"Karya baru, kah?"
Lusi hampir terjengkang mendengar pertanyaan Arkan. Apa pria itu tahu tentang identitasnya? Jika benar, bagaimana Arkan bisa tahu? Bukankah selama ini ia menutup rapat tentang semuanya?
"Karya baru? Karya baru apa, maksudmu?" Lusi sedikit gugup. Wajahnya bahkan terlihat panik diiringi dengan senyum terpaksa yang terukir di kedua sudut bibir.
"Tidak. Aku kira kalian berdua adalah seorang konten kreator. Aku lupa, bahwa kau dan Keke bekerja di sebuah perusahaan."
Meski Arkan mengatakan semuanya dengan santai, tapi Lusi masih terlihat gugup. Dia masih penasaran dengan pertanyaan Arkan sebelumnya.
"Kau salah, Ar. Kami hanya sedang saling membantu sama lain. Dan sekarang Keke tengah menyelesaikan pekerjaanku yang tidak sempat aku kerjakan."
"Oh, begitu. Bagaimana jika aku mengantarmu ke kafe?"
Lusi menatap wajah Arkan tidak percaya. Tumben sekali pria itu ingin mengantarnya pergi. Jevon pernah berkata, bahwa Arkan memang pria normal namun sangat dingin kepada orang yang belum dekat dengannya.
"Kau baru pulang kuliah. Apa tidak ingin istirahat?" tanya Lusi tidak enak. Biasanya orang yang baru saja pulang dari sekolah pasti akan merasa lelah jiwa dan raga, ditambah beban di kepala yang mungkin sulit untuk ditahan.
"Tidak. Lagi pula kafe ada di dekat sini," ucap Arkan sambil menoleh ke belakang, bermaksud menunjukkan deretan coffee shop yang berjajar di sekitar gedung apartemen mereka.
"Baiklah. Kalau begitu, akan aku ajak kau ke kafe milik temanku."
Entah sejak kapan, namun keduanya sudah mulai akrab saat ini. Bahkan Lusi sepertinya sudah bisa menerima kehadiran Arkan yang sedari terus mengoceh di sampingnya.
Dia tidak menyangka jika Arkan bisa mengeluarkan ocehan yang menurutnya lumayan menarik. Seperti saat ini misalnya, Arkan menceritakan beberapa lelucon yang sebenarnya sudah ada di zaman ketika Lusi masih berusia belasan tahun.
"HAHAHA... aku sudah tahu semua lelucon yang kau ceritakan, Arkan!"
"Hah? Aku kira kau tidak suka lelucon. Sia-sia sekali aku bercerita untukmu." Wajah Arkan terlihat menekuk. Pria itu memanyunkan bibir meniru mulut bebek yang gepeng ketika manyun.
"Sudah, sudah... jangan marah seperti ini. Merajuk hanya cocok untuk seorang gadis sepertiku."
"Tidak adil. Mengapa para pria tidak diperbolehkan merajuk?"
Lusi menghentikan langkahnya dan beralih menghadap Arkan yang saat ini posisi mereka sudah saling berhadapan.
"Karena pria diciptakan untuk melindungi wanita. Jika kau merajuk dan aku merajuk, siapa yang akan membujukku? Sedangkan wanita selalu ingin dibujuk dan diperhatikan."
Arkan terdiam. Dia memandangi wajah Lusi lekat, menyelami bola matanya yang terlihat sangat indah dan terang.
"Seorang pria hanya akan membujuk wanita yang berstatus sebagai kekasihnya. Lalu, apa yang kau maksud dengan aku harus membujukmu?"
Ah, sial! Lusi secepat mungkin memalingkan wajah ke arah lain. Dia berdeham sembari merapikan rambut yang tidak berantakan sama sekali.
Posisinya sangat tidak nyaman saat ini. Lusi dilanda kegugupan yang luar biasa, itu semua disebabkan oleh kecerobohannya sendiri.
"Lusi, kau di sini?"
Suara seseorang menginterupsi keduanya. Lusi tersenyum lega melihat kehadiran Dave yang secara tidak langsung menjadi penyelamat hidupnya.
"Dave, aku dan temanku baru saja akan pergi ke tempatmu."
Dave tertawa pelan dan menghampiri Lusi. "Bahkan kalian sudah berada di depan kafe ku, tapi mengapa tak kunjung masuk?"
Lusi mendongak, menatap wajah Arkan yang berubah dingin. Padahal tadi pria itu sudah menggoda Lusi habis-habisan. Apa karena Lusi tidak menjawab pertanyaannya?
"Ah, iya. Tadi kami sedang berbincang sedikit, sampai lupa jika kami sudah berada di depan kafe mu." Lusi terkekeh tanpa niat. Sejujurnya perasaannya kini mulai tak nyaman. Itu semua karena wajah Arkan yang tiba-tiba berubah.
"Cepatlah, kita harus segera kembali. Kasihan Keke jika harus menunggu terlalu lama." Arkan menarik lengan Lusi dengan tiba-tiba, sampai membuat wanita itu hampir kehilangan keseimbangan dan tubuhnya sedikit oleng.
Dave memperhatikan punggung Lusi yang hilang di balik pintu kafe nya.
"Ada hubungan apa mereka?"
"Ar, lepaskan. tanganku sakit."
Arkan melepas cengkeramannya. Ia berbalik dan menunduk sebagai tanda permintaan maaf. "Maafkan aku. Tidak seharusnya aku bersikap kasar padamu," ucap Arkan penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa. Tapi mengapa kau seperti ini? Apa ada yang salah dari ucapanku?"
"Tidak. Aku hanya tidak suka membuang-buang waktu." Arkan memilih untuk menoleh ke arah lain.
Wajah Lusi terlalu candu untuknya. Seperti seekor semut yang melihat segumpal gula.
"Kau ingin pesan apa, Lusi? Seperti biasa, aku akan membuatkanmu kopi dengan rasa spesial. Karena aku yang akan meraciknya sendiri."
Arkan mendengkus pelan. Sepertinya Dave selalu ada di mana-mana. Ah, dia sepertinya melupakan siapa Dave. Pria itu adalah si pemilik kafe yang mereka datangi sekarang.
"Vanila latte dan mathca."
"Matcha untuk siapa? Bukankah kopi kesukaanmu vanila latte?"
"Aku membelinya untuk Keke. Dia tengah menyelesaikan pekerjaanku, jadi aku ingin memberi sedikit tanda terima kasih untuknya."
Dava menepuk bahu Lusi beberapa kali secara pelan. "Kau memang gadis yang baik. Kalau begitu, biarkan aku membuatkannya khusus untukmu. Apa kau ingin melihat?"
Tentu saja Lusi mengangguk cepat dan kuat. Ia segera melangkah di samping Dave menuju ke arah meja pantri. Yang di mana deretan mesin pembuat kopi sudah berjejer seolah menyambut tuannya dengan baik.
Dengan malas Arkan mengikuti keduanya. Namun pria itu duduk di kursi yang berada tidak jauh dari tempat Lusi yang sedang menonton Dave.
"Apa hebatnya membuat kopi? Bukankah itu sudah menjadi pekerjaan umum?" ucap Arkan pelan. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku hoodie dan mencari nama Jevon di sana.
Arkan : "Jev, aku ingin bertanya sedikit padamu."
Arkan berdecak pelan karena Jevon tidak membalas pesannya.
"Ke mana dia? Saat dibutuhkan seperti ini justru malah menghilang."
Ketika ponselnya bergetar, cepat-cepat Arkan menggeser layar kunci dan membaca balasan dari Jevon.
Jevon : "Ada apa, Saudara? Kita baru berpisah setengah jam yang lalu. Mengapa kau masih merindukanku?"
Mual sekali rasanya perut Arkan setelah membaca pesan dari Jevon. Memang jika sudah terlalu percaya diri, maka akan sulit untuk diubah.
Arkan : "Apa menjadi barista itu menarik? Kenapa semua wanita sangat menyukai bahkan memuji laki-laki yang bisa meracik kopi?"
Jevon : "Karena bagi mereka, memiliki keahlian membuat kopi adalah satu hal yang menarik. Bukan hanya sekadar meracik, tapi mereka juga harus memilih biji kopi yang pas untuk dipadukan, dan itu tidak mudah."
Arkan mengunci penjelasan yang diberikan Jevon dan kembali memperhatikan Lusi yang terlihat gembira melihat Dave.
"Apa benar? Apa Lusi menyukai Dave? Pria itu memang terlihat tampan dan mapan. Dua aspek yang kata orang bisa membawa kebahagiaan di masa depan."
Arkan menopang dagu dengan tangan kanannya. Sedih sekali rasanya jika Lusi benar-benar menyukai Dave.
"Ar, ayo!"