Stefan segera bergegas keluar dari kantor dan menuju ke Valentian International School dengan mobilnya, setelah menerima telepon dari pihak sekolah mengenai apa yang terjadi pada Carissa.
Dengan kecepatan penuh mobilnya melaju disertai perasaan cemas bercampur amarah. Hingga tak sampai 30 Menit Stefan akhirnya sampai disana.
Derap langkah kaki dari sepatu kulit mahalnya begitu cepat pada saat menuju ke ruang UKS. Di bukalah pintu ruang UKS itu dengan kasar oleh Stefan, terlihatlah Carissa disana yang sedang diobati oleh dua orang guru wanita.
"Carissa?! Ya Tuhan, Apa yang terjadi? Katakan padaku, siapa yang membuatmu seperti ini?!" ujar Stefan penuh emosi.
"Maaf sebelumnya, Tuan Maroni, segala masalah sudah kami atasi dengan baik," salah satu guru itu memberitahunya.
"Tapi siapa yang membuatnya terluka seperti ini?!" bentak Stefan pada mereka berdua, hingga ketakutan.
"Ayah, sudahlah. Seperti yang mereka bilang, semua sudah teratasi. Lagipula, ini semua salahku. Seharusnya aku tidak sebodoh itu," jelas Carissa menyela.
"Tapi siapa yang melukaimu? Katakan padaku,"
Beberapa saat kemudian, bapak kepala sekolah pun memasuki ruangan itu.
"Tuan Maroni? Bisa ke ruangan saya sekarang?"
"Bagaimana dengan anak saya?!"
"Mohon tenang dahulu, Tuan Maroni, kami bisa menjelaskan semuanya di ruangan saya," ucap Kepala Sekolah mencoba meredam amarahnya.
Setelah sampai di ruangan kepala sekolah, disana sudah ada dua murid sekelas Carissa, yaitu Peter dan Bryan si tambun itu. Kepala mereka menunduk ketika Stefan dan Kepala Sekolah memasuki ruangan itu. Stefan melirik Bryan dengan curiga, karena sumpalan tisu di kedua lubang hidungnya yang tengah membengkak.
"Jadi begini, Tuan Maroni-"
"Siapa yang melukai anak saya?!" potong Stefan tegas hingga membuat Bapak Kepala Sekolah mati kutu dibuatnya.
"Tunggu, biar aku tebak," Stefan pun mendekati Bryan. Tubuh Bryan gemetar hebat.
Stefan memandang wajahnya yang tertunduk dari bawah.
"Mengapa kau terlihat sangat ketakutan? Hm?" tanya Stefan pada Bryan.
"Mengapa hidungmu sampai membengkak seperti itu?" lanjut Stefan.
Tidak satu pun dari kedua anak itu yang menjawab pertanyaannya. Namun Stefan sudah tahu, siapa yang bersalah diantara mereka.
"Bapak Merlyn?"
"I...iya, Tuan Maroni?" balas Kepala Sekolah gugup.
"Tolong hubungi kedua orang tua anak ini sekarang." perintah Stefan sembari menunjuk ke arah Bryan.
"Baik, Tuan Maroni," ia pun bergegas menelpon kedua orang tua Bryan.
"Hei, siapa namamu?!" tegas Stefan pada Peter.
"Peter, Om," jawabnya lirih.
"Apa kau pengikut dari anak sialan ini?!"
"Bukan, Om,"
"Jujur!" tubuh Peter pun terjingkat karena gertakan Stefan.
"Bu...bukan, Om...saya bersumpah...demi Tuhan," ujar Peter ketakutan.
"Mengapa Peter berada disini juga, pak? Apa kesalahannya?" tanya Stefan pada Kepala Sekolah.
"Dia lah yang memukul Bryan, Tuan Maroni," jawabnya.
Stefan masih bingung akan apa yang terjadu sebenarnya. Namun ia tak mempedulikannya, yang pasti ia ingin Bryan segera dikeluarkan dari sekolah itu.
Kedua orang tua Bryan terlihat sedih setelah mengetahui anaknya telah di keluarkan dari sekolah berstandar internasional itu. Sementara Stefan sangat puas melihat mereka yang melangkah keluar dari gerbang sekolah, dan takkan bisa kembali lagi untuk selamanya.
"Carissa, aku minta maaf sudah membuatmu terluka seperti ini," ungkap Peter menyesal saat menyempatkan dirinya ke ruang UKS untuk menjenguk Carissa.
"Peter, ini bukan salahmu. Aku hanya menunjukkan siapa dirimu pada mereka semua. Agar mereka tahu bahwa kau sebenarnya teman yang baik," balas Carissa.
"Tapi tenang, Bryan sudah dikeluarkan dari sekolah ini. Tidak ada yang akan mengganggu kita lagi di sekolah,"
"Hah? Bryan dikeluarkan?"
Peter mengangguk.
"Ya sudah, aku kembali ke kelas ya, jaga dirimu baik-baik, Carissa,"
"Ya. Kau juga, Peter," ujar Carissa dengan senyum.
***
"Apa kau yakin? Tidak periksakan luka itu ke rumah sakit?" tanya Stefan pada Carissa saat perjalanan pulang dari sekolah.
"Tidak usah, Ayah. Lagipula ini hanya luka goresan saja," jawab Carissa lemah karena tiba-tiba merasa pusing.
Stefan sadar bahwa sedaritadi Carissa tidak memandang wajahnya sama sekali. Ia hanya melihat keluar jendela mobil.
"Sayang, ada apa sebenarnya? Aku merasa dari kemarin kau terus mengabaikanku,"
Carissa hanya menghela nafas, tak menjawabnya. Akhirnya Stefan kembali membahas soal ciumannya dengan Maya kemarin.
"Aku tahu. Kau cemburu saat aku menciumnya, kan?"
Air mata Carissa pun menetes, namun ia tak menunjukkannya pada Stefan. Ia tetap menghadap ke arah jendela mobil.
"Jika memang karena itu yang membuat sikapmu berubah padaku, aku mohon maafkan aku. Aku hanya tak ingin bertengkar dengannya lagi. Seperti yang kau katakan, jangan ada perpisahan lagi," jelas Stefan.
Perasaan bimbang dan dilema yang Carissa alami ini membuatnya semakin sedih. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk melampiaskan kesedihannya itu. Namun mengingat Peter yang sangat peduli padanya, rasa sedih itu pun terobati untuk sementara waktu. Pikir Carissa, setidaknya masih ada yang peduli padanya. Meski Stefan, Ayah tirinya yang ia cintai itu telah membuat hatinya tergores.
Maya sendiri pun juga merasakan perbedaan dari sikap Carissa. Menurutnya, akhir-akhir ini Carissa semakin mandiri dan tidak pernah lagi bermanja-manja dengan Stefan.
"Aku penasaran, apa yang kau lakukan pada Carissa sampai dia menjadi seperti itu?" tanya Maya pada Stefan, saat malam menjelang tidur di ranjang mereka.
"Apa mungkin kau pernah menegaskannya akan sesuatu? Atau memarahinya mungkin?" lanjut Maya penasaran.
"Aku tidak pernah memarahinya. Bahkan aku juga tidak pernah menekankan sesuatu padanya," jawab Stefan.
"Serius? Lalu karena apa ya kira-kira?"
"Mungkin dia sudah merasa cukup dewasa dan mampu untuk melakukan apapun sendirian," jawab Stefan yang berusaha menutupi kenyataan.
"Apa mungkin, dia cemburu saat kita berciuman di depannya kemarin ya?" ujar Maya sambil tertawa.
Sementara Stefan hanya diam merenung. Sebab Carissa memang benar-benar cemburu padanya.
***
Hari-hari Stefan pun perlahan menjadi kelabu tanpa sapaan manja dari anak kesayangannya. Carissa semakin enggan untuk berbicara bahkan memandangnya sekalipun. Stefan juga merindukan saat-saat dimana Carissa memaksanya untuk membeli bubur ayam favoritnya. Sekilas hal itu memberikannya ide bagus pada saat mengajaknya berbelanja di supermarket.
"Carissa?"
"Ya, Ayah?" balas Carissa seraya mengambil bahan makanan yang tertulis di kertas kecil yang ia genggam.
"Pesanan Ibu apa sudah selesai semua?"
"Hanya keju cheddar yang belum, Ayah,"
Kemudian Stefan mencoba mengambil hati Carissa dengan mendekatinya.
"Bagaimana kalau setelah ini kita makan bubur ayam bersama? Setuju?"
Dahi Carissa mengernyit sempurna. Seolah heran melihat Ayahnya.
"Bukannya Ayah tidak suka bubur ayam?"
"Mungkin aku akan mencobanya, karena jika memang tidak enak, kau tidak akan suka juga, kan?" ujar Stefan tersenyum simpul. Sementara Carissa masih heran padanya.
"Mungkin besok saja ya Ayah, soalnya aku ada PR yang harus aku kerjakan,"
"Aku akan membantumu mengerjakannya, ok?" ucap Stefan antusias.
"Tidak perlu, Ayah, aku bisa mengerjakannya sendiri. Lebih baik Ayah temani Ibu saja,"
Stefan merasa tersindir dengan perkataannya itu. Rasa bersalah pun kembali menyelimuti benaknya. Seolah momen mesranya bersama Maya itu adalah suatu perubahan besar bagi hubungan mereka.
Terlebih lagi, di suatu ketika Stefan mengantarnya ke sekolah. Setelah Carissa mencium punggung tangan Stefan, Peter datang menghampirinya.
"Carissa!"
Sapa Peter antusias, namun ia merasa sungkan setelah mengetahui bahwa Stefan masih ada disana.
"Hei, Peter," sapa Carissa kembali, lalu menggandeng tangan Peter.
Stefan tercengang saat melihat peristiwa baru itu. Ia melihat Carissa yang tampak sangat akrab dengan Peter. Bahkan senyuman tulus yang selalu Carissa berikan padanya itu, kini beralih pada Peter.
"Ayo kita masuk ke kelas," ajak Carissa seraya menarik tangan Peter yang masih terlihat gugup dengan Stefan disana.
Seiring mereka berdua berlalu memasuki sekolah, Stefan masih tercengang melihat tingkah laku Carissa yang seolah membalas dendam padanya.