Mimi dan Sisi sedamg asyik mengobrol disamping kolam renang ditemani sepiring pisang dan kacang rebus. Mereka tampak asyik hingga tak menyadari Irfan sudah ada didekat mereka.
"Asyik banget sih ngobrolnya?" sapa Irfan.
Mimi dan Sisi menoleh kearah Irfan.
"Eh, udah bangun Fan? Yang lain masih tidur? " balas Sisi.
"Edo masih di kamar, kalau Tama sepertinya sudah keluar kamar dari tadi deh. Memangnya kalian belum lihat?" kata Irfan.
Mimi dan Sisi menggeleng.
"Dari tadi kami disini belum lihat Tama," kali ini Mimi yang jawab.
Tak lama tampak Edo sedang berjjalan menuju ke arah mereka, tapi begitu melihat Mimi dan Sisi, dia langsung berbalik arah.
"Woy, mau kemana lo?" suara panggilan Irfan mengurungkan niat Edo.
Sambil meringis, dia kembali berjalan ke arah mereka. Wajah Edo terlihat kikuk begitu melihat Mimi dan Sisi. Sementara kedua gadis itu mengulum senyjum melihat tingkah Edo.
"Kenapa lo? Masih malu gara-gara semalam?" tanya Irfan dengan jahilnya.
Pertanyaan itu membuat wajah Edo memerah. Matanya mendelik galak kearah Irfan, yang disambut oleh gelak tawa Irfan.
"Edooo, sini Do, duduk dekat gue," kata Sisi dengan nada menggoda, membuat Edo semakin keki saja rasanya.
"Udah ih, kalian tuh usil aja sama orang," lerai Mimi.
"Memang cuma Mimi aja yang ngerti gue," kata Edo sambil mencibir kearah Irfan dan Sisi.
"Diiiih, ngga usah sensi kali Do. Bercanda aja kok!" kata Sisi. "Eh, tapi gue penasaran, lo naksir gue duluan atau Mimi?" tanya Sisi kembali sambil memainkan alisnya menggoda Edo.
"Apaan sih? Kan udah lewat. Nyesel gue bikin game semalam, kalau hasilnya gue yang dibully," kata Edo sambil cemberut.
Irfan dan Sisi kembali tertawa. Mereka sepertinya puas sekali menggoda Edo.
"Gue ke toilet dulu ya," kata Mimi lalu berlari kedalam tanpa menunggu jawaban teman-teman nya.
"Yaaa, kebelet dia," tukas Sisi sambil memandang punggung Mimi yang menghilang dibalik pintu.
---
Mimi POV
Keluar dari toilet, aku memilih keluar dari Villa. Aku ingin jalan-jalan keluar sebentar. Waktu akan ke Kebun Teh kemarin, aku sempat melihat sebuah rumah pohon tak jauh dari Villa. Sekarang aku sedang menuju kesana.
Lima menit kemudian aku sudah tiba di rumah pohon itu. Sepertinya rumah pohon itu terawat, karena disekitarnya rumput juga rapi, tidak tinggi-tinggi. Di sisi kanan pohon tampak tangga tali menjulur. Rupanya dengan itu bisa naik ke atas. Aku melihat keatas, menimbang-nimbang apakah akan naik atau tidak.
"Naik aja kalau penasaran," sebuah suara mengagetkanku.
Tama tampak ada di belakangku sambil tersenyum.
"Eh, kamu. Ngagetin aja," kataku.
Tama berjalan ke arah tangga. Lalu naik ke atas rumah pohon dengan lincah. Sampai diatas dia memanggilku.
"Hayok sini naik!" ajak Tama.
Akhirnya aku juga naik keatas rumah pohon. Sampai diatas, aku melihat ke sekeliling rumah pohon. Cukup lapang tempatnya, bisa cukup untuk 3 orang dewasa. Dipojok terlihat keranjang berisi beberapa buku. Aku duduk di samping Tama. Kami duduk dipinggir rumah pohon, dengan kaki terjulur ke bawah. Dari atas sini tampak pemandangan yang indah dan sejuk dipandang mata.
"Rumah pohon ini, Mang Jajang yang membuat. Dulu saat kami kecil, kami sering main disini," jelas Tama tanpa ditanya.
"Boleh ya bikin rumah pohon di pinggir jalan gini?" tanyaku.
Tanah ini sampai sana masih punya keluargaku. Hanya saja disewakan untuk dikelola pihak lain, jadi ngga masalah bikin rumah pohon disini."
Aku mengangguk mengerti. Lama kami terdiam, sibuk mengagumi pemandangan sekitar. Angin terasa dingin diatas sini. Aku lupa memakai jaket.
Tama melihat kearahku, melihat aku sedikit menggigil, dia membuka jaketnya dan menyampirkannya di tubuhku. Aku tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.
"Kamu hobby nya apa Mi?" tanya Tama memecah kesunyian.
"Aku suka baca Tam.. Hobby standar lah," jawabku.
Tama tertawa kecil, mendengar jawabanku.
"Adikku juga suka baca. Namanya Ranj. Umurnya dua tahun dibawah aku. Kapan-kapan aku kenalkan sama kamu ya," kata Tama.
"Ooo boleh Tam, aku kan ngga punya saudara perempuan. Sempat minta adik sama Bunda, tapi Bunda malah ngomel," kataku.
"Adikku itu emang ditunggu-tunggu sama Ayah Ibu. Upaya terakhir mereka untuk punya anak perempuan yang akhirnya terkabul."
"Lega ya Ibu kamu? Harapannya terkabul."
"Ya gitulah. Kalau Abang kamu gimana? Kamu dekat dengan dia? ".
" Abangku namanya Rendra, umurnya 25 tahun. Kami dekat, karena kami hanya dua bersaudara. Abang protektif sekali sama aku. Walau suka usil, tapi aku sayang banget sama dia. Waktu kecil dulu, Abang yang belain aku kalau ada yang menjahili. Tapi sekarang saat sudah dewasa, kami jarang ngobrol seperti dulu lagi. Paling ketemu saat sarapan pagi, itu juga kalau ngga keduluan dia berangkat kerja. Malam, kalau makan malam saja. Tapi itu kalau dia ngga capek. Kamu sih enak ya Tam? Soalnya kalian berempat" kataku.
Tama menatapku sebentar, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke seberang sana.
"Ngga kok. Mungkin ketika anak-anak sudah mulai besar, mereka sudah punya kegiatan masing-masing. Jadi wajar kalau jarang ngobrol. Makanya Ayah dan Ibu mensyaratkan kami untuk makan malam di rumah. Kalau ngga bisa, ngga apa-apa sebenarnya, hanya paling tidak dalam sebulan jangan terlalu sering menghilang." jawab Tama.
Saat itu kami mengobrol banyak hal, mulai dari keajadian konyol, harapan, dan rencana jangka pendek kami ke depan pun dibahas. Menyenangkan dan tak membosankan itu kesanku saat berbicara dengan Tama. Karena wawasannya yang luas, dan pola pikirnya yang terbuka, membuat aku merasa mendapat banyak pencerahan. Selain itu, pembicaraan ini membuatku merasa lebih dekat dan mengenal Tama secara pribadi.
Tak terasa waktu sudah menunjukan waktu dzuhur, Tama mengajakku kembali ke Villa. Padahal aku masih betah disini.
"Nanti kita kesini lagi. Kan dekat juga," kata Tama yang melihatku tampak enggan turun dari rumah pohon.
Mimi POV end
---
"Habis dari mana kalian? Kok menghilang berdua aja?" tanya Irfan dengan pandangan penuh tanya sesampainya Mimi dan Tama di Villa.
"Tadi aku jalan-jalan keluar sebentar, ngga sengaja ketemu Tama, " jawab Mimi.
"Sengaja juga ngga apa-apa Mi?" kata Sisi sambil mengedipkan matanya.
Mimi hanya tersenyum menanggapi ledekan Sisi, sementara Tama pun tampak santai saja.
"Neng, Kang, makan siang udah siap," suara Bi Entin terdengar dari ruang makan.
Mereka sama-sama menuju ke ruang makan, dan tanpa basa-basi mereka langsung memakan semua yang disajikan.
"Nanti sore habis ashar, gue mau renang ah! Boleh kan Tam?" tanya Edo pada Tama.
Tama menjawabnya dengan anggukan.
Setelah makan, mereka masuk kamar masing-masing untuk beristirahat.
---
"Eh, ngapain aja lo tadi sama Tama?" tanya Sisi pada Mimi begitu mereka tiba di kamar.
"Ngga ngapa-ngapain. Cuma ngobrol aja," jawab Mimi.
"Yakin, cuma ngobrol? Ngga ada apa gitu?" tanya Sisi lagi seolah tak percaya.
"Yakin lah, memang kami cuma ngobrol aja kok. Emang lo maunya apa sih Si?"
"Ya kali tiba-tiba kalian PDKT. secara beberapa hari ini kalian kelihatan lebih dekat," kata Sisi lagi.
"Ah, itu perasaan lo aja. Gue biasa aja kok."
Sisi tak bertanya lagi pada Mimi. Tak lama, terdengar dengkurannya. Rupanya dia tertidur. Mimi tersenyum kecil melihat sahabatnya itu.