webnovel

3. Masa Kelam Sergio

Langkah kakinya sedikit tergesa, berniat memasuki kamar waktu jam kerjanya kini telah selesai. Jam kerja Isla hanya saat Sergio beraktifitas di luar kamarnya. Sewaktu pria itu berada di dalam kamar, Isla terbebas dari tugasnya.

Gadis itu merasa sangat senang. Seharian ini, dia cukup lelah menjadi penerjemah Sergio di hari pertamanya. Ternyata, pria itu adalah orang yang benar-benar sibuk. Isla sudah menjawab kurang lebih lima puluh panggilan dalam waktu sehari.

Dan saat ini, dia ingin mengistirahatkan tubuhnya di atas ranjang. Saat hanya kurang tiga langkah lagi untuk sampai di paviliun tempatnya tinggal selama bekerja di sini, suara seseorang berhasil menghentikan langkah kaki Isla.

"Nona Cambrey?" panggil seorang pria dengan suaranya yang cukup berat.

Tentunya, itu bukan Sergio mengingat pita suara Sergio sedang bermasalah. Tetapi, siapa?

Dengan perlahan, Isla membalik tubuhnya. Ditatapnya seorang pria berambut pirang yang ternyata adalah Merald.

Bayangan tentang ranjang yang merupakan surga dunia langsung lenyap seketika. Jika Merald yang memanggilnya, dipastikan atas perintah Sergio.

Isla segera mendekat. Dia tersenyum paksa di tengah rasa lelahnya yang mendera. "Ada apa Mister Merald?" tanya Isla formal.

Merald berdehem pelan. "Cukup panggil saya Merald." Katanya.

Oke, Isla hanya bisa menurutinya tanpa protes sedikitpun, bukan?

"Baiklah Merald." Ucapnya.

"Kau terlihat lelah." Kata Merald sewaktu melihat wajah Isla yang sedikit pucat. Pasti gadis itu terkejut setelah menyadari bahwa menjadi penerjemah Sergio tidak semudah yang dibayangkan.

"Tidak… mengerjakan tugas kuliah sepertinya lebih melelahkan daripada ini." Ucapnya dengan sebuah senyuman. Tentu saja ini hanya sebuah alibi saja. Nyatanya, mengerjakan tugas kuliah lebih mudah berkali-kali lipat daripada apa yang dia kerjakan hari ini.

"Kalau begitu, duduklah. Ada yang harus saya bicarakan denganmu." Kata Merald sembari berjalan menuju sebuah pondok kecil di dekat sana.

Isla buru-buru mendaratkan bokongnya di atas kursi tersebut. Merald segera menyusul, duduk di depannya. "Apa ini tentang yang Tuan Sergio katakan tadi siang?" tanya Isla.

Merald menganggukkan kepalanya. Dia berdehem, menyatukan kedua tangannya. "Sergio memiliki sebuah trauma dengan seorang wanita paruh baya. Selain itu, dia juga memiliki ketakutan terhadap—"

"Ketakutan? Seorang Tuan Sergio yang sangat menyeramkan takut terhadap sesuatu?" potong Isla tanpa sadar. Dia hanya merasa sedikit tidak menyangka dengan yang didengarnya. Bagaimanapun juga, citra Sergio sangatlah kuat. Bahkan, Isla pikir Sergio adalah pria temperamental yang sulit tersentuh.

"Bisakah kau tidak memotong ucapan saya, Isla? Jika kau melakukannya pada Sergio, dia pasti akan marah besar." Suara Merald terdengar sangat berwibawa. Sekarang, Isla tahu mengapa Sergio sangat mempercayai Merald dan memilihnya menjadi tangan kanan pria itu.

Isla kini menunduk, merasa ketakutan. "Maaf, Merald." Cicitnya.

Merald tersenyum tipis, dia memaklumi tingkah ceroboh Isla mengingat gadis itu masih terbilang cukup muda dan baru kali ini terjun di dunia kerja. Merald tahu semua latar belakang gadis itu. Bahkan, hingga keluarganya sekalipun.

"Saya akan melanjutkannya lagi. Saya harap, kau tidak memotong ucapan saya lagi atau semua akan semakin lama. Bukankah kau ingin beristirahat?" ucap Merald.

Isla langsung menundukkan kepalanya, kemudian menggigit bibir bawahnya pelan. "I-iya… maaf sekali lagi Merald." Katanya ketakutan.

"Perlu kau catat selama bekerja di sini, kau tidak boleh membawa masuk wanita paruh baya yang kira-kira berusia empat puluh tahunan. Selain itu, kau juga perlu tahu bahwa Sergio takut hujan. Dia tidak bisa sendiri saat hujan. Lalu, dia juga takut melihat seseorang berhubungan intim. Kau harus mengingatnya, Isla." Kata Merald dengan penekanan pada setiap katanya.

"Siap Merald! Saya akan mengingatnya! Anda tenang saja, daya ingat saya cukup baik kok." Kata Isla polos.

"Kau tidak ingin mengetahui alasannya?" tanya Merald tiba-tiba.

Isla sedikit membelalak, kemudian mengangguk ringan. "Tidak, eh… maksud saya iya. Saya ingin tahu alasannya jika diijinkan." jawab Isla tergagap.

"Saya yakin kau tahu bahwa orang tua Sergio mati sewaktu dia masih kecil…" Isla menganggukkan kepalanya. Ini bukan lagi rahasia umum. Semua orang sepertinya sudah mengetahui hal ini. Kecelakaan tragis yang merenggut nyawa orang tua Sergio.

"Setelah kecelakaan tragis itu, Sergio dirawat oleh Bibinya. Dan ada yang tidak kau ketahui disini, yaitu… Bibi Sergio memperlakukannya dengan buruk. Sergio sering dikurung didalam kamar sempit saat menangis. Ada hari dimana Sergio dikurung di tanpa atap. Hari itu, hujan sangat deras disertai petir. Sergio dikurung selama lima jam di sana, sampai akhirnya hampir mati kedinginan." Jelas Merald, berhasil membuat Isla terkejut bukan main.

Isla pikir, hidup Sergio cukup mudah. Seorang anak kecil yang ditinggali banyak harta oleh kedua orang tuanya. Tetapi, nyatanya tidak. Hidup Sergio jauh dari kata mudah. Isla tidak pernah menyangka jika sosok pria yang cukup ditakuti banyak orang karena terkenal dengan sifat kerasnya ternyata memiliki hidup yang sulit. Bahkan, hingga menimbulkan trauma jangka panjang untuk pria itu.

"Astaga… Isla tidak pernah menyangka jika ternyata hidup Tuan Sergio sangat menyedihkan." Ucapnya dengan hati yang berdenyut nyeri.

Merald hanya tersenyum tipis. Sergio jarang mengizinkan Merald untuk menceritakan semua ini pada orang asing yang baru dikenalnya kurang dari satu hari. Tetapi sepertinya, Isla pengecualian di sini.

"Sekarang saya tahu mengapa Tuan Sergio takut terhadap wanita paruh baya…" kata Isla.

Merald menggeleng pelan mendengar ucapan gadis bermanik amber di depannya. "Apa yang saya ceritakan hanya alasan tentang Sergio takut terhadap hujan. Tentang Sergio yang takut dengan wanita paruh baya, itu dikarenakan Sergio pernah dilecehkan oleh Bibinya sendiri. Sergio bilang, kejadiannya sangat mengerikan. Dan dia melihat semuanya dengan jelas melalui pantulan cermin yang ada. Bahkan, hingga detik ini… Sergio masih sering memimpikan hal itu." Kata Merald, membuat Isla tercekat.

"Oh My God…" Isla benar-benar tidak mampu berkata-kata lagi. Gadis itu mendadak kehilangan suaranya.

Gadis itu merasa seolah ditimpa sebuah beton yang membuatnya tak bisa melakukan apapun selain diam dengan wajah terkejutnya. Isla tidak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya yang ada di posisi Sergio. Pastinya, Isla tidak akan kuat. Mungkin, dia akan memilih untuk bunuh diri.

Ditinggal oleh orang tuanya, dilecehkan, mendapat perlakuan yang cukup kasar, dan dikurung hingga nyaris mati kedinginan. Pasti itu sangat sulit untuk diterima oleh orang dewasa sekalipun.

"Saat itu usia Sergio masih muda, sekitar lima belas tahun." Sahut Merald, membuat Isla semakin terkejut dibuatnya.

"Pasti berat sekali… pantas Tuan Sergio tidak mampu menceritakannya sendiri." gumam Isla.

Merald tersenyum tipis. Dia menepuk pundak Isla, kemudian berkata. "Kau boleh merasa simpati… tetapi, kau tidak boleh menatap Sergio dengan tatapan mata kasihan. Dia tidak suka itu. Kau juga tidak boleh menganggapnya menyedihkan atau lemah. Sergio mati-matian kuat selama ini. Jangan kau patahkan usahanya." Ucap Merald.

Isla terdiam selama beberapa saat. Sulit pasti, tetapi dia harus melakukannya. "Saya akan mencobanya. Lagipula, saya hanya tiga bulan di sini… mungkin, saya bisa untuk tidak simpati kepadanya."