webnovel

10 – Mimpi Aneh 

"Semalam aku bermimpi aneh lagi," aduku pada Key ketika kami sarapan pagi itu.

"Mimpi aneh? Lagi?" Key tampak geli. "Jangan bilang mimpi tentangku."

"Sayangnya, ya. Dan ya, itu aneh," kataku. "Karena ada dia juga." Aku menunjuk Demon yang baru masuk ke ruang makan. "Dan Pasangannya," tambahku.

"Siapa Pasanganku, kalau aku boleh tahu?" Demon mengangkat sebelah alis ke arahku.

"Pemburu itu. Kau bilang, kalian terikat. Jadi, kalian Pasangan, kan? Pemburu itu berkata seperti itu juga padaku dan Key," ungkapku.

Demon memutar mata. "Kami tidak, tapi kalian, ya."

Aku mendesis mendengarnya. "Maaf, tapi aku dan Key baik-baik saja," elakku.

"Karena itu, kau …" Demon tiba-tiba berhenti, melirik Key sekilas, lalu melanjutkan, "maksudku, Key, mengamuk semalam?"

Aku berdehem. "Kami sering bertengkar, itu saja."

"Dan kalian bilang kalian bukan Pasangan?" Demon menyeringai.

"Bukan," tegasku. "Dia selalu membuatku kesal. Berpasangan dengannya hanya akan membuatku mati kesal. Cepat atau lambat."

Demon tergelak mendengarnya. "Entahlah," katanya seraya memindahkan beberapa roti panggang dan telur ke piringnya. Dalam porsi besar, membuat pikiranku seketika teralih.

"Tapi … kau makan banyak sekali," singgungku. Mengingat dia makan hanya untuk mengisi waktu.

"Untuk Pemburu itu. Dia harus cepat pulih agar aku bisa segera bertanya padanya tentang adikku," sahutnya.

"Dia tahu tentang adikmu?" Aku mengerutkan kening. Lalu, aku teringat mimpiku. "Tunggu, biar kulanjutkan. Adikmu mungkin mengikat kalian saat Vea menolongnya. Vea pernah menolong adikmu, benar?"

Demon mendongak menatapku. "Bagaimana kau tahu?"

"Itu ada di mimpiku semalam," sahutku.

"Lalu?" Demon tampak tertarik untuk mendengar lebih jauh, tapi sebelum aku sempat melanjutkan, Key menyela,

"Sudah cukup, Demon. Pergilah sekarang sebelum aku mengembalikan gadismu ke ruang bawah tanah," ancamnya.

Demon menatap Key kesal. "Dia harus segera pulih dan untuk itu dia harus terhindar dari siksaanmu. Dan sialan, Key, dia bukan gadisku. Hanya terikat denganku entah karena alasan sialan apa." Demon kembali menoleh padaku, hendak mengatakan sesuatu, tapi mengurungkannya dan hanya bergumam pelan, pada dirinya sendiri, "Hanya sampai Pemburu itu benar-benar pulih, aku akan menahan diri."

Aku mengerutkan kening ketika Demon pergi, masih tampak kesal pada Key. Aku menatap Key.

"Dia pasti tersiksa karena harus menahan diri untuk menanyai Vea tentang adiknya," kataku.

Key mendesah berat, mengangguk.

"Key," panggilku.

"Hm?" Key menyahut tanpa menatapku. Entah kenapa, itu membuatku kesal.

"Kau tidak ingin tahu bagaimana aku bisa tahu tentang ikatan antara Vea dan Demon, juga tentang adik Demon dan Vea?" pancingku.

Key akhirnya menatapku. "Kau mau bercerita padaku?" pintanya.

Aku tersenyum lebar. "Kurasa …" aku menarik napas dalam, "aku bisa melihat masa depan."

Tidak ada reaksi selama beberapa saat. Aku menjentikkan jari di depan wajahnya.

"Kau mendengarku? Kubilang, aku …"

"Kau … bisa melihat masa depan?" ulang Key hati-hati.

Aku mengangguk mantap. "Karena itu, aku tahu apa yang terjadi pada Demon dan Vea lewat mimpiku. Hebat, kan? Aku baru tahu jika aku juga punya kekuatan seperti ini." Aku tergelak puas. "Kurasa, berada di dunia ini membuatku memiliki kekuatan itu. Mungkinkah besok aku akan punya kekuatan untuk terbang dan berteleportasi sepertimu?" Aku menatapnya penuh harap.

Key tersenyum geli. "Untuk itu, biar aku yang melakukannya untukmu. Bagaimana?" tawarnya.

Aku berpikir sejenak, mungkin memang aku tidak akan bisa karena aku bukan Pejuang, jadi akhirnya aku mengangguk. "Oke," jawabku setuju.

***

Setelah tiga hari, akhirnya Vea benar-benar pulih. Meski kini dia tak lagi terikat di kursi, sebagai gantinya, Key membuatnya tak bisa meninggalkan kamarnya. Reaksi Vea sendiri cukup keren. Dia tidak berteriak marah, seperti yang kupikir akan dia lakukan. Ehm, atau tepatnya, yang akan kulakukan jika aku jadi dia. Dia hanya memberikan tatapan dingin pada Key, dan tatapan kebencian penuh dendam pada Demon.

Ketika Demon memindahkan kursi ke samping tempat tidur Vea dan duduk di sana, Vea mengumpat dalam desisan,

"Terkutuklah kau, Iblis Busuk."

Aku meringis, sementara Demon membalas santai,

"Memang aku Terkutuk, mau bagaimana lagi?"

"Mereka Pasangan yang cool, kau tahu?" aku berbisik pada Key.

Key tersenyum dan mengangguk.

"Sekarang katakan, di mana adikku? Apa yang terjadi padanya?" Demon bertanya langsung.

Vea menyipitkan mata. "Adikmu?"

"Putri Raja Iblis yang sempat ditahan oleh para Pemburu licik, kaummu," sebut Demon.

Vea mengerutkan kening. "Dia … adikmu? Itu berarti … yang saat itu … dihajar para Pemburu … kau?"

"Kau juga ada di sana?" Demon melempar balik tanya.

"Hanya lewat. Aku berusaha mencari kesempatan untuk membebaskan gadis itu, tapi seseorang membawanya pergi. Ketika aku mencarinya, aku melihat dia sudah ada di luar hutan Perbatasan, dan ada dua Pemburu yang hendak menangkapnya lagi. Tapi, aku tidak sempat bicara dengannya dan dia sudah pergi. Kupikir … dia pulang …." Vea tampak bingung kini.

Demon mengerutkan kening. "Kenapa kau menolongnya?"

Vea memfokuskan pandangannya saat kembali menatap Demon. "Itu bukan urusanmu," jawabnya ketus.

"Dia menawarkan sesuatu padamu?" pancing Demon.

Vea melengos.

Tak menyerah, Demon menarik dagu Vea, memaksa gadis itu menatapnya. "Apa yang dia tawarkan? Dan apa yang kau lakukan hingga membuatnya mengikat kita seperti ini?" desak Demon.

"Aku tidak tahu." Jawaban yang sama yang diberikan Vea setiap kali Key memberinya pertanyaan saat mereka masih di ruang bawah tanah.

Namun, aku tahu, Demon tidak akan menyiksanya seperti yang dilakukan Key, karena itu sama saja menyiksa dirinya sendiri.

"Kau tahu, menyiksamu juga otomatis menyiksa diriku sendiri?" Demon berkata.

Vea menatap Demon waspada.

"Tapi … aku bisa melakukan hal lain yang akan membuatmu bicara," lanjut Demon.

Aku mengerutkan kening bingung mendengarnya. Apa maksudnya?

"Aku tahu betapa kau sangat membenci para Iblis. Dan aku tahu, bayangan kau berada di dekat Iblis saja sudah cukup membuatmu merasa jijik. Lalu, bagaimana jika aku mengikatmu menjadi Pasanganku, dan membawamu pulang ke kastilku? Membawamu ke dunia di mana kau menghirup udara yang sama dengan para Iblis, menginjak tanah yang sama dengan para Iblis, hidup sebagai calon Ratu para Iblis …" sebut Demon.

Aku menatap Vea iba tatkala tubuh gadis itu terguncang. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya.

Demon mengernyit. Oh, ini jenis siksaan yang sama, tapi datang dari pikiran Vea sendiri. Dan Demon masih bisa merasakannya? Ikatan mereka pasti sangat kuat.

"Aku lebih baik mati daripada menjadi Pasangan Iblis sepertimu," desis Vea marah seraya menatap tepat ke mata Demon. Mata hijaunya berkilat marah, penuh kebencian, dendam.

Demon mendengus. "Tapi, aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu. Setiap kali kau mencoba, aku akan membawa jiwamu kembali. Itu berarti, kau akan terjebak bersamaku. Selamanya."

Mendengar itu, tubuh Vea seolah kehilangan kekuatan hingga Demon harus memegangi lengannya agar gadis itu bisa tetap duduk di tempatnya.

"Sekarang, kurasa kita setuju akan satu hal. Kau akan menjawab apa pun yang aku ingin tahu. Atau, kau harus pulang bersamaku ke kastilku, dan kelak menjadi Ratu Iblis. Aku akan memastikan kau bisa membantai kaummu sendiri nanti," kata Demon kejam.

Saat Vea kembali menatap Demon, mata gadis itu masih menyorot penuh kebencian, tapi matanya berkaca-kaca.

"Bajingan kau, Iblis," desisnya, seiring air mata putus asa mengalir di wajahnya.

Demon memalingkan wajahnya cepat. "Di mana adikku?" Demon bertanya, tanpa menatap Vea.

Vea mengusap air matanya dengan kasar, menegakkan tubuh dan menjawab, "Aku tidak tahu," membuat Demon kembali menatapnya.

"Kau lebih suka pergi ke kastilku bersamaku?" Demon mengancam.

"Aku benar-benar tidak tahu, Brengsek!" teriak Vea marah, putus asa.

Melihatnya saja, dadaku terasa sakit. Bahkan meskipun dia adalah Pemburu yang mencoba mencelakai Key, tapi kini dia hanyalah gadis putus asa yang tak berdaya.

"Kau merasa kasihan, lagi?" Suara Key membuatku menoleh.

Aku merasa bersalah saat menatapnya. "Maaf. Aku tahu dia berusaha mencelakaimu, bahkan membunuhmu. Tapi …" Aku mendesah berat. "Mungkin aku yang tidak terbiasa melihat hal-hal seperti ini."

Key mengangguk. "Mau pergi?" tawarnya. "Demon bisa mengurusnya sendiri."

Aku mengangguk cepat. Lalu, aku merasakan pelukan Key yang seketika menenangkanku. Selama beberapa saat, Key masih tak melepaskanku. Sampai aku mendengar suara bel yang memekakkan telinga, membuatku menarik diri. Aku ternganga mendapati diriku berada di ujung peron stasiun. Aku menoleh pada Key.

"Kau bilang kau ingin kemari. Tapi berjanjilah, kita tidak akan bertengkar dan kau akan mendengarkan apa pun yang kukatakan. Jangan membuatku menggunakan kekuatanku atau kita akan terdeteksi para Pemburu," katanya.

Aku mengangguk. Mendengar kata Pemburu, aku tiba-tiba merasa cemas. Bagaimana jika mereka tahu keberadaan Key di sini? Bagaimana jika mereka berusaha membunuh Key lagi? Dan lagi, tidak ada Demon di sini.

"Crystal, ada apa?" Key terdengar cemas.

"Kita pulang saja," kataku padanya.

"Apa?" Key menatapku bingung. "Tapi, kita baru sampai."

"Aku takut kau terluka. Kita pulang saja," aku mendesaknya. "Kita bisa ke sini lagi bersama Demon. Tapi, sekarang kita pulang saja."

Key agaknya terkejut melihatku bereaksi seperti itu.

"Key," desakku. "Kita pulang …"

Aku bahkan tak berani membayangkan jika ada Pemburu yang mengenali Key dan berusaha menyakitinya lagi.

"Ya, kita pulang," sahut Key pelan, seraya kembali memelukku. Kali ini, aku balik memeluknya. Aku bisa merasakan kami sudah berada di tempat lain, tapi aku masih tak melepaskan pelukanku.

"Maaf," Key berkata, membuatku mendongak. "Aku membawa kita mampir ke suatu tempat sebelum pulang."

Aku mengerjap bingung, lalu melepas pelukanku dan aku terkesiap melihat hamparan laut di hadapanku. Di duniaku, air lautnya begitu biru, jernih. Namun, di sini, airnya berwarna-warni, seperti pelangi, seperti taman bunga. Aku nyaris saja melemparkan diriku ke airnya jika Key tidak menahanku.

"Kau mau ke mana?" tanyanya.

Aku menoleh padanya. Lalu, aku teringat pada para Pemburu. "Apakah di sini aman? Para Pemburu …"

"Mereka tidak akan bisa menembus tempat ini. Ini pantai yang diciptakan para Pejuang, untuk mereka sendiri." Jawaban Key menenangkanku. "Dan kami bisa merubah warna airnya sesuka kami."

Mendengar kalimat terakhirnya, aku seketika antusias. Refleks aku menarik tangannya untuk ikut denganku ke laut. Kali ini, Key tak berusaha menahanku, tapi kemudian aku merasakan sapuan angin di tubuhku. Saat aku menunduk, sepatuku sudah tidak ada dan jeans-ku sudah berganti celana pendek.

"Bukan baju renang?" Aku menatap Key.

Key berdehem. "Terlalu terbuka," jawabnya, membuatku tersenyum geli.

Saat kakiku memasuki air laut, aku terkejut karena airnya yang hangat, tapi segar. Aku menatap Key, menuntut penjelasan lewat tatapanku.

"Kami juga bisa mengendalikan suhu airnya," dia memberitahu.

Aku tersenyum lebar. "Jika ada tempat yang seindah ini, kenapa baru sekarang kau membawaku kemari?" kataku, berusaha tampak sekesal mungkin, tapi gagal. Sepertinya aku terlalu gembira untuk marah. Lagipula, aku sudah berjanji untuk tidak bertengkar dengan Key. Dan aku akan melakukan apa pun selama itu bisa membantunya, tidak membahayakannya, tidak menyakitinya.

***