Menatap kagum bangunan besar nan megah yang saat ini ada didepannya. Cahaya, Wanita itu beberapa kali mencocokan alamat yang saat ini ada dalam genggamannya dengan alamat rumah yang saat ini ada didepannya.
"Tidak salah, ini benar rumahnya," Gumamnya setelah beberapa kali mencocokan alamatnya.
Dengan sedikit keraguan, Cahaya mulai menekan bel yang ada disamping pagar rumah mewah itu. Butuh waktu cukup lama untuknya menunggu sampai akhirnya seorang satpam yang berada didalam pagar itu menghampirinya.
"Kamu siapa?" Tanya satpam itu.
"Maaf, apa benar ini rumah nyonya Lidya?"
"Benar. Kamu siapa? Ada keperluan apa mencari nyonya Lidya? Nyonya Lidya tidak bisa ditemui sembarang orang tanpa membuat janji terlebih dulu."
Belum sempat Cahaya mengeluarkan suaranya lagi, sebuah mobil mewah datang sambil menekan klaksonnya. Meminta untuk dibukakan pagar. Dengan cepat satpam tadi langsung membukakan pagarnya. Samar-samar cahaya dapat melihat pria yang ada didalam mobil itu. Pria yang selama ini dia kenal sebagai atasannya.
Begitu mobil tadi masuk, satpam tadi hendak menutup kembali pagarnya. Namun dengan cepat Cahaya menahannya "Maaf, tapi bisakah anda mengatakan pada nyonya Lidya jika saya disini? Nama saya Cahaya, kemarin nyonya Lidya memberikan alamatnya pada saya dan meminta saya datang kesini."
Setelah cukup lama berfikir akhirnya satpam tadi mengiyakan permintaan Cahaya. Dia mencoba menghubungi nomor rumah melalui post penjaga dengan tidak mengizinkan Cahaya masuk terlebih dulu.
"Benar anda nona Cahaya? Bisa tunjukkan ktp nya?" Tanya satpam tadi setelah mendapat arahan dari salah satu pelayan rumah untuk membawa Cahaya masuk.
"Ini pak."
"Baiklah, silahkan ikut saya."
****
Nyonya Monika dan Rendy menatap jengah pria paruh baya yang saat ini terbaring lemah diatas ranjang pesakitan. Mereka berdua sengaja datang kesini sejak pagi untuk menemui Cahaya yang sedang menjaga ayahnya dirumah sakit tapi sialnya saat mereka datang Cahaya tidak ada diempat. Ayahnya bilang Cahaya hanya izin untuk pergi ke suatu tempat.
"Kamu tidak malu terus-terusan menjadi beban Cahaya?" Tanya nyonya Monika pada suaminya yang tak lain adalah ayah Cahaya.
"Kamu selalu bilang tidak tega melihat Cahaya bekerja banting tulang demi memenuhi kebutuhanmu. Tapi sekarang kamu sendiri yang menambah bebannya dengan masuk rumah sakit. Kamu pikir biaya rumah sakit tidak mahal?"
Kalimat-kalimat jahat itu keluar dengan lancarnya dari mulut nyonya Monika. Wanita paruh baya itu bahkan tidak segan mengatakan semua kalimat jahatnya itu pada suaminya.
"Kalau aku bisa memilih, aku juga tidak ingin membebani Cahaya seperti ini."
"Yasudah, kalau kamu tidak ingin membebaninya lagi jadi lebih baik kamu pulang saja. Toh sekarang kamu sudah sembuh kan?"
Tuan Wijaya diam, sebenarnya dia masih belum bisa dikatakan sembuh. Bahkan dia masih harus mendapatkan perawatan setelah menjalani operasi kemarin. Tapi pria paruh baya itu juga tidak ingin menambah beban Cahaya. "Baiklah, aku akan pulang saja. Bisakah kamu mengurus kepulanganku?"
Dengan malas nyonya Monika bangkit dari duduknya. Wanita paruh baya itu langsung keluar dari kamar inap suaminya bersama Rendy guna menanyakan apakah suaminya itu bisa pulang sekarang atau tidak.
Sesampainya di receptionist, pihak receptionist mengatakan jika tuan Wijaya belum bisa dibawa pulang. Nyonya Monika menggunakan alasan keterbatasan biaya agar bisa membawa suaminya pulang. Namun hal yang mengejutkan pun terjadi, pihak receptionist mengatakan jika biaya operasi dan perawatan tuan Wijaya sudah dibayar lunas hingga kondisinya benar-benar pulih. Hal itu tentu saja membuat nyonya Monika dan Rendy terkejut. Mereka tidak menyangka Cahaya sudah membayar semua biaya yang bisa dipastikan sangat mahal itu.
"Ibu, Cahaya benar-benar menggunakan uang tabungannya untuk membayar biaya rumah sakit ayahnya. Bagaimana ini? Kita bisa dilaporkan ke polisi kalau tidak membayar hutang-hutang kita," Bisik Rendy.
Dalam hati nyonya Monika mengumpat. "Cahaya sialan! Tidak, aku tidak akan membiarkan kita di penjara."
"Maaf, suami saya benar-benar ingin pulang. Dia terus histeris meminta pulang. Bisakah dia dirawat jalan saja? Dan untuk biaya yang susah dibayar lunas hingga beberapa hari kedepan apa bisa dikembalikan?"
"Maaf, tapi prosedur rumah sakit tidak bisa melakukan itu."
Nyonya Monika mendesah kasar. Wanita itu tidak menyerah, dia berusaha untuk terus meminta agar suaminya dibawa pulang. Hingga kebetulan dokter yang menangani tuan Wijaya datang. Nyonya Monika mengatakan pada dokter itu akan bertanggung jawab penuh jika terjadi sesuatu dengan suaminya saat dibawa pulang nanti. Dengan beberapa pertimbangan akhirnya dokter tadi mengabulkan keinginannya.
"Anda harus menandatangani surat perjanjian terlebih dahulu, jika terjadi sesuatu dengan pasien maka rumah sakit tidak akan bertanggung jawab."
"Baik dok, saya setuju."
Pada akhirnya tuan Wijaya benar-benar dibawa pulang dan nyonya Monika pun mendapat uang yang dikembalikan dari biaya rumah sakit yang seharusnya untuk biaya perawatan tuan Wijaya selama beberapa hari kedepan. Pihak rumah sakit hanya bisa mengembalikan uang itu sebesar 50%.
****
"Silahkan diminum."
Cahaya mengangguk saat nyonya Lidya memintanya untuk meminum teh yang baru saja dibuatkan untuknya. Dengan sopan nya Cahaya meneguk teh itu dengan pelan. "Terima kasih atas minumannya," Ucap Cahaya setelahnya.
Nyonya Lidya mengangguk. "Jadi bisa kita mulai obrolannya?" Tanyanya yang langsung dibalas anggukan oleh Cahaya.
"Langsung pada intinya saja, tujuanku memintamu datang kesini adalah aku ingin memberimu penawaran. Kemarin aku sudah membantumu bahkan aku juga sudah membayar biaya rumah sakit ayahmu sampai dia pulih. Jadi sekarang giliran kamu mengganti semua yang sudah aku berikan padamu."
"Aku tidak meminta kamu menggantinya dengan uang, aku hanya ingin memintamu menggantinya dengan jasamu."
"Maksud nyonya? Nyonya ingin saya bekerja disini?" Tanya Cahaya. Dari kalimat yang nyonya Lidya ucapkan, Cahaya menyimpulkan jika wanita paruh baya itu memintanya untuk bekerja disini.
"Bukan. Jadi begini, aku mempunyai seorang anak laki-laki. Kamu pasti sudah kenal karena dia pemilik perusahaan tempatmu bekerja. Dia dan istrinya sudah lama menikah tapi sampai sekarang mereka tidak juga mempunyai anak. Sebagai orang tua, aku juga ingin menimang seorang cucu apalagi sekarang aku sudah ditinggal suamiku untuk selama-lamanya. Aku butuh hiburan dan suasana keramaian. Maka dari itu aku ingin memintamu menikah dengan anakku."
Hampir saja Cahaya berteriak kaget mendengar apa yang baru saja nyonya Lidya katakan. "M-maksud nyonya? Maaf, bukankah nyonya bilang anak nyonya sudah menikah? Lagi pula kenapa nyonya meminta saya menikah dengannya? Saya hanya seorang office girl sedangkan anak nyonya pemilik perusahaan tempat saya bekerja."
"Seperti yang aku katakan tadi, mereka sudah menikah tapi tidak bisa mempunyai anak. Istri dari anakku tidak bisa mempunyai anak. Aku tidak ingin mengadopsi anak karena walau bagaimanapun anak itu nanti akan menjadi ahli waris dari semua kekayaan anakku. Maka dari itu aku memintamu untuk menikah dengan anakku. Hanya sampai kamu hamil dan melahirkan, setelah itu kalian akan bercerai."