Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Lusi sedari tadi masih mondar mandir di depan lemari pakaian miliknya. Dia gugup, dan sangat gugup.
Wanita itu terus menerus menggigiti kuku di jemari tangannya. Dia berusaha menenangkan diri, namun tetap saja rasa gugup sialan itu tidak mau pergi.
"Lusi, apa kau sudah siap?"
Pintu kamarnya diketuk dari luar. Pelakunya adalah Keke. Terhitung sudah dua kali Keke memanggilnya dengan suara lantang. Sungguh tidak tahu bahwa Lusi tengah merasakan posisi tidak aman.
"Aku harus bagaimana? Apa yang harus aku katakan pada mereka?" tanya Lusi kepada dirinya sendiri.
Dia bukanlah penulis handal dengan lulusan terbaik universitas. Jangankan terbaik, belajar di sebuah universitas saja tidak pernah.
Lusi hanyalah manusia biasa yang terlahir dari keluarga sederhana. Dia hanya mengenyam pendidikan hingga Sekolah Menengah, dan memutuskan untuk terjun ke dunia kepenulisan dengan bermodalkan tekad dan beberapa buku sebagai referensi.
Tidak ada yang istimewa darinya. Lusi sebenarnya sangat tidak setuju dengan usulan Keke yang memintanya menggelar acara promosi ke tiap sekolah dan universitas, karena tidak akan berpengaruh apa-apa untuknya atau untuk para siswa dan mahasiswa yang belajar di sana.
Lusi tidak bisa memberikan ilmu apa pun, selain pengalaman hidup yang bermodalkan keberanian. Menentang orangtua dan pergi dari rumah. Lalu memulai kehidupan baru bersama Keke. Jadi, apa yang biasa dia bagikan kepada seluruh peserta seminar nanti?
"Lusi cepatlah. Kita sudah tidak punya waktu lagi!"
Lusi akhirnya berdecak kesal. Dia mengambil tas dan buku yang baru saja terbit beberapa hari lalu. Itu semua karena perintah Arman. Pria itu meminta Lusi untuk memanfaatkan keadaan dan memberi sampel buku kepada mahasiswa yang paling aktif mengajukan pertanyaan.
Wanita itu membuka pintu dan langsung berdiri di depan Keke. Wajahnya tidak begitu bersemangat, seperti ada beban berat yang ia pikul di kedua bahu.
"Keke, apa aku bisa mengundurkan diri saat ini juga?"
"Jangan berharap! Ayo pergi!"
Lusi pasrah, saat Keke menarik pergelangan tangannya dan melangkah keluar. Di depan pintu lift, seperti biasa dia menoleh. Memperhatikan apartemen milik Arkan yang terlihat sepi.
"Kau mencarinya? Bukankah kemarin kau memakinya tanpa ampun?"
Keke benar. Padahal kemarin mereka beradu mulut seperti seekor tikus dan kucing, Tapi kenapa sekarang ia malah mencari Arkan? Tidak. Lusi kembali menatap pintu lift yang akhirnya terbuka.
"Keke, apa yang harus aku sampaikan nanti?" tanya Lusi, sembari menyandarkan punggung di dinding lift yang tengah membawa mereka ke lantai dasar.
"Cukup menjawab pertanyaan yang mereka ajukan. Dan kiranya kau keberatan, maka tidak perlu dijawab."
"Apa bisa seperti itu?"
Keke mengangkat wajahnya, setelah mengambil ponsel dari dalam tas selempang kesayangannya. "Bisa. Kau hanya perlu mengatakan, bahwa ada informasi pribadi yang tidak bisa dikatakan."
Lusi mengangguk mengerti. Dia menghela napas sebelum pintu lift kembali terbuka.
Sebuah taksi online yang Keke pesan pesan sebelumnya sudah menunggu di depan gedung apartemen. Sebenarnya Lusi bisa saja membeli mobil pribadi untuk keperluan mereka, hanya saja wanita itu tidak ingin menghamburkan uang begitu saja. Selagi ada taksi untuk digunakan, mengapa tidak? Lagi pula Lusi sangat jarang keluar rumah. Paling tidak, mereka hanya menyambangi coffee shop yang ada di sekitar gedung apartemen.
"Jam berapa jadwalnya?"
"Jam sembilan. Masih ada satu setengah jam jika kau ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya."
Lusi menurut, seperti kambing yang dicocoki. Wanita itu membuka mulut lebar-lebar dan menarik udara untuk masuk. Keke tidak merasa heran dengan tingkah Lusi yang akan berubah aneh seperti ini. Dia sudah cukup jauh mengenal Lusi, bahkan pernah sekali Lusi mengajak Keke untuk melakukan ide gilanya. Yaitu mandi bersama.
"Sepertinya perutku mulai kembung."
***
Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di Andalanesia University. Lusi dan Keke disambut oleh para staff dan dosen yang sudah menunggu di depan lobi gedung fakultas Bahasa dan Sastra.
"Silakan masuk. Ini adalah ruang istirahat kalian," ucap salah seorang penanggung jawab acara tersebut.
"Terima kasih banyak."
Setelah para petugas pergi, Lusi mendudukkan tubuhnya di atas sofa yang sangat empuk. Universitas Andalanesia memang salah satu kampus terbesar di kota tersebut. Bangunan mereka juga terbilang sangat mewah dan pantas disebut sebagai kampus nomor satu di Indonesia.
Ketika memasuki gedung tersebut, Lusi sampai tidak bisa berkata-kata. Saat melihat mahasiswa yang tengah bercanda ria dengan sahabat mereka, lalu melihat beberapa kutu buku yang fokus dengan bacaan dan beberapa orang yang fokus menatap layar laptop.
Lusi merasa iri. Andai saja ia bisa seperti mereka. Mungkin Lusi bisa merasakan kembali indahnya masa sekolah.
Sebenarnya jika Lusi benar-benar ingin, bisa saja dia memasuki kampus tersebut dengan jalur reguler. Namun ia tidak bisa. Lusi harus bekerja dan menghasilkan banyak uang, agar bisa membuat orangtuanya bangga dan mengubah pandangan mereka terhadap para penulis.
"Lusi, ruangan ini sangat mewah. Meski terlihat kecil, tapi fasilitasnya lengkap."
Suara Keke membuyarkan lamunan Lusi. Ia memperhatikan setiap sudut ruangan yang dibalut dengan cat putih yang dikombinasikan dengan warna hijau toska. Terlihat sangat manis dan indah.
Di sudut kanan ruangan itu terdapat sebuah dispenser yang lengkap dengan air galon yang sudah terpasang di atasnya.
"Sepertinya mereka sangat memperhatikan tamu dengan baik."
"Kau benar. Beruntunglah kita bisa bekerja sama dengan mereka," ucap Keke, lalu mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya.
"Untuk apa kau mengeluarkan agenda harian kita?"
"Aku akan mencatat pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa di sini. Dan nanti, kita akan lakukan evaluasi. Bila perlu, setelah dari sini kita mengadakan siaran langsung di akun Instagram pribadimu."
Bola mata Lusi membulat sempurna. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melakukan apa itu siaran langsung. Lusi pernah mengatakan sebelumnya, tidak ada orang yang tahu seperti apa rupa wajahnya, selain para rekan kerja yang menjalin hubungan dengannya secara personal.
"Keke, apa kau gila! Kau ingin melihatku mati muda?"
Keke menghela napas ringan dan meletakkan pulpen di atas buku tersebut. "Jangan berlebihan. Tidak lama lagi wajahmu akan dilihat oleh semua orang. Apa lagi yang kau takutkan, hm?"
Benar. Lusi hampir melupakan sesuatu. Wanita itu beranjak menuju sebuah meja rias yang disediakan oleh pihak kampus. Lusi mengabaikan tatapan Keke dan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
Wanita itu tengah fokus memperhatikan penampilannya. Terutama rambut dan wajah.
"Untung aku sudah mempersiapkannya."
Lusi menoleh ke arah sebuah tas kecil yang diletakkan Keke di atas meja rias tersebut.
"Apa itu?" tanya Lusi bingung.
"Kumpulan peralatan tempur. Biar kubantu merias wajahmu."
Tubuh Lusi menghindar seketika, tatkala tangan Keke hendak menyentuh kepalanya.
"Kau tidak akan mempermalukanku, kan?"
"Hey, untuk apa aku mempermalukanmu? Aku adalah asisten dan manajermu. Kau jangan berpikiran bodoh, Lusi!"
"Baiklah. Buat wajah dan rambutku sebaik mungkin. Siapa tahu, ada pangeran yang menyukaiku di sini."
"Dengar-dengar, Arkan juga kuliah di sini."