napas berat dan berbalik pergi meninggalkan kamarku. Kuharap dia baik-baik saja. Aku benci melihatnya seperti ini.

***

Aku melirik Key yang sedari tadi hanya diam di sampingku. Begitu dia kembali ke kamarku tadi, dia langsung memelukku dan membawaku ke pantai ini. Melihat suasana hati Key yang tampaknya tidak terlalu baik, aku jadi tak tertarik untuk bermain di air. Namun, aku juga tak ingin mengusiknya dan bertanya. Jadi, selama dua jam terakhir, aku hanya duduk di sampingnya, menelan semua tanya yang siap terlontar dari bibirku.

"Kau tidak suka berada di sini?" tiba-tiba Key bertanya, mengejutkanku.

"Aku … eh, aku suka," gagapku, tak siap dengan pertanyaannya.

Key menoleh, mata cokelatnya menatapku lekat. "Maukah kau melarikan diri denganku, ke dunia di mana tak ada seorang pun yang mengenal kita?" tanyanya.

Kupikir Key pasti sedang bercanda, tapi dia tampak terlalu serius untuk sekadar bercanda, dan aku tak tahu harus menanggapi bagaimana. Melarikan diri? Dengannya?

Setelah beberapa saat, aku akhirnya berkata, "Tapi, aku harus pulang, Key. Ayahku pasti sangat mencemaskanku."

Key tersenyum. Senyum getir. "Benar juga. Tentu saja, kau akan lebih memilih ayahmu daripada aku, kan?"

Keningku berkerut mendengar pertanyaannya. Apa dia baik-baik saja?

"Key …" Aku meraih tangannya, hendak menggenggamnya, tapi dia menarik tangannya dariku.

"Kau tidak ingin berenang?" dia bertanya, tapi kali ini tanpa menatapku.

Saat itu, aku menyadari, dia berusaha menjauh dariku, menutup diri dariku. Entah kenapa. Tapi, sungguh, aku tak suka melihatnya. Aku benci dia bersikap seperti ini.

"Kita pulang saja," kataku dingin.

Key sontak menoleh menatapku. "Pulang? Kau bahkan belum bermain air," katanya. "Apa airnya terlalu dingin?"

Aku menggeleng, lalu menatap ke depan. "Pulang," kataku pendek.

Aku mendengar Key mendesah berat, lalu dia bangkit berdiri, mengulurkan tangan padaku. Meski begitu, aku menolaknya dan berdiri sendiri. Ketika Key tetap berdiri di sana tanpa melakukan apa pun, aku terpaksa kembali menatapnya, dan kulihat dia menelengkan kepala, menatapku lekat, seolah menyelidiki.

"Aku melakukan kesalahan?" tebaknya.

Aku melengos.

Key mendengus kecil, geli. Dia lalu menarik tanganku, menarikku tepat ke pelukannya, sebelum membawaku kembali ke rumahnya. Kali ini, di halaman rumahnya.

Aku baru saja akan bertanya, kenapa dia membawaku kemari ketika Key membungkuk, melakukan sesuatu dengan rumputnya. Ketika kembali berdiri tegak, dia membawa setangkai bunga berwarna biru, tapi bening. Dan berkilau seperti kristal.

"Jika kau marah seperti ini, tak mengatakan apa salahku, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Jika aku melakukan kesalahan, seharusnya kau mengatakannya padaku. Dengan begitu, aku tidak akan mengulanginya lagi besok-besok," katanya.

Aku mendengus. Masalahnya, dia selalu mengulangi membuatku kesal.

"Crystal?" panggil Key lembut.

Tunggu. Lembut? Aku menatap Key. Ada yang aneh dengan pria ini. Ya, belakangan ini … dia bersikap lebih lembut padaku. Dan … aku mulai melihat kemiripan Key di dunia nyata dan di dunia mimpiku.

Key menggoyangkan bunga biru di tangannya, dan aku segera merebutnya darinya. "Lupakan saja. Karena ini, aku tidak jadi marah," kataku. Lalu, aku berbalik dan berjalan meninggalkannya untuk masuk ke rumah.

"Yang benar saja." Suara Key yang sudah ada di belakangku menyentakku.

Saat aku menoleh, pria itu sudah berpindah di sebelahku. Dia tersenyum geli sembari meraih tanganku, menggenggamnya erat saat membawaku masuk ke dalam rumahnya. Seketika, aku melupakan kenyataan bahwa aku sempat marah padanya.

***