Secangkir latte hangat telah disajikan di hadapan Stefan oleh pelayan cafe disana. Namun kepalanya masih menunduk beralaskan kedua tangannya yang di lipat.
"Tuan?" sapa pelayan cafe sambil mengetuk mejanya.
"Oh, maaf," Stefan tersadar dan melihat pesanan lattenya sudah tampak jelas di depan mata.
"Terima kasih," ucap Stefan setelah itu.
"Sama-sama, Tuan Maroni," balas pelayan ramah tamah, lalu pergi.
Stefan menghela nafasnya dalam-dalam seraya menghirup latte yang lembut nan hangat itu.
"Tidak, tidak mungkin,"
"Mereka pasti hanya berteman saja," gumam Stefan sambil merenung.
Namun mengingat cara Carissa menggandeng erat tangan Peter, ia menganggap mereka sudah saling dekat sejak lama. Entah mengapa Stefan selalu terbayang-bayang akan hal itu. Apa Carissa memang berniat ingin membalas dendam padanya atas apa yang ia lakukan padanya? Atau memang selama ini Carissa hanya menganggapnya sebagai Ayah? Tapi, apa arti ciuman yang ia berikan itu?
Bayang-bayang semu itu sekejap terhalangi oleh dering handphone di saku celananya. Terkesan mengganggu, namun setidaknya berhasil membuat Stefan tersadar.
"Sial, siapa yang menelpon disaat-saat seperti ini?" gerutunya sembari mengambil handphone dari sakunya.
Sebuah nomor tak dikenal, berkali-kali menghubunginya meski Stefan juga berkali-kali mengabaikannya.
"Siapa ini?! Tolong jangan ganggu saya!" bentak Stefan saat menerima teleponnya.
"Mo...mohon maaf, Tuan Maroni, saya dari tetangga Nyonya Stella, hanya ingin memberitahu bahwa Nyonya Stella masuk rumah sakit semalam," jawab seorang wanita di telepon itu.
"Rumah sakit? Ada apa dengannya?" tanya Stefan.
"Dia dianiaya suaminya, beruntung masih bisa selamat, karena Nyonya Stella berlari menuju rumah saya,"
"Rumah sakit mana?" tanya Stefan geram.
Tanpa ragu lagi, Stefan segera menuju ke rumah sakit City Clinical, yang merupakan rumah sakit terbesar di kota itu. Dan menuju ke ruangan Autumn seperti yang di bicarakan tetangga Stella via telepon, saat dalam perjalanan.
"Masuklah, Tuan Maroni," sambut Paula, tetangga Stella. Saat Stefan sudah berada di depan pintu ruangan pasien.
"Nyonya Stella menyuruh saya untuk menghubungi Tuan lewat kartu nama yang dia berikan," lanjutnya sambil menuntun Stefan ke dalam ruangan.
Dan terlihatlah Stella yang berbaring lemah disana dengan kondisi babak belur di bagian wajah serta lengannya.
"Ya Tuhan," seketika kedua mata Stefan terpejam karena tak sanggup melihat kondisi Stella.
Kedua tangannya mengepal sempurna.
"Tapi, kata dokter, kondisinya sudah membaik. Hanya memar dan lebamnya saja yang..."
"Dimana Dean sekarang?" potong Stefan.
"Masih ada dirumahnya, Tuan," jawab Paula.
"Di rumah? Jadi diantara kalian tidak ada yang melapor ke polisi? Bangsat!" gertak Stefan lalu pergi keluar ruangan.
"Tuan Maroni! Tunggu!" Paula pun mengikutinya dari belakang.
Sementara Stefan terus melangkah cepat seolah tak akan berhenti.
"Tuan Maroni! Saya mohon dengarkan penjelasan saya dulu!" pekik Paula sampai ia merasa kelelahan karena mengejarnya
Saat dalam perjalanan menuju kediaman Stella, Stefan menghubungi Carlos dan menugaskannya untuk menjaga ruangan Stella dari orang asing yang masuk selain Paula.
Sesampai disana, tanpa basa-basi lagi, Stefan langsung menghajar Dean habis-habisan di dalam rumahnya. Pukulan bertubi tubi pada bagian wajahnya itu seolah takkan berhenti, sampai darah segar bercucuran dari mulut dan juga hidungnya.
Dean sempat melawan, namun Stefan berusaha menahan semua niatannya itu dan memukulnya kembali.
"Ini untuk Carissa!" Satu pukulan keras mendarat pada bagian tengah wajah Dean hingga hidungnya patah.
"Ini untuk Stella!" Satu pukulan lagi pada bagian rahang yang berhasil membuat Dean tumbang dan tak sadarkan diri.
Stefan melihat jelas tubuh lemah terkapar di hadapannya, dengan wajah babak belur, sama seperti yang dialami oleh Stella di rumah sakit.
"Sekarang impas. Aku harap kau mati hari ini Dean, karena tidak akan ada yang menolongmu sekarang." ungkap Stefan lalu pergi.
Saat menggenggam kemudinya, tak sengaja Stefan melihat kedua punggung tangannya terluka akibat pukulan keras yang ia lakukan pada Dean. Bahkan ia hampir tak merasakan pedihnya luka itu, seolah mati rasa.
Tak hanya itu, wajah keji yang terpapar disana pun masih jelas terlihat. Seolah ia belum juga puas melakukannya. Intinya, Stefan menginginkan seseorang seperti Dean itu lebih baik mati saja, daripada harus hidup untuk menyiksa orang-orang disekitarnya.
Sekilas bayangan masa lalunya pun terbayangkan. Saat Stefan masih di usia remaja dahulu, ia sering mendapatkan perlakuan kasar oleh teman-teman sekelasnya. Hanya karena dia pendiam, dan juga di sukai oleh beberapa teman perempuannya dalam satu kelas karena kepandaiannya dalam mata pelajaran apapun.
Hal itu membuat semua para murid laki-laki iri padanya, sampai akhirnya Stefan menjadi bulan-bulanan di sekolahnya, sebagai objek bully teman-teman sekelasnya. Namun, ia tak melawan sama sekali. Meski pukulan, tendangan serta ejekan khas dari mereka terus menyerangnya.
Sampai janji dalam dirinya pun muncul, "Jika aku sudah memiliki kuasa, mereka semua yang jahat dan korup akan berurusan denganku."
Stefan mencoba mengatur nafasnya dan melupakan semua yang baru saja terjadi. Ia menepikan sejenak mobilnya sebelum kembali ke rumah sakit. Ia juga masih berpikir, bagaimana caranya menyembunyikan luka di tangannya itu agar semua orang tidak berprasangka buruk padanya.
***
"Carissa?" sapa Peter berbisik saat pelajaran sekolah berlangsung.
"Ya, Peter? Ada apa?"
"Apa maksudnya itu?" tanya Peter.
"Maksud apa?"
"Kau tadi pagi menggandeng tanganku," jawab Peter gugup.
"Kau kan temanku, Peter, apa kau tidak menyukainya? Kalau begitu aku tidak akan menggandengmu lagi," ujar Carissa polos.
"Tidak, bukan itu maksudku. Tapi..., aku...,"
Dahi Carissa mengernyit saat menunggu penjelasan yang jelas dari Peter yang saat ini tengah gelagapan.
"Ah, lupakan saja," lanjut Peter yang kembali fokus ke dalam pelajarannya.
"Peter? Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Carissa heran.
"Entahlah, Carissa. Aku rasa, ini pertama kalinya terjadi padaku. Aku tidak pernah seleluasa ini sebelumnya," jawab Peter.
"Mungkin karena kau terlalu banyak menyendiri, Peter. Percayalah, disekitar kita masih ada orang baik kok," Carissa tersenyum padanya.
"Ehm, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"
"Boleh, apa saja,"
"Apa kau pernah suka dengan seseorang?"
Pertanyaan Peter berhasil membuat Carissa tersipu malu. Sementara Peter tersenyum simpul saat melihat ekpresi wajahnya.
"Pernah," singkat Carissa yang masih memaparkan senyumnya.
"Oh ya? Siapa dia?" tanya Peter penasaran.
"Ayahku," jawab Carissa sambil menutup mulut.
"Hah? Ayahmu?"
"Ya, dia sangat perhatian padaku, dia juga sangat menyayangiku meski aku bukan anak kandungnya. Tapi, setelah aku melihat dia mencium bibir Ibuku di depanku...," wajah Carissa yang tadinya berseri-seri kini berubah menjadi murung.
"Kau cemburu, ya?"
Carissa menggeleng dan menutup wajahnya.
"Setahuku, anak perempuan memang selalu dekat dengan Ayahnya. Jadi, aku rasa itu wajar lah," jelas Peter.
"Tapi, apa ada orang lain selain Ayahmu yang kau suka?" lanjutnya.
"Tidak. Hanya Ayahku. Karena dia adalah sosok pria terbaik yang tidak pernah aku temui sebelumnya," jawab Carissa.
Peter pun langsung menunduk setelah mendengarnya. Carissa heran melihatnya yang tampak sedih karena jawabannya itu.
"Peter? Kau kenapa?"
"Tidak, lupakan saja," jawab Peter datar.