Arkan menoleh ke arah pintu, ketika mendengar suara ketukan dari luar.
"Siapa?"
Arkan berjalan ke arah pintu dan mengintipnya dari lubang keamanan. Ia mendesis pelan ketika tahu siapa orang yang ada di balik pintu rumahnya.
"Hal apa yang membawamu kemari, Jevon?" tanya Arkan spontan ketika membuka pintu.
"Arkan, kau jangan marah dulu. Aku sangat membutuhkan bantuanmu saat ini juga!"
Jevon menerobos masuk dengan tidak tahu diri. Pria itu kemudian duduk sesuka hatinya.
"Apa yang bisa aku bantu? Apa kau----"
"Benar! Aku dikejar oleh para gadis, Arkan! Mereka mengejarku tanpa alasan. Apa wajahku ini terlalu tampan?"
Arkan mengambil dua kaleng minuman dingin dan memberikan salah satunya pada Jevon.
"Jev, mau sampai kapan kau mempermainkan hati wanita? Mereka tidak bersalah apa pun. Mereka mencintaimu dengan tulus. Tapi apa yang kau lakukan? Kau mengkhianati cinta mereka."
Jevon meletakkan kaleng minumannya dan beralih ke samping Arkan. "Aku tidak seburuk itu, Arkan. Aku hanya menikmati masa mudaku. Lagi pula, aku tidak pernah menyatakan cinta pada mereka sebelumnya."
"Sudahlah. Orang sepertimu memang tidak pantas untuk diberi nasihat. Selalu melakukan apa pun sesuka hati. Jika suatu saat semua wanita itu mencarimu, jangan pernah menemuiku. Karena aku tidak ingin melindungi pria pecundang sepertimu."
"Ah, ayolah, Arkan. Aku tidak menyakiti mereka, tapi mereka yang menggilaiku. Apa aku salah? Aku hanya bekerja sesuai keinginan mereka. Kau tahu, sebenarnya mereka lah yang menginginkanku."
Arkan menghela napas pelan dan meraih tangan Jevon untuk berdiri. "Pergilah. Temui semua wanita itu, dan minta maaf kepada mereka."
"Arkan, apa kau gila? Jika aku menemui mereka, maka mereka akan memasukkanku kr dalam panci besar yang berisi air mendidih!"
"Aku tidak peduli. Itu masalahmu dan itu terjadi karena kesalahanmu." Arkan mendorong tubuh Jevon agar keluar dari rumahnya.
Pria itu harus diberi pelajaran berharga sesekali, agar ia tidak bersikap seenaknya.
Para wanita yang mengejarnya adalah kekasih Jevon. Pria itu memang senang mengoleksi wanita dari kalangan yang berbeda. Ada yang berusia tiga puluh tahun hingga gadis belia berusia belasan tahun.
Arkan sampai tidak habis pikir dengan Jevon. Pria itu memang tampan, bahkan sangat tampan. Tapi ia telah menggunakan ketampanannya untuk memanfaatkan para wanita yang kehausan akan kehadiran seseorang di sisi mereka.
"Ayolah, Arkan... apa kau tega, melihat sahabatmu dipukuli oleh para wanita liar, itu?"
"Aku tidak peduli. Jika kau tidak ingin dipukuli, maka selesaikan hubunganmu dengan mereka semua."
Jevon menggeleng cepat, membuat Arkan mengerutkan kening. "Aku tidak ingin kehilangan mereka semua, Arkan. Mereka terlalu berharga untukku. Karena mereka, aku bisa menikmati apa yang aku kenakan sekarang."
Arkan memperhatikan Jevon dari atas hingga bawah. Pakaiannya memiliki logo LV, jam tangan berwarna hitam yang dikenakan juga bermerek Rolex, serta celana dari merek terkenal Prada. Oh tunggu, sepatu yang saat ini menutup kedua kakinya adalah... Christian Dior, yang digadang-gadang harganya mencapai puluhan juta rupiah.
Arkan menepuk dahinya pelan. Mengapa ia baru menyadari, kalau Jevon itu licik? Pria yang sudah bersama dengannya selama bertahun-tahun itu ternyata hidup dari uang para wanita di sisinya.
"Bagaimana? Kau berubah pikiran?" tanya Jevon sembari memiringkan wajah.
"Tidak. Kau tetap harus pergi. Aku tidak ingin melihatmu di sini."
Arkan sudah memegang bahu Jevon dan siap untuk mendorongnya. Namun pria tidak tahu malu itu justru malah memeluk pinggang Arkan, seperti seorang anak yang sedang memeluk ibunya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Arkan histeris dan berusaha untuk melepas pelukan Jevon.
"Aku tidak akan pergi! Biarkan aku bersamamu!"
Di saat Arkan berusaha melepaskan diri, pintu rumah Lusi tiba-tiba terbuka. Arkan mengangkat wajahnya, dan melihat Lusi dan seorang teman wanita yang sudah berdiri sembari memperhatikan mereka.
Tatapan mata Lusi terlihat aneh, sekaligus bingung. Arkan yang menyadari posisi ambigu mereka, segera mendorong tubuh Jevon dengan sekuat tenaga hingga punggung lelaki itu membentur pintu lift yang tertutup.
"Arkan, mengapa kau tega padaku, hah?"
Arkan gelagapan. Lusi dan temannya masih memperhatikan mereka saat ini.
"Kau pulanglah. Jangan pernah datang kemari untuk berlindung."
"Arkan, apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?!"
Kedua mata Arkan membulat, ia melirik Lusi. Wanita itu nampak terkejut, mendengar ucapan Jevon. Tidak ingin ada kesalahpahaman lebih dalam, Arkan menekan tombol lift dan mendorong tubuh Jevon.
"Arkan! Awas kau, ya!"
Akhirnya Arkan bisa bernapas lega. Pria itu segera menghampiri Lusi untuk meminta maaf.
"Lusi, maafkan Aku. Temanku datang dan membuat keributan. Apa kau terganggu?"
Lusi menggeleng cepat. Ia masih sedikit terkejut dengan apa yang ia lihat dan dengar barusan.
"Kalau begitu, aku masuk dulu."
"Lu----"
Arkan mematung sembari mengacak rambutnya kasar. Lusi pasti berpikiran buruk tentangnya.
"Sudahlah, wanita memang selalu saja bersikap salah paham."
***
Lusi menutup pintu rumahnya dengan cukup keras. Ia memegangi dadanya sendiri dengan ekspresi yang masih sulit diartikan.
"Lusi, kau mengenal pria itu?" tanya Keke.
"Ya. Aku bertemu dengannya beberapa hari ini. Tapi aku tidak menyangka, kalau dia----"
"Gay?"
Lusi mengangguk cepat. Ia kembali teringat saat Arkan dan pria itu berpelukan.
"Selama ini aku melihatnya seperti pria normal, Keke. Tapi ternyata... ah, sayang sekali. Padahal ia cukup tampan."
Lusi yang semula akan mengajak Keke ke tempat Dave pun mengurungkan niatnya. Keinginannya untuk menikmati secangkir kopi pun hilang.
Wanita itu kembali dan merebahkan tubuh di atas sofa. Pikirannya melayang entah ke mana. Yang jelas, ia menyayangkan kelainan yang dimiliki Arkan.
"Sudahlah, Lusi... kau tidak perlu memikirkan apa yang bukan urusanmu. Setiap orang berhak memiliki cinta, dan pria itu juga berhak menentukan, siapa orang yang akan ia cintai."
"Keke, aku hanya tidak menyangka jika Arkan yang memiliki kelainan seperti ini. Kau lihat wajahnya, dia tampan dan memiliki tubuh yang kekar."
Keke tersenyum kecil dan berjalan ke arah meja pantri. "Justru yang memiliki otot-otot di tubuhnya, mereka cenderung tidak menyukai wanita, Lusi."
Lusi terkesiap dan memutar tubuhnya ke belakang. "Apa? Dengan alasan apa mereka tidak menyukai wanita, Keke?"
Keke meletakkan gelas yang berisi air putih di atas meja tersebut, dan kembali menghampiri Lusi.
"Aku tidak tahu. Mungkin saja mereka trauma, karena pernah disakiti oleh wanita. Itu lumrah terjadi di sekitar kita. Banyak pria yang menutupi kekurangannya dengan mengandalkan otot di tubuhnya, Lusi. Pesanku, jika kau ingin mendekati seorang pria, maka kau harus memastikan bahwa pria itu normal."
Lusi mengangkat sebelah alisnya sembari menatap Keke dalam. "Untuk memastikannya, aku harus bagaimana?"
Keke tersenyum lebar dan menatap Lusi dengan ekspresi yang mencurigakan. Wanita itu meminta Lusi agar mendekatkan wajahnya, lalu membisikkan sesuatu di depan telinga kanan Lusi.
"APA? APA KAU GILA, KEKE?"