webnovel

4. Memasuki Gerbang Halsgrof

Anehnya, Kara tidak merasa ketakutan sama sekali. Curiga? Mungkin memang Kara merasa curiga, namun takut? Kara jarang merasa takut atas hal apapun. Termasuk para Ragna yang tampak asing.

Mobil itu terus meliuk di jalan yang berliku, mereka berjalan di dalan batu yang menjadi pembatas antara dinding batu terjal dengan jurang yang dalam. Edmund sudah meremas tangan Kara. Dia tak tahan lagi.

Tak ada lagi suara yang keluar dari bibir remaja lelaki itu. Dia hanya melihat ke kanan dan ke kiri, seolah berharap agar mobil itu cepat sampai di tujuan.

Kara sendiri tidak menggubris segala ketakutan Edmund. Dia hanya membiarkan tangannya diremas begitu kencang. 'Mungkin memang Edmund butuh menyakiti orang lain untuk membuat dirinya merasa lebih baik,' pikir Kara.

"Kita sudah dekat, Anak-anak," ujar Ingvar. Dia memacu mobil itu semakin kencang. Ketika di depan mereka ada sebuah belokan, Ingvar sama sekali tidak memperlambat laju kendaraan yang mereka tumpangi itu.

Mata Edward kembali bergerak liar, menyangsikan kalau Ingvar bisa mengendalikan mobil itu di jalanan yang licin akibat tertutupi oleh es tipis di sisi kanan dan kirinya.

Baru saja mobil itu mencapai belokan, sesuatu yang lebih mengejutkan lagi hadir di depan mereka. Tak jauh dari belokan itu, tidak ada jalan sama sekali, melainkan hanya sebuah dinding batu. Namun Ingvar tidak menunjukkan keinginan untuk menghentikan bahkan memperlambat mobil itu sama sekali.

"Far! Lihat di depaaaaan!" Suara Edmund membahana, dia meringkuk di kursinya. Kara sendiri menegakkan badan. Di dalam pikiran mereka berdua terasa kalau mobil itu akan segera mengalami kecelakaan.

Ketika mobil itu mendekat ke dinding, sepersekian detik, Kara memejamkan matanya. Tapi aneh, tidak ada apapun yang terjadi selain teriakan Edmund yang terasa menusuk telinga.

Kara membuka matanya, melihat ke sekelilingnya, termasuk ke arah Edmund yang masih meringkuk sembari menutup telinganya dan berteriak. Kara langsung meraih tubuh temannnya itu. Dia menutup mulut Edmund agar berhenti berteriak.

Sementara Ragna dan Ingvar keduanya tertawa menyaksikan kelakuan kedua anak remaja yang ada di kabin bagian belakang mobil.

"Ehem, m-ma-maaf ... kita selamat?" tanya Edmund. Dia melihat ke kanan, ke kiri, dan ke depan. Jauh dari reaksi Kara yang tenang, Edmund ternganga. Di tempat itu, dia melihat cahaya matahari redup musim semi yang menembus di balik dedaunan pohon Maple. Daun-daun pohon itu tampak bergoyang lembut dihembus udara hangat.

Mobil itu masih berjalan di jalanan kecil yang tampak terbuat dari batu. Di kanan dan kiri jalan tidak ada lagi jurang dan dinding batu yang terjal dan mengerikan. Tidak ada lagi peraaan dingin yang menyelinap ke tulang belulang mereka. Yang ada hanyalah tumbuhan-tumbuhan musim semi dengan bunga-bunga yang indah di sisi kiri dan kanan jalan itu. Ada keindahan yang berbeda yang begitu terasa di tempat itu.

"Kau sudah tenang sekarang, Nak?" tanya Ingvar. Dia membuka jendela mobil tersebut, membiarkan angin yang membawa aroma musim semi masuk ke dalam dan menyapa organ penciuman mereka.

"Sudah, Far. Sepertinya tempat ini akan menyenangkan," jawab Edmund tanpa mempertanyakan sama sekali mengenai kejadian menegangkan yang hampir membuat dirinya dan Kara mati karena jantungan.

"Tempat apa ini, Far?" tanya Kara. Dia tak habis pikir mengenai kejadian tadi. Semuanya terasa seperti sihir.

"Tempat kita semua akan tinggal," jawab Ragna. Rasanya kebekuan wanita itu juga ikut menguap bersamaan dengan menghilangnya jalanan dengan bebatuan dingin yang diliput salju tadi.

Jawaban itu tentu saja tidak memuaskan Kara, dan Ragna sepertinya tahu kalau gadis itu akan memiliki banyak sekali pertanyaan kepadanya.

"Aku akan menceritakan semuanya pada kalian berdua nanti. Sekarang, kita sudah hampir sampai," ucapnya kepada Kara dan Edmund.

"Anak-anak, selamat datang di Halsgrof." Di depanmereka terdapat sebuah kastil batu berlatarkan langit senja nan indah. Edmund dan Kara langsung saling berpandangan.

Bibir Kara sudah bergerak-gerak hendak mengemukakan pertanyaan selanjutnya, namun Edmund menggenggam tangannya. Saat Kara memandangnya, Edmund mengedipkan matanya, memberi isyarat agar Kara tidak jadi bertanya.

Ketika mobil itu sudah hampir sampai di pintu kastil yang tertutup, mendadak pintui itu pun terbuka. Edmund menebak kalau itu lagi-lagi sebuah sihir, namun berbeda dengan kara. Kara mengira ada penggerak otomatis di pintu kastil tersebut.

Mereka berdua tentunya salah, dan mereka mengetahuinya setelah mobil itu berjalan masuk ke dalam pelataran kastil tersebut. Tampak dua orang pemuda yang kembali menutup pintu tersebut.

Setelah Ingvar menghentikan mobil, Ragna segera mengajak Kara dan Edmund turun. Setelah mereka semua turun dari mobil, kedua pemuda yang tadi membukakan pintu langsung menghampiri.

"Mor, aku kira kalian akan pulang lebih lama," ujar salah satu di antara mereka.

"Tentu saja tidak, Anak-anak. Ah, kenalkan saudara baru kalian, ini Kara dan Edmun ... Kara, Edmund, ini adalah Harald dan Leif."

Kedua lelaki itu menundukkan kepalanya saat Ragna menyebut nama mereka masing-masing. Kara dan Edmund menjadi kikuk. Ada dorongan untuk melakukan hal yang sama di dalam batin mereka berdua, namun mereka sendiri tak tahu apa makna dari gerakan itu sendiri.

Harald memang tampak sangat ramat. Rambut abu-abunya yang dipotong pendek berpadu dengan mata hazel yang bersinar membuatnya tampak ramah sekaligus jenius. Siapapun yang melihatnya akan merasa mudah sekali akrab.

Berbeda jauh dengan Leif yang memiliki rambut panjang dengan potongan runcing serta mata hitamnya yang misterius. Dia tampak serupa dengan Ragna. Bukan serupa seperti ibu dan anak kandung, namun entah mengapa Kara merasa ada hal yang sama di dalam diri keduanya.

"Mari kita ajak saudara kalian masuk ke dalam, dan tunjukkan kamar-kamar mereka," ujar Ingvar yang menyela di antara perkenalan mereka. Ingvar sendiri tengah membukakan bagasi mobil untuk menurunkan tas koper milik Kara dan Edmund.

"Biar kami bantu, Far," ujar Edmund. Dia segera berlari kecil ke sisi Ingvar. Kara yang merasa sedikit kikuk ketika berkenalan dengan orang baru melangkah pelan mengikuti Edmund.

"Kau masuk saja, ikut dengan Mor." Harald tersenyum manis kepada Kara yang sedang berpapasan dengannya. Harald sendiri sudah berjalan cepat untuk membantu Ingvar dan Edmund mengangkat koper dari bagasi mobil itu.

Kara meragu, dia hanya bisa tersenyum kecil pada Harald. Sekilas dia melirik pada Leif yang masih berdiri dengan tangan bersilang di depan dada, memperhatikan Ingvar dan Edmund serta Harald. Situasi itu membuat Leif tampak sedang menanti seseorang memohon bantuan kepadanya.

'Yang satu ini sombong sekali,' pikir Kara. Melihat kopernya sudah diangkat oleh Harald, Kara kemudian berbalik mengikuti Mor yang sudah berjalan di depan. Sesaat setelahnya, pintu depan kastil itu terbuka. Dua orang gadis berlari keluar sembari tersenyum manis.

"Kalian sudah datang? Senang sekali akhirnya aku mendapatkan saudara yang baru lagi!" seru gadis bertubuh mungkil dengan rambut merah itu. Dia tersenyum dengan gaya yang manja, kemudian berhenti dan berdiri mengangguk tepat di depan Ragna. 'Tempat apa ini? Dan siapakan mereka?' pikir Kara.