Arkan memasuki sebuah kafe yang disebutkan oleh Jevon. Pria itu mengedarkan pandangan dan melihat teman karibnya yang tengah melambaikan tangan di meja paling sudut.
"Akhirnya... aku sudah hampir mati menunggu kedatanganmu, Arkan."
Arkan sama sekali tak menggubris. Pria itu menarik kursi dan duduk di hadapan Jevon dengan tatapan mengintimidasi.
"Ada apa?"
"Kau tidak ingin memesan secangkir kopi lebih dulu?"
Arkan menggeleng pelan. "Ada banyak urusan yang belum aku selesaikan. Jika memang tidak ada hal penting, aku akan kembali."
"Eh, tunggu! Arkan, ayolah...." Jevon meraih kedua bahu Arkan dan meminta kembali duduk. "Aku membutuhkan beberapa pendapatmu. Dalam hal ini, hanya kau yang paling mengerti."
"Katakan."
Jevon berdeham pelan dan merapikan duduknya. "Fahira. Dia adalah salah satu kekasihku, dan tadi ia mengirimkan sebuah pesan, yang isinya mengajakku untuk bertemu malam ini."
"Lalu?"
"Hmmm... sebenarnya aku ingin menolak, tapi Fahira adalah gadis yang paling berjasa. Dia adalah putri dari konglomerat yang memiliki banyak toko emas di sepanjang jalan Sukamenak."
Arkan menghela napas berat. Jika Jevon bukan temannya, pasti sudah habis di tangan Arkan saat ini juga. Arkan sangat tidak suka bertele-tele. Lagi pula, untuk apa Jevon menceritakan biografi tentang gadis yang sama sekali tidak ia kenal?
"Jev, jika masih ingin berbasa basi, aku tidak punya waktu."
"E-eh, tunggu. Beri aku waktu untuk memesankan secangkir kopi untukmu."
Arkan menghela napas berat untuk yang kedua kalinya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada sembari menoleh ke depan. Awalnya ia menolah karena Jevon memanggil seorang pelayan, namun kedua matanya menangkap sosok lain.
Lusi. Wanita itu tengah duduk bersama Keke. Mereka terlihat sangat akrab sekali, dan sepertinya hubungan mereka juga baik. Jika tidak, mana mungkin mereka akan tinggal satu rumah.
Kedua sudut bibir Arkan ikut tertarik, ketika melihat Lusi tertawa. Kedua matanya yang minimalis ikut tertutup bersamaan dengan tawa bahagia di bibirnya.
Entah sejak kapan, Arkan sepertinya mulai tertarik pada Lusi. Selama dua puluh dua tahun hidup menyendiri, kini Arkan bisa merasakan seperti apa rasanya orang ketika sedang jatuh cinta.
"Arkan, kau ingin memesan kopi apa?" tanya Jevon, sembari memberikan buku menu.
"Aku ingin kopi yang sama persis seperti milik gadis itu."
Jevon dan seorang pelayan itu pun menoleh ke belakang.
"Ada dua orang gadis di sana," ucap si pelayan.
"Gadis yang mengenakan hoodie berwarna merah muda."
"Baik. Silakan ditunggu."
Jevon memukul lengan Arkan yang sudah berada di atas meja. "Kau sakit? Tidak biasanya kau seperti ini."
"Apa? Aku hanya ingin kopi yang sama dengan gadis itu, apa salahnya?"
"Oh, ya? Bukankah kau sangat tidak suka, jika ada orang yang meniru atau menyerupai dirimu?"
"Ya. Aku memang tidak suka. Tapi itu dalam cara berpakaian atau penampilan. Kalau untuk makanan dan minuman, aku tidak masalah."
Jevon kembali menoleh ke belakang. Mengamati wajah gadis itu dengan lekat. Kedua matanya memicing dan bola matanya membulat ke atas.
BRAK!
Arkan melirik Jevon yang baru saja menggebrak meja dengan keras. Membuat seluruh pengunjung menoleh ke arah mereka, termasuk Lusi.
"Kau gila?!" bentak Arkan marah.
"Kau yang gila!. Sekarang aku ingat, gadis itu adalah orang yang tinggal di depan rumahmu, kan?"
Arkan memalingkan wajah ke arah lain, sembari mendesis pelan. Ia lupa kalau Jevon pernah bertemu dengan Lusi.
"Kau mengingatnya?"
"Tentu saja! Ingatanku masih tajam, apalagi ia adalah gadis cantik dan lucu."
Arkan marah, ia tidak suka dengan cara bicara Jevon. Sorot matanya memperlihatkan, bahwa lelaki itu memilik maksud terhadap Lusi.
"Kau jangan pernah mengusiknya, Jev. Belum tentu gadis itu akan menyukaimu."
"Aku tidak akan mengusik gadis itu, jika kau memang menyukainya. Namun jika tidak, maka aku akan maju satu langkah di depanmu."
Arkan terdiam. Pria itu kembali menoleh ke tempat Lusi. Ia sedikit mengerutkan dahi, tatkala melihat seorang pria yang duduk di antara Lusi dan Keke. Mereka juga terlihat sangat akrab.
'Apa lelaki itu kekasih Lusi?' batin Arkan.
"Satu cup vanila coffee."
Arkan terkesiap saat seorang pelayan mengantarkan pesanannya.
"Ehm, maaf, pria yang duduk di sana, apakah pelanggan di kafe ini?"
"Oh, bukan. Dia adalah pemilik kafe ini. Permisi."
Pemilik? Itu tandanya, pria itu lebih dewasa dan pasti memiliki maksud tertentu pada Lusi. Jika dibandingkan dengan dirinya, pria itu memang terlihat lebih dewasa dan sangat mapan.
"Kalau kau memang menyukai gadis itu, cepat katakan. Sebelum ada pria lain yang mengambil hatinya."
Arkan berdecih dan menyesap kopi miliknya. "Kami hanya bertemu beberapa kali. Tidak ada obrolan panjang, bagaimana mungkin aku menyukainya?"
"Arkan, kita sudah saling mengenal beberapa tahun. Sejak kau masih tinggal di asrama, aku yang paling mengerti dengan keseharianmu."
"Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan hal seperti ini denganmu."
Jevon berdecak pelan sembari mengambil selembar tisu. "Kau tidak pernah minum kopi, huh? Lihat bibirmu, berantakan." Pria itu menjulurkan tangan dan mengusap bibir Arkan pelan.
Arkan hanya pasrah, lagi pula mereka sudah terbiasa seperti ini. Ketika ia menoleh pada Lusi, gadis itu segera membuang wajah ke arah lain. Segera Arkan menepis lengan Jevon kasar, untuk menghindari pandangan buruk Lusi tentangnya.
"Kau gila?"
***
"Arkan?" gumam Lusi pelan. Wanita itu melihat Arkan menghampiri seorang pria yang duduk di meja paling sudut. Jika tidak salah ingat, pria itu adalah orang yang ia temui ketika berkelahi dengan Arkan di depan pintu rumahnya.
Lusi masih terus memperhatikan mereka. Namun ia tidak melihat ada obrolan intim seperti para pasangan lainnya. Apa mereka masih bertengkar?
"Lusi, coba kau lihat ini."
Lusi tersadar dari lamunannya. Wanita ini menoleh pada Keke yang tengah menyodorkan ponsel dan memperlihatkan sebuah video lucu.
Keduanya tergelak hingga mendongak. Apalagi Lusi, wanita itu sangat mudah tertawa jika melihat sesuatu yang pantas untuk ditertawakan.
"Keke, jangan perlihatkan video seperti ini padaku lain kali," ucap Lusi, disela-sela tawanya.
"Kenapa? Aku hanya ingin memberi sedikit hiburan padamu."
"Tapi perutku sakit!"
"Apa yang kalian tertawakan, huh?"
Dave datang dan duduk di antara dua wanita lajang itu.
"Tidak. Hanya sebuah video lucu yang mampu mengocok perut," jawab Lusi, menyeka sudut matanya yang sedikit berair.
"Aku ada urusan keluar sebentar, kalian nikmati saja kopi di sini, oke! Bye."
"Bye, Dave!" Lusi melambaikan tangan ke arah Dave, hingga ia tidak sengaja menoleh ke arah Arkan.
Napas Lusi tiba-tiba sesak, saat tatapan mereka bertemu dengan tidak sengaja.
"Lusi, sampai kapan kita di sini?" tanya Keke, yang masih membuka lembaran buku menu.
"Terserah kau saja. Aku hanya ingin menikmati sedikit waktu luang."
Suara gebrakan meja membuat tubuh Lusi terperanjat. Ia menoleh pada sang pelaku, yang ternyata berasa dari meja yang ditempati oleh Arkan.
"Itu bukannya Arkan?"