webnovel

Let Go (Omegaverse)

Bercerita tentang bagaimana para tokoh Let Go meraih kebahagiaan mereka. Baik itu lewat pencarian yang panjang, menemukan dengan mudahnya, mempertahankan yang sudah ada, maupun dengan melepaskan yang selama ini berada di genggamannya. . . Berlatar belakang "Omegaverse", dimana selain laki-laki dan perempuan ada gender kedua yaitu Alpha, Beta dan Omega. Karena berlatar omegaverse, jadi dalam cerita ini, baik laki-laki maupun perempuan, dua-duanya bisa hamil. So, bagi yang merasa tidak nyaman dengan tema 'homoseksual' dan juga 'male preganancy', diharapkan untuk tidak membaca cerita ini. # LGBTQ+ # Male Pregnancy # Omegaverse # 17+

Leuchtend · LGBT+
Không đủ số lượng người đọc
48 Chs

The Idea of Getting Married

Setelah puas menangis dalam pelukan Raymond. Aku memutuskan untuk keluar kamar dan ikut menikmati makan malam berama anggota keluargaku dan juga kedua orang tua Raymond.

Ya, saat ini orang tua Raymond, Eugene Landyn dan juga Marianne Landyn sedang ikut makan malam bersama di kediaman Selim.

Kata Raymond, awalnya hanya dia yang akan berkunjung malam ini setelah mendapat telpon dari Mama. Namun, sialnya ketika Raymond keluar rumah, pasangan suami istri itu datang berkunjung dan setelah mengetahui Raymond akan berkunjung ke sini, mereka memutuskan untuk ikut juga. Sekalian pendekatan katanya.

Jujur saja, aku sebenarnya malu bertemu dengan Mr. dan Mrs. Landyn dengan kadaanku saat ini. Mata bengkak, hidung merah dan juga rambut yang sedikit berantakan karena di ikat asal. Tapi, Raymond meyakinkanku bahwa orang tuanya tidak akan mempermasalahkan penampilanku saat ini.

"Makan yang banyak Lennox, kamu terlihat kurus sekali di usia kandunganmu saat ini." Ujar Marianne.

"Kamu benar sekali besan, dia selalu menyisakan makanannya." Sambut Mama.

"Ah, maafkan aku. Ini semua karena anakku yang nakal ini." Ucap Marianne sambil memberikan cubitan kecil pada lengan Raymond. Sedangkan yang dicubit hanya bisa meringis kesakitan. Aku yang menyaksikan ini hanya bisa tersenyum kecil.

"Ah, menantuku manis sekali ternyata." Celetuk Eugene.

"Hahahaha." Papaku tertawa. "Jelas sekali, dia adalah omega kebanggaanku." Ucap papa dengan bangganya.

Ini pertama kali bagiku mendengar Papa membanggakanku di hadapan orang lain. Aku merasakan sedikit kehangatan megalir di dadaku. Tanpa kusadari, air mataku kini lolos turun dari pelupuk mataku. Cepat-cepat aku menghapus air mataku.

"Ah, mataku kemasukan debu." Ujarku asal.

Raymond yang duduk di sampingku menghentikan makannya dan melepaskan sendok dan garpu dari genggamannya. Dia langsung sigap memeriksa mataku yang sebenarnya tidak sedang kelilipan.

"Sini, biar aku lihat." Ujarnya.

"Aw, jangan mengumbar kemesraan. Hargai aku yang masih single disini." Celetuk Louise.

Mama yang mendengar celetukan Louise langsung mendelikkan matanya. Mendapat respon tidak menyenangkan dari Mama, Louise langsung mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil. Melihat interaksi mereka berdua yang lain hanya bisa tertawa.

Aku yang masih belum sepenuhnya berdamai dengan perasaanku hanya bisa tersenyum. Masih terlalu dini untuk tertawa lepas.

Makan malam hari ini terasa sangat meriah dan hangat. Penuh obrolan dan canda tawa. Tanpa disadari, relung di dalam hatiku yang selama ini kosong perlahan terisi kembali.

Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku dapat menikmati makan malam seperti ini. Mungkin sebelum surat hasil tes genderku keluar. Ya, sebelum kebenaran itu terkuak makan malamku selalu hangat.

"Ngomong-ngomong, kapan kalian akan menikah?" Tanya Eugene.

Aku yang mendengar pertanyaan Daddy Raymond hanya bisa terdiam. Kerongkonganku rasanya kering, nafsu makanku tiba-tiba hilang sepenuhnya. Aku kemudian meletakkan garpu dan sendokku kembali ke atas piring yang masih penuh dengan makan malamku.

Aku memundurkan kursiku dan kemudian berdiri. Mataku menatap setiap kepala yang sedang duduk mengelilingi meja makan. "Maafkan aku, sepertinya aku sudah kenyang, aku permisi dulu." Ujarku sambil membungkukkan badanku sedikit.

"Lenny."

Mama memanggilku dengan lembut, namun aku membalas panggilan itu dengan tersenyum dan kemudian pergi berlalu.

Sayup-sayup aku mendengar suara kursi yang bergesekan dengan lantai. Sepertinya ada yang sudah meninggalkan meja makan dan menyusulku. Hatiku tergelitik untuk mengecek siapa, tapi egoku masih lebih tinggi dari rasa penasaranku dan akhirnya mengurungkan niatku tadi.

"Lenny." Suara yang sudah sangat kukenal menyebut namaku sambil menggenggam pergelangan tanganku. Membuatku menghentikan langkahku.

Aku menoleh dan mendapati Raymond yang kini berdiri dan menggenggam tanganku.

"Makan malammu sudah selesai?" Tanyaku.

Dia menggeleng, "Belum, tapi biarkan aku mengantarmu ke kamar."

Aku tersenyum sambil melepaskan genggaman tangannya di pergelangan tanganku. "Tidak perlu, aku biasa sendiri." Tolakku dengan hati-hati.

Raymond yang mendapatkan penolakan tak langsung menyerah, kini dia merangkul tubuhku dengan lembut dan hati-hati. "Biarkan aku mengantarmu." Ucapnya tegas.

"Baiklah." Ujarku pasrah. Percuma saja menolak Raymond jika dia sudah bersikeras menginginkan sesuatu.

.

.

.

Raymond meletakkan ransel hitam yang dia bawa di atas meja yang berada tak jauh dari jendela kaca kamarku. Aku memperhatikan gerakannya yang sedang mengeluarkan piyama tidur dan juga perlengkapan lainnya dari ransel tadi.

"Mommy dan Daddymu sudah pulang?" Tanyaku.

"Sudah. Tadinya mereka mau menginap. Papamu juga sudah mengeluarkan wine terbaiknya. Tapi, karena ingat besok ada jadwal meeting, Daddy memutuskan untuk pulang. Lagi pula, akan sangat merepotkan kalian kalau mereka menginap." Jawabnya tanpa melihat ke arahku.

"Oh." Jawabku ber-oh ria sambil menganggukkan kepala.

Raymond menoleh ke arahku, "Aku pinjam kamar mandimu sebentar ya."

"Kamu ingin mandi?" Tanyaku.

"Sepertinya tidak, hanya menggosok gigi dan mencuci wajahku. Kenapa?"

"Kalau mau mandi, aku belum menyiapkan air hangat untukmu."

"Tidak, tidak perlu. Kalaupun aku ingin mandi, aku bisa menyiapkan untuk diriku sendiri."

"Baiklah." Jawabku lemah.

Raymond berjalan ke arahku sambil membawa sikat gigi, handuk kecil dan juga sabun pencuci wajah di tangannya. Dia tersenyum lembut.

"A-ada apa?" Tanyaku gugup.

Raymond duduk di tepian tempat tidurku dan sekarang kami sedang berhadap-hadapan. Tangannya yang bebas terulur dan mengusap pipiku dengan lembut. Sensasi hangat menjalar diwajahku melalui telapak tangannya.

"Aku merindukanmu." Ujarnya pelan. Tatapannya sayu dan terlihat sedih.

Aku menggenggam tangannya yang sedang mengusap pipiku. "Aku juga merindukanmu, maafkan aku meninggalkanmu cukup lama."

"Tidak-tidak, semua salahku. Harusnya aku tidak membawa o-"

Aku menggelengkan kepala cepat. "Sudah, jangan dibahas lagi." Potongku.

"Maaf." Raymond menundukkan kepalanya.

"Ray..." Panggilku pelan.

Raymond mengangkat kepalanya dan menatapku. "Ya?"

"Kamu terlihat kurus. Apakah kamu makan dengan baik?"

Raymond tersenyum, "Entahlah, aku tidak peduli dengan diriku sendiri. Yang ada di pikiranku hanya kamu. Kepergianmu benar-benar membuatku kacau. Ditambah lagi semua orang menolak untuk memberitahu keadaanmu. Tidak ada satupun yang menjawab ketika aku bertanya."

Aku menunduk, mataku kembali memanas, pandanganku buram. Aku sadar, air mataku sudah siap untuk kembali keluar.

Aku kembali mengutuk diriku. Keegoisanku yang menyebabkan aku dan Raymond menderita. Tidak hanya kehidupanku, pun kehidupan Raymond ikut kacau akibat dari perpisahan sementara ini.

Raymond menyentuh daguku dan mengangkat kepalaku. Aku bisa melihat wajah lelah Raymond walau pandanganku terhalang air mata yang sudah sejak tadi menggenang di pelupuk mataku.

"Kamu sama kacaunya denganku. Bahkan pipi chubbymu sudah tidak sechubby sebelumnya."

"I-itu karena aku banyak berolah raga." Jawabku asal.

"Oh, aku kira kamu rindu dengan masakanku." Godanya.

"Ka-kata siapa? Huh?" Pipiku memanas. Aku mengalihkan padanganku, tidak ingin Raymond melihat pipiku yang sekarang pasti sudah sangat merah.

Melihat reaksiku, Raymond tertawa. Aku yang mendengar tawa dari Raymond hanya tersenyum. Sudah lama sekali aku tidak mendengar tawa yang selalu sukses membuat hatiku terasa hangat.

"Sshh." Aku meringis. Sebuah tendangan kecil dan disusul dengan tendangan lainnya terasa di perutku.

Raymond yang tadinya tertawa, langsung menghentikan tawanya. "Kamu kenapa?" Tanyanya dengan ada sedikit panik.

Aku mengelus lembut perutku, "Tidak apa-apa, hanya saja mereka sepertinya ikut tertawa karena Daddy mereka sedang tertawa."

Cup!

Sebuah ciuman mendarat di perutku.

"Kalian, kalau sedang tertawa jangan sambil menendang-nendang perut Papa okay?" Raymond sedang berbicara pada perutku yang sudah sangat besar.

"Okay Daddy." Ucapku sambil menirukan suara anak kecil.

"Kamu sudah tahu jadwal operasinya?" Tanya Raymond.

"Sekitar tiga minggu lagi."

Raymond menatapku dengan khawatir. "Kamu takut?"

"Bohong jika aku bilang aku tidak takut. Tapi karena aku tahu aku akan segera melihat bayi-bayiku, rasa takutku seperti hilang begitu saja." Aku menyelesaikan kata-kataku sambil mengelus perut buncitku.

".. Ditambah lagi, kamu akan menemaniku bukan?" Tanyaku.

"Ya, aku akan ada di sana saat kamu melahirkan anak-anakku." Jawab Raymond dengan mantap.

"Pfftt.. Bodoh, apa kamu sudah tidak takut darah lagi?"

"Ya, takut. Tapi demi kamu dan mereka, aku rasa aku bisa."

Aku memeluk Raymond erat, "Terima kasih Ray, aku beruntung sekali memilikimu."