webnovel

1 – How I Met Him

Never trust anyone

If you want to stay alive

"Jangan alihkan pandanganmu meski hanya nol koma nol sekian detik pun." Untuk kesekian kalinya, pria dengan tinggi lebih dari seratus delapan puluh senti di depanku itu kembali mengingatkan.

Aku menyipitkan mata dan menatapnya. "Apa kau pikir semua orang di dunia ini sepertimu?"

Pria itu mengedikkan bahu, lalu menyeringai saat melihat entah apa di belakang punggungku. Aku menoleh karena penasaran dan kulihat pria berjas kantor yang tadi meminjam ponselku, melesatkan motornya menjauh, dengan ponselku masih di tangannya.

"Yeah, sayangnya dunia ini, bukan duniamu," ucap pria di depanku dengan penekanan.

Aku menggerutu pelan. Memang benar. Dunia ini bukan duniaku. Entah bagaimana, aku bisa berakhir, atau lebih tepatnya, terdampar di sini.

"Berapa kali aku harus mengingatkanmu untuk tidak percaya pada siapa pun?" Pria itu terdengar jengah, tapi juga geli.

"Tapi, orang tadi tampak sangat jujur dan putus asa," ucapku membela diri.

"Di dunia ini, jika kau percaya pada orang lain, kau akan mati. Perlukah kuingatkan saat kita pertama kali bertemu?" singgungnya.

Aku sudah hendak menolak, tapi kemudian sebuah gambaran, seperti hologram, muncul di depan mataku. Kejadian saat aku pertama kali bertemu dengan pria ini, berputar di sana. Saat itu, adalah saat pertama kali aku menginjakkan kakiku di dunia ini. Dunia yang aneh dan tak bisa dipercaya.

***

Aku terbangun dan mendapati aku tidak lagi berada di kamarku yang nyaman, melainkan di sebuah bangku peron stasiun. Aku menoleh kanan kiriku dan mendapati peron stasiun itu penuh dengan orang. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang peduli padaku yang tertidur di sini?

Aku baru tahu jawabannya ketika menoleh ke bangku-bangku lain. Bangku itu juga penuh dengan orang-orang yang juga tertidur di sana. Apa mereka tidak punya rumah? Kenapa mereka tidur di sini?

Omong-omong tentang tidak punya rumah, kenapa aku tidur di sini seperti orang yang tidak punya rumah? Jika ayahku tahu, Ayah pasti akan mencekikku. Namun, aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini.

Berjalan dalam tidur?

Aku mendesah sembari menurunkan kaki ke lantai, berjengit merasakan dinginnya lantai di bawahku. Ketika aku menunduk, aku nyaris menjerit karena mendapati diriku berada di awan. Tidak, sungguh, ini di awan. Kakiku menapak di atas kaca tembus pandang, di mana aku bisa melihat daratan di bawahku, dari sela awan putih di bawah kaca itu.

Kurasa aku bermimpi. Maka aku kembali memejamkan mata, memaksa diri bangun, tapi ketika aku membuka mata, aku masih di tempatku. Kemudian, aku disentakkan oleh suara bel memekakkan dari kereta yang baru datang. Kali ini, aku dibuat ternganga oleh apa yang ada di depanku. Kereta itu melayang, tanpa rel di bawahnya, maupun kabel di atasnya.

Oh, aku baru tahu jika aku memiliki imajinasi sehebat ini berkat mimpiku ini.

Sebuah tepukan pelan di bahuku menyentakku. Aku menoleh. Seorang pria yang tampaknya berusia empat puluhan, berdiri di sana, tersenyum ramah padaku.

"Sepertinya kau tersesat," katanya.

Aku mengangguk, alih-alih memaksa diriku bangun. Karena, meski aku tahu ini hanya mimpi, tapi aku masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi. Mimpi seperti ini, tidak buruk juga. Rasanya seperti melihat dunia di masa depan. Atau bahkan, dunia yang baru.

Pria itu lalu menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Maka aku pun menyebutkan alamat rumahku. Tak lupa aku mengatakan, keluargaku pasti akan memberikan imbalan yang lebih dari cukup padanya sebagai ucapan terima kasih. Itu yang selalu dikatakan ayahku jika aku tersesat, di mana pun. Oh, dan tak lupa aku menyebutkan nama ayahku. Anthony Wiratmaja. Pemilik A Group dengan berbagai macam perusahaan di bawah naungannya.

Sementara pria itu mengantarkanku, berjalan kaki, aku menikmati pemandangan, –juga orang-orang, di sekitarku. Aku masih berjalan di atas lantai kaca, sementara mobil, kereta, semua tidak menyentuh lantai kaca itu. Mungkin lantai kacanya akan langsung hancur jika kendaraan-kendaraan itu tidak melayang. Bahkan, suara yang ditimbulkan kendaraan-kendaraan itu sangat halus, nyaris tak terdengar, kecuali klaksonnya. Namun kurasa, meski tidak ada klakson, mereka tidak akan menabrak, seolah jalur dan kecepatan mereka sudah diatur.

Yang lebih menakjubkan lagi, trotoarnya juga terbuat dari kaca, dengan pepohonan yang menakjubkan di atasnya. Pohonnya menjulang tinggi, menaungi trotoar dari matahari, namun tak mengusik kendaraan. Mobil dan motor yang melayang di sekitarku juga seolah sudah diatur sendiri jalurnya. Tidak ada macet, dan mereka melaju dengan begitu rapi. Sementara di atas sana, aku bisa melihat sesuatu seperti tali tipis berwarna merah, yang menjadi jalur bagi kendaraan yang melintas di atas sana, dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari yang di bawah sini. Kurasa, itu semacam tol.

Begitu aku tiba di depan sebuah gedung tinggi, akhirnya aku bisa mengamati bahwa gedung itu agak sedikit tak sesuai dengan lantai kacanya. Gedung itu berdinding bata. Setelah aku memperhatikan sekelillingku, semua bangunan yang ada di sini berdinding bata, sangat kontras dengan teknologinya. Klasik dan modern. Terlalu dipaksakan di sini. Mimpiku benar-benar suka memaksakan.

Saat pria yang tadi mengantarku berbelok, aku mengikutinya. Namun ternyata, jalan itu buntu. Di depan sana hanya ada dinding bata, tidak ada jalan. Ketika aku berbalik, kulihat dua orang pria dan seorang wanita yang lebih muda dari yang mengantarku tadi, berjalan ke tempatku.

"Ayo kita lihat, apa saja yang dimiliki Nona ini," satu-satunya wanita dalam rombongan itu berbicara. Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau bilang, dia putri konglomerat," lanjutnya seraya maju lebih dekat.

Aku refleks mundur saat wanita itu mengulurkan tangan ke rambut merah sepunggungku.

"Kurasa kau akan ingin memberikan semua yang kau miliki jika tidak ingin terluka, Nona," wanita itu kembali berbicara.

Aku mengerutkan kening. "Jika kalian mengantarku pada keluargaku, kurasa kalian akan mendapatkan apa pun yang kalian inginkan," balasku.

Wanita itu mengangkat alis, tampak tertarik, lalu menoleh ke arah rekannya.

"Sebaiknya kita cari dulu apa yang dia punya. Siapa tahu dia menipu kita. Dia bisa saja membawa kita ke markas Prajurit," ucap pria di belakang wanita itu.

Markas Prajurit? Uh well, aku tidak yakin, mimpiku ini tentang kehidupan di abad keberapa. Namun, kurasa aku mulai tidak suka dengan mimpi ini. Karena, ini pertama kalinya ada orang yang berani memperlakukanku seperti ini.

"Baiklah, terserah, apa yang kalian inginkan dariku. Tapi, aku akan segera bangun, mimpi ini berakhir, dan kalian akan lenyap dari hidupku. Selamanya," kataku kemudian, yang langsung mendapat tatapan tajam ketiga orang di depanku.

Aku kembali tersentak ketika tiba-tiba, seseorang menarik kedua lenganku ke belakang punggung. Ketika aku menoleh, aku benar-benar terkejut mendapati pelakunya adalah pria yang menawarkan untuk mengantarku tadi.

"Apa yang kau lakukan?" protesku sembari berusaha melepaskan diri, tapi usahaku sama sekali tak menampakkan hasil. Bahkan, lenganku terasa sakit.

Tunggu. Sakit? Bukankah ini mimpi? Bagaimana bisa …?

"Entah kenapa, wajah angkuh gadis ini benar-benar membuatku kesal," wanita di depanku berkata. Lalu tiba-tiba, dia menampar wajahku.

Sial, itu sakit. Mimpi sialan macam apa ini?

***