webnovel

Kota Parun

Robert mencermati pria di depannya.

Dia memakai pakaian aneh, tidak memakai sepatu, hanya memakai sendal bertali dari kulit, lebih seperti orang-orang kerajaan zaman dulu.

"Apa yang terjadi. Apakah aku bermimpi?" batinnya.

Robert lalu meletakan kedua tangannya di belakang punggung dan mencubit lengannya sendiri. Cubitan itu terasa sakit, artinya dia tidak sedang bermimpi.

"Anda siapa?" tanya Robert. Dia bersikap sangat hati-hati terhadap orang itu.

"Hahaha.... Iya aku lupa kau sama sekali tak mengenal ku. Tapi aku mengenalmu sejak lahir," jawab si Pria sambil tertawa.

Robert terperanjat mendengar apa yang dikatakan pria tersebut. Pikiran-pikiran yang selalu mengacau otaknya kembali bermunculan.

"Apakah kau ayahku? Kau yang tega menelantarkan aku di panti asuhan?" tanya Robert dengan nada yang berubah tinggi. Tatapan matanya berubah tajam. Wajahnya juga memerah menahan amarah.

Reaksi pria itu sangat tenang menyaksikan ekspresi Robert. Dia tersenyum mendengarkan pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut Robert.

"Perkenalkan, namaku Among. Memang benar, akulah yang telah meninggalkanmu di panti asuhan. Tapi aku bukan orang tuamu," katanya.

Robert hanya terdiam. Perasaannya berkecamuk tak menentu. Sekarang, semakin banyak pertanyaan yang melintas di benaknya.

Among mengerti, pasti Robert sama sekali tidak mengerti akan apa yang dia sampaikan. 

Untuk mencairkan suasana, Among kemudian mengajaknya berjalan.

"Sebaiknya kita jalan dulu. Nanti aku ceritakan semuanya," ujar Among.

"Ayolah, sambil jalan aku cerita," katanya sambil sedikit menarik siku Robert.

Among berjalan menyusuri jalan setapak di antara pepohonan. Robert yang sempat terdiam beberapa saat, kemudian mengikutinya dari belakang.

"Sekarang ini kau telah kembali ke Dunia Nubian yang merupakan tanah kelahiranmu," kata Among mulai menjelaskan.

"Kau berasal dari sini dan bukan dari dunia tempat aku meninggalkanmu," sambungnya.

Robert tetap diam dan menahan diri untuk berbicara. Dia ingin mendengar lebih banyak lagi.

"Tepatnya saat ini kau kembali ke Provinsi Parun, wilayah Kerajaan Pakoem. Ibumu berasal dari sini," lanjut Among.

Tak lama keduanya keluar dari hutan. Mereka berhenti sejenak. Robert melihat ke belakang. Ternyata mereka baru keluar dari sebuah bukit yang tertutup hutan.

"Ini memang bukan hutan kota. Apa yang sebenarnya terjadi?" sebuah pertanyaan baru kembali muncul di kepala Robert. Tapi dia tetap diam dan tidak mengutarakannya.

Sementara di arah depan, mata Robert disuguhi pemandangan yang indah. Beberapa ratus meter di depannya, tampak sebuah kota yang berada di pinggir laut. Kota itu terletak di teluk berbentuk huruf C yang sempurna.

Karena masih berdiri di dataran yang agak tinggi, Robert dapat melihat sebuah pelabuhan di ujung kota. Beberapa kapal berbagai ukuran bersandar di sana. Selain itu puluhan kapal lain melabuhkan jangkar di perairan sekitaran teluk.

Kota tersebut dikelilingi dinding tembok yang sangat tinggi. Hanya di bagian pelabuhan dan dua gerbang di sisi berlawanan saja yang tidak tertutup tembok.

"Itu adalah Kota Parun. Aku tinggal di sana," ujar Among yang kemudian kembali berjalan.

Keduanya memasuki gerbang kota. Robert memperhatikan kondisi kota tersebut. Sangat mirip seperti kota-kota zaman kerajaan, yang dia tonton di televisi.

Bangunan-bangunannya berbentuk kotak, dengan dinding yang terbuat dari tanah liat berwarna kuning.

Kota Parun cukup ramai. Di kiri dan kanan jalan banyak orang berdagang. Berbagai barang diperjual belikan. Ada bahan dapur, buah-buahan, perlengkapan rumah, pakaian, kerajinan tangan, barang antik ataupun barang-barang lain.

Robert dapat langsung menebak jika Parun adalah kota pelabuhan dan kota perdagangan. Banyak pedagang dari daerah lain yang datang untuk berdagang di Parun.

Orang-orang sedikit membungkuk ketika berpapasan dengan mereka. Among hanya membalas dengan anggukan kecil.

"Tampaknya orangtua ini bukan orang biasa," batin Robert.

Beberapa sudut mata melirik panjang ke arah Robert. Mereka heran dengan penampilannya yang tampak beda, memakai kaos, jeans dan sepatu kets.

Pakaian orang-orang di sana juga seperti orang zaman dulu. Tapi umumnya lebih sederhana dibandingkan apa yang dikenakan Among.

Namun dari keseluruhan yang Ia lihat, ada yang sangat menarik perhatian Robert. Orang-orang di Parun seperti dirinya. 

Dari segi wajah dan penampilan, orang-orang di sana jelas berasal dari beragam etnis. Tapi total jari mereka semuanya berjumlah 24, sama seperti Robert. Hal ini membuktikan kebenaran tentang asal-muasalnya, seperti yang disampaikan Among.

Tak lama Robert dan Among tiba di sebuah gerbang. Sebuah rumah berada di belakang gerbang. Ukurannya jauh lebih besar dan megah dibandingkan bangunan-bangunan yang mereka lewati sebelumnya.

"Ayo masuk. Ini rumahku," kata Among.

Seorang pria bertopi bulat tinggi keluar dari dalam rumah dengan terburu-buru. Dia menyambut mereka dengan sedikit berlari.

"Selamat datang tuan. Ada tamu di dalam. Mereka sudah menunggu anda," kata pria yang ternyata seorang pelayan.

"Iya Murs. Aku akan menemui mereka. Ini Robert. Tolong kau bawa dia ke kamar tamu. Sediakan juga pakaian dan makanan untuknya," kata Among.

"Kau pergi dulu dengan Murs. Nanti kita bicara lagi," ujar Among kepada Robert.

Murs membawa Robert ke sebuah kamar. Ruangan tersebut sangat luas dan terdapat beberapa perabotan dari kayu yang tertata rapi. Walau terkesan klasik, namun terlihat sangat nyaman.

Terdapat sebuah jendela yang menghadap ke halaman belakang rumah. Dari jendela itu Robert mengetahui jika rumah Among dikelilingi tembok. Namun ukurannya tidak setinggi tembok kota.

Murs mengambil satu setel pakaian dari dalam lemari. Setelah menyerahkannya kepada Robert, dia kemudian pergi meninggalkan kamar.

Meskipun merasa aneh dan kurang nyaman, pakaian yang diberikan Murs tetap dipakai Robert. Dia tidak ingin penampilannya yang berbeda menarik perhatian orang seperti halnya di jalanan tadi.

Setelah berganti pakaian Robert memperhatikan cermin dan memutar-mutar badannya. Dia merasa lucu memandangi dirinya yang memakai pakaian itu.

"Seperti mau karnaval saja," batinnya sambil tersenyum.

Saat tengah asyik memandangi penampilan barunya, seseorang mengetuk pintu kamar.

"Masuk," kata Robert.

Pintu kamar terbuka beriringan dengan bunyi deritan engsel.

Ternyata itu Murs. Kali ini dia tak sendiri. Murs datang bersama beberapa pelayan perempuan. Masing-masing dari mereka membawa sesuatu di tangannya.

Para pelayan langsung menuju meja berukuran besar yang ada di dalam kamar. Mereka meletakan apa yang mereka bawa dan membuka tutupnya.

Rupanya mereka menyajikan makanan seperti apa yang telah diperintahkan oleh Among sebelumnya.

"Silahkan Tuan Robert," ujar Murs setelah seluruh hidangan tersusun rapi. Setidaknya ada belasan jenis makanan lezat yang tersedia di meja.

Robert kemudian duduk di kursi. Perutnya memang terasa lapar. Namun dia sedikit canggung untuk memulai menyantap makanan.

Para pelayan masih berada di dalam kamar membuat Robert tidak nyaman. Murs berdiri di sebelahnya. Sedangkan para pelayan perempuan berbaris rapi di dekat dinding.

Karena tidak terbiasa dengan perlakuan tersebut, Robert akhirnya meminta Murs dan pelayan lain untuk keluar dari kamar.

"Sebaiknya kalian melanjutkan pekerjaan kalian. Saya bisa sendiri di sini," ujar Robert dengan sopan.

"Baik Tuan. Apapun yang anda butuhkan silahkan panggil saya," kata Murs sambil sedikit menunduk. Murs kemudian menganggukan kepala ke arah pelayan lain memberi tanda agar mereka semua keluar dari kamar.

Robert telah menghabiskan makanannya. Hanya berdiam diri di kamar membuatnya bosan. Dia mondar-mandir di kamar yang berukuran cukup luas itu.

Saat ini yang diinginkannya adalah mendengar penjelasan Among tentang masa lalu dan orang tuanya.

Walaupun demikian, dia tetap memikirkan Max dan permasalahan panti asuhan.

Karena merasa terlalu lama menunggu, Robert akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar.

"Ada yang anda butuhkan tuan?" Murs tiba-tiba sudah muncul di dekatnya.

"Tidak. Aku hanya ingin berkeliling," jawab Robert.

"Oh baiklah tuan. Kalau butuh sesuatu anda sampaikan saja kepada saya."

"O iya Murs, aku mau tau tentang majikan mu."