Sebagai orang yang terlalu sering gagal melangkah ke jenjang lebih serius dengan pasangan nya, Irham jadi punya ketakutan tersendiri saat mengajak Citra menikah. Ia takut ditolak dan belum siap kalau setelah ini hubungan nya dengan Citra tidak baik-baik saja. Pembicaraan ini sensitif. Sering kalai setelah mengajak pasangan nya menikah, masalah bertubi-tubi datang nyrempet ke hubungan mereka.
Umurnya sudah 30, Irham berpikir bahwa ini bukan saat nya buat dirinya untuk terus main-main. Sudah dari lama bahkan saat dirinya masih di Jerman, Ia sudah memimpikan segara punya keluarga kecil saat balik ke Indonesia. Ia sudah mempersiapkan jiwa dan mental, berani menghadapi resiko dan yakin akn bertanggung jawab terhadap keluarga kecilnya nanti. Umurnya semakin tua namun Ia belum mencapai salah satu dari 'goal' nya.
Citra menatap lekat ke arah mata Irham, mencari sesuatu yang Ia sendiri tak tahu. Mungkin itu keseriusan, kesiapan atau entah apa itu. Namun, Citra bisa melihat tidak ada sedikit pun keraguan di mata lelaki di itu.
"Mau." Sahut Citra singkat namun gantung, "Tapi bolehkan kalau kita pacaran agak lebih lama?" sambungnya.
Irham meneguk ludahnya susah payah, Ia tidak ditolak kan? Tapi jelas itu bukan respon 100% setuju dengan ajakan nya. Irham melepas tautan tangan nya pada jemari Citra.
"Aku ngajak kamu menikah loh Cit, kok kamu malah ngajak aku pacaran lagi?" tanya Irham dengan nada tidak santai. Ia takut dengan kenyataan kalau mungkin Ia tidak bisa menikah dengan kekasih nya saat ini. Mengusap wajahnya sedikit frustasi.
"No no. . ." sela Citra cepat, "Maksud Citra itu kita tuh lebih saling mengenal satu sama lain, kita baru pacaran sekitar 2 bulanan kan? Dan Citra belum berpikir untuk menikah saat ini dengan umur pacaran kita baru segitu."
"Seberapa lama?" tanya Irham datar, Ia tidak lagi bersemangat saat ini. Ketakutan nya pergi dan terganti akan kekecewaan. Bukan jawaban begitu yang Ia mau, tapi Ia tidak akan memaksa.
"6 bulan mungkin?!"
"Terus apa?"
Mendengar nada suara Irham yang sudah tidak enak Citra jadi ragu-ragu menjawabnya. Sepertinya sang kekasih sedang marah. "Ya kita bisa pikirin lagi kedepan nya mau apa Kak, mungkin bisa cicil dengan tunangan."
Citra bukan nya apa, siapapun dia yang akan jadi pendamping hidup nya nanti. Yang Citra butuhkan saat ini adalah sebuah keyakinan. Ia mau menikah dengan orang Ia yakini bisa melewati segala tingkah polah yang ada dalam rumah tangga mereka nanti, menjaga nya dengan baik, menerima kekurangan dan kelebihan nya dengan lapang dada.
Irham dari segala aspek sudah meyakinkan namun untuk Citra, Ia butuh lebih lagi. Ia mau tau semua hal tentang lelaki gondrong itu. Hingga semua hal itu nanti menjadi sebuah hal biasa untuknya, bisa memahami pasangan nya dengan baik.
Buru-buru nggak baik kan?!
Irham meneguk minuman boba nya dan menganggukkan kepala paham, "OK kalau gitu. Aku nggak mau maksa. Kita jalani aja dulu yang sekarang."
Dengan takut-takut Citra meraih tangan kanan Irham yang bebas dan menggenggam nya, "Kakak jangan marah."
"Nggak kok. Mungkin aku Cuma nggak siap ditolak aja kok." Jawab Irham jujur. Citra mengulum bibirnya canggung. Rasanya ini bukan pertengkaran pertama mereka namun topik kali ini sangat serius agaknya jadi agak gimana gitu.
"Maaf." Kata Citra penuh sesal namun tetap kekeh bahwa Ia tidak akan merubah keputusan nya, "Citra tuh mau kita pelan-pelan aja jalani nya, jangan terburu-buru nanti jadinya malah di luar ekpetasi."
"OK. We'll see then Citra."
[***]
Irham pulang ke rumah nya tepat saat jam makan malam berlangsung, ada kedua orangtua nya disana dan juga para saudara lelaki nya memenuhi ruang makan. Ia butuh suntikan vitamin dari keluarga nya untuk membuatnya tidak loyo saat mendapati berita tak enak tadi.
"Yang ulang tahun lesu amat, kayak kagak dapat gaji lembur aja." Tegur Jack saat melihat Irham menghampiri mereka semua dengan wajah lemas tidak bersemangat. Semua pasang mata yang ada di meja makan tersebut memusatkan pandangan nya pada Irham, mencari kebenaran dan latar belakang masalah dari hal tersebut.
Tanpa menggubris perkataan Jack, Irham mendekati sang Ibu dan memeluknya saat berlutut. Ia meletakkan kepalanya dalam pangkuan sang Ibu dan memejamkan mata. Ini yang Ia butuh saat ini. Pelukan hangat dari wanita yang telah membesarkan nya itu.
Cindy mengusap rambut Irham sayang, "Kenapa toh mas?" tanya Cindy prihatin. Ia mencoba bertanya pada orang-orang di meja makan, namun jawaban nya hanya gelengan kepala.
"Capek kerja ya Mas?" tanya Ikram pada sang anak sulung nya, Ia menepuk bahu Irham pelan, "Mau liburan? Abi bayarin."
Cindy mendelikkan matanya pada sang suami, ini jelas-jelas bukan karena pekerjaan. Cindy hafal sangat dengan tingkah anaknya itu. Lelah bekerja tidak akan membuat anak sulungnya itu seperti orang yang kehilangan roh, Ia akan menghabiskan waktu seharian untuk hibernasi di kamarnya dan makan junk food sepuas hati. Ikram memang kurang peka.
"Jangan-jangan . . ." celetukan Irhas tiba-tiba mengundang perhatian dari seluruh pasang mata disitu, Irhas membisikkan sesuatu pada Ares yang duduk di sisinya. Ia tidak langsung berkata gambling, mulut bocor Irhas tidak boleh berfungsi saat ini, bisa di keroyok massa dirinya kalau berbicara sembarangan saat situasi sedang serius begini.
Ares menganggukkan kepala nya tanda setuju, bisa jadi apa yang Irhas hipotesiskan ada benar nya. Ares memberikan kode kata kunci pada Cindy dengan menggerakkan mulut tanpa suara, "C I T R A."
Cindy mengangguk paham lalu kembali berbicara dengan sang anak yang masih betah memeluk nya tanpa membuka mulut sedikit pun. "Lagi berantem sama Citra ya Mas?" tanya Cindy pelan.
"Nggak kok." Sahut Irham kemudian, Ia melepaskan kaitan nya pada sang Ibu lalu mencium pipi nya gemas, "Cuma kayaknya Mas nggak jadi nikah tahun ini Bu."
"Kenapa lagi?" tanya sang ayah heran. "Halamaak, tak kawen-kawen anak aku ni. Dosa apa dah aku buat nih." Gerutu Ikram dengan aksen Melayu nya. "Kalau dia tak nak kawen, apa kata Abi jodohkan engkau dengan anak kawan Abi?"
"Haaisssh !" desis Cindy sebal lalu mengetok punggung tangan Ikram dengan sendok makan, "Abi jangan sembarangan gitu ih. Dengarin dulu Mas bilang apa."
"Katanya Mas terlalu buru-buru. Dia mau pacaran dulu." Sahut Irham menjelaskan, Ia menghempaskan bokong nya di kursi bersisian dengan Irsyad, yang sedari tadi tidak berekpresi apapun. "Ya Mas kan mau nya, niat baik gini jangan di tunda-tunda, ya tapi anak nya nggak mau, kan nggak mungkin Mas paksa-paksa Bu."
"Mas sayang sama Citra?" tanya Cindy pada anak nya yang sedang gegana itu, gelisah galau merana.
"Iya."
"Bisakan Mas bertahan dan terus yakinin Citra supaya mau menikah dengan Mas?" tanya Cindy dengan senyum nya. Ia yakin si anak sulung nya itu kuat mental, bukan nya mental tempe.
"Iya Bu, dukung Mas ya Bu, Bi !"
"Pasti toh Mas." sahut Cindy tersenyum puas. "Ayo makan lagi semua nya, case closed !"
Benar kata Cindy, yang harus Irham lakukan sekarang adalah bertahan dan meyakinkan sang kekasih. Bisa, Ia yakin mereka bisa menikah. Ya nggak tahun ini, mungkin tahun depan. Ia tidak harus buru-buru kan? Umurnya semakin banyak juga tidak masalah asal yang menjadi pengantin saat hari pernikahan nya nanti adalah Citra Wyonna, dokter gigi cantik itu.