webnovel

Let Go (Omegaverse)

Bercerita tentang bagaimana para tokoh Let Go meraih kebahagiaan mereka. Baik itu lewat pencarian yang panjang, menemukan dengan mudahnya, mempertahankan yang sudah ada, maupun dengan melepaskan yang selama ini berada di genggamannya. . . Berlatar belakang "Omegaverse", dimana selain laki-laki dan perempuan ada gender kedua yaitu Alpha, Beta dan Omega. Karena berlatar omegaverse, jadi dalam cerita ini, baik laki-laki maupun perempuan, dua-duanya bisa hamil. So, bagi yang merasa tidak nyaman dengan tema 'homoseksual' dan juga 'male preganancy', diharapkan untuk tidak membaca cerita ini. # LGBTQ+ # Male Pregnancy # Omegaverse # 17+

Leuchtend · LGBT+
Không đủ số lượng người đọc
48 Chs

Please, Leave Me Alone

Aku terbangun dan melihat langit-langit yang tidak kukenali. Bau desinfektan sangat menyengat menyeruak menerobos penciumanku. Ah, sepertinya aku sedang di rumah sakit sekarang. Pasti tadi aku benar-benar pingsan di taman. Aku pasti menyusahkan orang lain untuk membawaku ke sini.

Aku masih dengan posisi berbaring mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Aku sepertinya sedang berada di ruang rawat VIP. Mengingat kondisi ruangan ini lebih mirip dengan apartemen berukuran studio, lengkap dengan dapur dan ruang tamu yang sama-sama berukuran mini.

Aku tidak menemukan siapapun di ruangan ini selain diriku. Sepertinya siapapun yang membawaku atau yang menemaniku sedang keluar. Aku melirik jam yang tergantung di dinding tepat di depan hospital bedku. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Aku pingsan cukup lama.

Clek

Suara pintu di buka. Aku menoleh dan mendapati Louise masuk dengan kedua tangannya yang penuh dengan bawaan. Sebelah kirinya ada sport bag yang cukup besar dan yang kanan membawa beberapa kantong plastik yang sepertinya berisikan makanan dan buah-buahan.

Louise yang sadar dengan diriku yang sudah siuman langsung terburu-buru meletakkan bawaannya di atas meja kecil di ruang tamu mini.

"Lennox, bagaimana keadaanmu?" Tanyanya sambil berjalan mendekatiku.

"Hehehe.." Ujarku terkekeh kecil.

"Jangan meng 'hehehe' diriku. Aku tanya bagaimana keadaanmu?" Ujarnya dengan nada sedikit kesal.

Aku tersenyum, "Aku rasa baik-baik saja." Jawabku pelan. "Hanya infus ini agak sedikit mengganggu." Sambungku sambil menganggkat tanganku yang sedang terpasang infus.

"Sebentar." Louise kemudian menekan tombol yang berada bagian kepala hospital bedku.

"... Sudah kukabari untuk menunggu di lobby gedung apartemen, kenapa harus sampai jalan-jalan ke taman segala?" Ocehnya dengan nada kesal.

"Aku tidak mengecek ponselku."

Louise menghela nafas, "Ketika aku behenti tepat di depan gedung apartemenmu, aku melihat kerumunan orang dengan sebuah mobil ambulance berhenti tidak jauh dari posisiku. Instingku mendorongku untuk melihat apa yang sedang terjadi. Dan kamu tahu betapa paniknya aku ketika melihat tubuhmu sudah terbaring dan dimasukkan kedalam ambulance?"

Aku tertunduk lesu. "Maafkan aku."

"Ma-"

Belum sempat Louise mengeluarkan kata-kata, pintu tiba-tiba terbuka dan seorang dokter beserta perawat masuk ke ruanganku.

"Ah, kakakku sudah siuman, bisa tolong diperiksa?"

Dokter yang baru saja masuk langsung memeriksaku dibantu oleh perawat yang tadi datang bersamanya. Selain diperiksa aku juga diberikan beberapa pertanyaan. Aku menjawab semua pertanyaan itu sesuai dengan apa yang terjadi dan apa yang aku rasakan.

"Kakak anda baik-baik saja. Hanya sedikit shock, stress dan juga terkena hipotermia ringan, selebihnya tidak ada yang patut dikhawatirkan. Jangan mudah stress, makan yang banyak dan juga istirahat yang cukup."

Aku yang mendengar penjelasan dokter hanya mengangguk. Begitu juga dengan Louise.

"Kapan kira-kira dia bisa pulang?"

"Jika benar-benar sudah merasa baik, sekarang juga sudah bisa pulang. Tapi saya sarankan untuk lebih baik di sini dulu untuk memantau kondisi lebih lanjut."

"Baiklah, terima kasih dokter." Ujar Louise.

"Kalau begitu saya undur diri dulu. Selamat Sore."

Setelah menyelesaikan kata-katanya, dokter beserta perawat itu pergi meninggalkanku dan Louise.

Louise kini sedang berbaring di sofa yang berada tidak jauh dari hospital bedku. Wajahnya tertutupi oleh lengannya. Dia menghela nafas panjang.

"Siapa saja yang tahu aku di sini?" Tanyaku.

"Tidak ada. Hanya aku saja."

"Baguslah."

"Aku sudah menghubungi semua orang dan mengatakan pada mereka bahwa kamu sedang bersamaku."

"Terima kasih."

"Tapi aku tidak yakin. Tadi aku lihat ada beberapa orang sedang memegang ponsel, sepertinya mereka merekam atau mengambil foto saat kejadian. Berharap saja tidak ada postingan mengenai kejadian itu kalau tidak tamat sudah riwayatku."

Benar kata Louise, sekarang aku hanya bisa berharap tidak ada yang memposting foto atau video mengenai kejadian itu di media sosial. Kalaupun ada, semoga tidak ada yang mengenaliku. Jika sampai ketahuan, seperti kata Louise tadi, tamat sudah riwayatnya.

Aku bisa membayangkan kemarahan Papa dan yang lainnya. Aku kemudian bergidik ngeri membayangkan Papa memarahi Louise dan juga aku.

"... Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu dan Raymond. Tapi aku berharap masalah kalian cepat selesai dan kalau aku tidak salah lihat, sepertinya kamu sudah di tandai." Ujar Louise dengan hati-hati.

"Oh, ya, dia sudah menandaiku. Hanya tanda sementara." Ujarku.

"Pastikan dia menandaimu sepenuhnya nanti atau aku akan membunuhnya." Ujar Louise dengan nada serius.

"Ya, ya, ya." Ujarku malas.

"Lennox, aku tidak sedang bercanda. Jadi kamu ingatkan dia untuk menandaimu."

"Baik Tuan Louise Selim yang super protektif."

Louise menghela nafas berat, "Aku akan mengurus administrasimu dulu. Kamu rawat inap saja sampai besok pagi."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Louise kemudian pergi meninggalkanku sendiri.

Aku teringat perkataan Louise tadi. Aku benar-benar harus menyelesaikan masalahku dengan Raymond. Dan mengenai mark ini, aku rasa aku akan memikirkannya lagi setelah anak-anakku lahir.

Aku tidak ingin terburu-buru dan juga, menjadi pair bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. Selamanya, setelah aku ditandai aku tidak akan bisa lepas dari Raymond, karena memang seperti itulah takdir seorang omega. Selalu terikat dengan alpha yang menandainya hingga akhir hayatnya.

Sebenarnya bukan masalah ikatan yang aku takutkan, tapi lebih kepada sesuatu yang disebut 'fated pair'. Pasangan yang memang sudah ditakdirkan untuk bersama. Bagaimana jika dikemudian hari Raymond menemukan fated pairnya? Aku tidak sanggup untuk melepaskan Raymond. Ditambah lagi dengan anak-anakku nanti. Aku terlalu takut untuk mengahdapi kemungkinan terburuk itu.

Clek..

Segala macam pemikiran di kepalaku terhenti setelah mendengar suara pintu di buka dan refleks aku menoleh ke arah pintu tersebut.

"Cepat seka-"

Aku tidak dapat menyelesaikan perkataanku ketika melihat sosok yang kini masuk keruanganku.

"Kenapa kamu bisa tahu aku di sini?" Tanyaku cepat.

"Bocah ingusan itu tidak terlalu pintar untuk menutupi sesuatu."

"Dan aku tidak cukup bodoh membiarkan pairku berada di luar dalam cuaca yang tidak bersahabat." Ujar Louise yang tiba-tiba saja masuk.

Suasana menjadi canggung setelah kedatangan Louise yang sambil melontarkan kalimat pedasnya kepada Raymond.

"Se-sepertinya aku ingin tidur. Bisakah kalian berdua keluar?" Pintaku memecah kecanggungan.

.

.

.

"Lennox." Panggil Raymond dengan lembut.

Aku hanya menoleh dan melihat wajahnya tanpa ekspresi. Aku tahu apa yang ingin Raymond sampaikan, tapi aku sedang tidak ingin membahas apapun. Aku terlalu lelah dan tidak ingin memikirkan apapun saat ini.

"Tadi itu tidak seperti yang ada di pikiranmu. Aku dan-"

"Aku sedang tidak ingin membahas itu, bisa kan?" ucapku memotong kalimat Raymond.

Raymond menatapku dengan tatapan bersalah, "Tapi aku tetap harus menjelaskan padamu agar tidak ada kesalahpahaman lagi."

"Tapi aku sedang tidak ingin membahasnya, tolong hargai perasaanku saat ini." Ujarku dengan penuh harap.

"Baiklah." Ujarnya pasrah.

"Dan aku ingin sendiri, kamu bisa pulang." Aku mengusir Raymond secara halus. Ya, aku benar-benar mengusirnya.

"Kamu mengusirku?" Tanyanya dengan nada tidak percaya.

"Ya, karena aku memang ingin sendiri saat ini." Jawabku tegas tanpa ada keraguan sedikitpun.

"Bisakah aku menemanimu sampai kamu tidur?"

Aku menggeleng mantap, "Tidak. Pulanglah sekarang Ray."

Matanya melebar tanda tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Namun, Raymond tidak membantah, dia bangkit dari duduknya. Dia menatapku cukup lama tanpa bicara.

"Pulanglah." Ujarku sambil mendorong tubuhnya dengan tanganku yang tidak bertenaga.

"Lenny..." Ucapnya dengan nada memelas.

Sudah lama aku tidak mendengar Raymond memanggilku dengan panggilan ini. Aku bisa merasakan tubuhku sedikit memanas. Ada perasaan senang dalam hatiku saat dia memanggilku dengan panggilan itu. Tapi, tentu saja panggilan dengan nada lembut itu tidak cukup untuk meggoyahkan keputusanku.

"Kumohon, pulanglah. Aku sedang ingin sendiri saat ini. Beri aku waktu."