webnovel

Pertemuan Yang Disengaja

"Ada apa, Keke? Apa terjadi masalah?"

Keke tidak menggubris. Wanita itu sibuk mondar-mandir sembari memainkan ponsel dengan wajah cemas. Kening Lusi semakin mengerut, karena Keke sudah bersikap seperti itu selama hampir tiga puluh menit.

"Keke, bicaralah! Jangan membuatku cemas!" Lusi tidak tahan lagi. Dia berkata dengan nada sedikit tinggi, yang akhirnya membuat Keke menoleh dan segera menghampiri Lusi.

"Coba kau lihat, Belania sudah mengumumkan penerbitan buku barunya bersama Eco Publisher!" katanya, dengan eskpresi heboh sekaligus cemas.

"Memangnya kenapa? Kenapa kau begitu ketakutan?"

"Aku bukan takut, Lusi. Tapi aku membayangkan seperti apa wajah bahagia Belania saat ini. Wanita itu pasti sedang tertawa dengan penuh kesombongan, cih!" Keke melipat kedua tangannya di depan dada. Sikapnya kepada orang yang tidak ia sukai memang akan seperti itu. Meski Belania sebenarnya tidak mengusik, tapi Keke merasa tidak terima karena dia selalu mengusik ketenangan Lusi.

"Sudahlah, lagi pula genre buku kita dengan buku Bela sangat berbeda. Kau tidak perlu khawatir. Kita memiliki pembaca masing-masing."

"Kau benar. Pembacamu pasti jauh lebih setia daripada pembaca wanita tidak tahu diri itu!" Keke menggebu. Emosinya selalu seperti ini jika berbicara tentang Belania.

"Sudahlah, daripada sibuk membicarakan orang lain, bagaimana jika kau menemaniku pergi ke toko buku?"

Keke menoleh cepat. "Ini sudah sore, Lusi. Kau serius ingin pergi? Besok kau harus pergi ke Andalanesia University."

"Sepertinya aku terlalu gugup. Aku memerlukan sedikit hiburan agar pikiranku sedikit tenang."

Lusi merebahkan kepala di badan kursi. Dia belum pernah tampil di depan umum sebelumnya. Wanita itu selalu menolak, jika ada beberapa wartawan yang menawarinya untuk wawancara. Bahkan untuk sesi tanda tangan pun, Lusi melakukannya di tempat tertutup yang hanya dihadiri oleh beberapa rekan kerja.

"Karena ini demi kebaikanmu, maka aku akan menemani. Kalau begitu, kita bersiap dulu."

Lusi mengangguk sumringah. Dua wanita itu memasuki kamar masing-masing untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

Lusi sore itu terlihat lebih segar dengan hoodie berwarna kuning dan celana kargo yang terlihat pas di sepasang kakinya. Penampilan Lusi tidak pernah terlihat mencolok, kecuali ketika hendak bertemu dengan orang-orang penting.

Namun meski penampilannya biasa saja, Lusi selalu terlihat sangat cantik dan bertambah setiap harinya. Itu semua karena wajah Lusi bak seorang selebriti.

Keke pernah mengatakan, kalau pun Lusi masuk ke dunia perfilm-an, pasti tidak akan sulit. Karena wajah cantiknya yang mendukung.

Tapi Lusi tetaplah Lusi. Gadis pemalu yang tidak bisa berbicara di depan umum apalagi tampil di depan layar kaca.

"Keke, ayo!"

"Aku siap!" Keke keluar dari kamar. Cara berpakaian mereka hampir sama, karena keduanya tumbuh di dalam rumah yang sama.

Keke mengenakan hoodie berwarna hitam, warna kesukaannya sejak dulu. Dengan celana jeans abu yang berada beberapa senti di atas lutut.

"Keke, kau serius ingin mengenakan celana seperti itu? Apa kau tidak akan kedinginan?"

"Tidak. Aku sudak melihat ramalan cuaca hari ini, tidak akan cuaca dingin di sore hingga malam hari."

Baiklah. Lusi tidak ingin memperpanjang perdebatan, daripada mereka terlambat pergi ke tempat tujuan.

Pintu lift terbuka begitu saja setelah mengantar Lusi dan Keke ke lantai dasar. Mereka berjalan cukup santai, karena taksi yang sudah dipesan secara online sudah berada di depan gedung apartemen.

"Dengan Nona Lusi?" tanya seorang pria paruh baya, yang ditaksir sebagai sopir taksi tersebut.

"Benar."

"Silakan."

Lusi membuka pintu mobil sebelah kiri, sedangkan Keke memutari mobil ke sebelah kenan. Kepalanya mendongak sebelum benar-benar masuk, tidak sengaja Lusi melihat Arkan di seberang jalan. Pria itu tengah mematung sembari melihat ke arahnya.

Sikapnya yang polos membuat Lusi menoleh ke belakang. Tidak yakin jika pria itu benar-benar sedang memerhatikannya.

'Tidak ada siapa pun,' batin Lusi.

"Lusi, ayo. Sedang apa kau mematung?"

"Ah, iya. Aku datang!"

Sudahlah, saat ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan Arkan. Yang Lusi butuhkan saat ini adalah menyegarkan pikiran sebelum besok bertemu dengan orang banyak dan memberi beberapa patah kata kepada para mahasiswa fakultas Bahasa dan Sastra Andalanesia University.

"Kau masih gugup?"

Suara Keke membuat Lusi mengerjap. Ternyata dia sedang melamun. Segera wanita itu menoleh ke samping.

"Tidak. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Apa?"

Lusi menghela napas berat dan menyandarkan kepala di bahu kiri Keke. "Keke, apa kau pernah merasakan jatuh cinta?"

"Kau aneh. Mengapa kau bertanya seperti itu? Bukankah kau mengetahui kisah masa laluku seperti apa dulu?"

"Benar. Bahkan kisah percintaan kita hampir sama."

Keke menempelkan kepala mereka. Nasib keduanya memang bisa dibilang sama. Pergi dari rumah karena keluarga yang tidak merestui dengan keputusan yang ingin mereka ambil.

"Apa kau percaya, jika aku akan mendapatkan lelaki yang baik?"

"Percaya. Karena kau adalah gadis yang baik."

Lusi tersenyum singkat. Meski Keke terlihat cuek, culas dan hampir tidak memiliki perasaan, tapi hanya Lusi yang bisa merasakan kebaikan dan kehangatan wanita itu.

Sepuluh menit berlalu. Lusi dan Keke sudah sampai di depan toko buku di sekitar Jalan Setya Budi. Toko buku tersebut adalah tempat favorit Lusi. Selain banyaknya buku yang bisa dibaca, tempat itu juga memiliki letak yang strategis, tenang dan nyaman.

"Kau bilang ingin menenangkan pikiran dan sedikit refreshing, tapi kenapa malah membaca di sini? Seharusnya kita pergi ke mall, dan bermain game."

"Sebagian hidupku adalah membaca dan menulis."

Keke memutar bola matanya malas. Mereka memisahkan diri ketika Keke melihat sebuah rak yang dipenuhi dengan cerita komik kesukaannya.

Dibanding novel remaja, Keke lebih tertarik pada komik yang mengandung banyak humor. Dia suka tertawa, meski hanya dihibur oleh buku yang dibaca.

"Baiklah, karena Lusi sudah mengajakku ke sini, maka aku akan memanfaatkannya. Semua komik di sini akan aku baca semua!"

Berbeda dengan Keke yang langsung mengambil setumpuk buku komik dan membawanya ke atas meja, Lusi justru masih memilah dan memilah buku karya penulis terkenal yang bisa dibuat sebagai referensi.

"Sebenarnya aku tidak terlalu ingin membaca, tapi suasana hatiku sedang buruk. Berarti... aku membutuhkan buku yang bisa menuangkan semua emosi."

Tangannya hendak mengambil sebuah buku dengan sampul berwarna merah muda di barisan rak kedua. Namun tubuh Lusi menegang, ketika ada tangan lain yang menyentuh benda tersebut.

Lusi terkejut bukan karena hal itu. Melainkan tangannya yang di genggam oleh orang yang tidak dia kenal. Perlahan kepalanya mendongak di tengah keterkejutannya sendiri.

"Ar... kan?"

"Hm? Kau ingin membaca buku ini?"

Buru-buru Lusi menarik tangannya dan sedikit bergeser. "Kalau kau juga ingin membaca, ambil saja. Aku akan mencari buku lain."

Lusi hampir berbalik, namun Arkan menarik tangannya dengan cepat. Tubuh Lusi semakin tersentak, saat kepalanya menabrak dada bidang Arkan.

"Kenapa kau pergi, hm? Aku sengaja menyusulmu ke sini. Apa tidak ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku?"