webnovel

4

Hujan deras mengguyur kota Jakarta malam ini. Baju panjang tebal yang berbalut ditubuh Laras sama sekali tidak membantu menghangatkan tubuhnya. Ia meraih selimut tebalnya hingga sebatas dada, ia melirik ke arah jendela kamar yang tirainya sedikit terbuka meski sudah tertutup dengan kaca, ia dapat lihat hujan diluar benar benar deras. Sepertinya angin kencang juga turut hadir menemani sang hujan.

Laras tak berhentinya memanjatkan do'a kepada Tuhan, berharap petir tidak datang. Pasalnya, gadis itu benar benar memiliki trauma yang mendalam dengan petir, terlebih dirumah sebesar ini ia sendirian. Salahkan dirinya yang terlalu keras kepala tidak ingin mendengar perintah orang tuanya yang menginginkan ia untuk menyewa seorang pembantu setidaknya untuk menemaninya ketika sendiri. Tapi, ia menolaknya dengan alasan ingin hidup mandiri.

Sepertinya Tuhan tidak mengabulkan do'anya malam ini. Belum berjarak 10 menit ia berdo'a, suara guntur yang datang bersama kilat sudah lebih dulu menyapa telinganya. Laras menggigit bibir bawahnya, ia semakin menarik ke atas selimutnya hingga mentupi seluruh tubuhnya. Pelipisnya juga sudah mengeluarkan keringat dingin saat ini.

Laras berusaha mencari letak ponselnya yang mungkin sedang ia jepit dibawah tubuhnya saat ini. Jangan tanyakan kenapa gadis itu tidak menyalakan lampu kamarnya agar mengurangi rasa takutnya, lampu nya tiba tiba padam ketika kilat muncul yang kedua kalinya. Ia merasa benar benar sedang diuji.

Akhirnya, ia menemukan ponsel yang sedari tadi ia cari. Laras segera menyalakan ponselnya kemudian mencari nama kontak yang akan dia hubungi dengan tergesa-gesa.

"Ve-verga," sapa Laras ketika panggilan sudah tersambung, nadanya terdengar bergetar. Tentu saja hal itu membuat pria yang ada diseberang sana mendadak khawatir.

"Hei ada apa? kenapa suaramu seperti itu? kau baik baik saja, 'kan?" benar saja, suara itu terdengar khawatir.

"Verga, a-aku-"

DUARR!!

"AAAAA!!"

Laras menjatuhkan ponselnya, ia bahkan belum menyelesaikan ucapannya tapi sudah terputus begitu saja karena suara petir itu. Ia yakin, Verga pasti mendengar suara teriakannya.

-

Tidak sampai 7 menit setelah itu, Laras sudah mendengar pintu kamarnya didobrak keras oleh seseorang. Laras masih belum berani mengangkat kepalanya, ia masih memeluk kakinya dengan menyembunyikan wajahnya dikedua pahanya.

Verga, lelaki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar Laras. Benar benar gelap, ia mencoba berjalan masuk mencari orang yang saat ini dikhawatirkannya.

"Laras!! kau dimana?!" teriak Verga, mimik wajahnya sangat cemas.

Verga mendengar suara isakan yang ada disudut kamar, ia yakin itu pasti Laras yang sedang meringkuk melawan rasa takut.

Yah, tepat. Laras merasakan badannya direngkuh seseorang, bau parfum itu, ia bisa mengetahui siapa yang sedang memeluknya. "Hsstt, tenanglah. Aku ada disini, kau akan baik baik saja," suara lembut Verga membuat Laras mengeratkan pelukannya pada pinggang Verga, ia memeluk pemuda itu penuh afeksi sembari menenggelamkan wajahnya didada milik Verga, menenangkan rasanya.

Verga mengecup singkat pucuk kepala Laras, yang entah sang empu sadar atau tidak. Tangan Verga tidak tinggal diam, ia gunakan untuk mengelus pelan punggung sahabatnya, pria itu bahkan tidak peduli dengan keadaannya yg setengah basah karena menerobos hujan deras demi sampai dirumah Laras. Untung jarak rumah keduanya hanya sekitar 100 meter, jadi Verga tak perlu memakai mobil untuk sampai dirumah Laras.

"Vee, bajumu basah. Ganti dulu, nanti kau sakit," gumam Laras pelan namun Verga masih bisa mendengarnya dibawah sana.

"Tidak sampai kau tenang," tolak Verga.

Laras mendongak menatap wajah Verga yang saat ini sudah beralih menatap wajahnya, bisa Laras liat tatapan khawatir Verga meski terlihat samar karena listrik yang tiba tiba padam, hanya bantuan dari cahaya lilin kecil disudut ruangan tepat yang ada dibelakang Laras saat ini.

"Maafkan aku yang lupa jika kau punya trauma dengan suara petir, seharusnya aku datang sejak awal, maafkan aku," sesal Verga kemudian mengelus lembut pipi mulus milik Laras.

Laras menggeleng pelan kemudian menggenggam tangan Verga yang ada di pipinya. "kau tidak salah Vee, maaf sudah mengganggu waktumu, aku bingung harus memberitahu siapa waktu itu, aku benar benar ketakutan," jelas Laras.

"Ras, jangan pernah menganggap kau sendiri, aku selalu ada kapanpun kau butuh. Biarkan aku menjadi pelindungmu saat ini dan seterusnya, kau sangat berarti bagiku, Ras," ujar Verga kemudian kembali merengkuh nyaman tubuh gadis gemoynya.

-

Verga POV

Aku mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk yang ku usap usapkan di kepalaku, bukannya tidak ada alat pengering rambut, ingat kembali bahwa listrik masih padam. Aku sudah menghubungi tukang listrik yang terhubung dengan listrik dirumah Laras, katanya akan segera diperbaiki, saat ini biarkan lilin kecil saja yang menerangi rumah milik Laras.

Hujan sudah semakin mereda, Laras sudah menyuruhku untuk kembali katanya takut orang tuaku mencemaskan ku. Tentu saja aku menolak, aku memilih menginap saja malam ini, toh orang tuaku juga mengingizinkanku, entahlah aku terlalu khawatir meninggalkan gadis lemah itu sendirian dirumah sebesar ini.

Laras meminjamkanku kemeja dengan motiv kotak kotak milik ayahnya, kenapa tidak memakai hoodie milik gadis itu? tubuhku jauh lebih besar darinya, tidak mungkin muat di badanku.

"Ini cokelat panasnya, diminum dulu Vee. tubuhmu akan hangat setelahnya," ucap Laras meletakkan secangkir coklat didepanku dengan asap yang mengepul. Gadis itu tau betul kesukaanku.

"Terima kasih," ucapku. Laras hanya tersenyum tipis membalasnya.

"Kau masih belum mengganti ban mobilmu?" tanyaku dan kulihat ia menggeleng singkat.

"Baiklah, kalau begitu besok berangkat bersama saja, yah?"

"Hm tentu saja, menurutmu aku harus dengan siapa lagi," jawab Laras dengan sedikit ketus. Sepertinya perasaan gadis itu sudah normal, buktinya sifat menyebalkannya sudah kembali.

"Yasudah, kau tidur duluan lah, aku tidak ingin mendengar alasan konyolmu besok ketika terlambat, aku juga tidak suka menunggu," cetusku pada nya. Laras mengerucutkan bibirnya kebawah, tidak kah gadis itu sadar bahwa dirinya menggemaskan?

"Lalu kau tidur dimana?" tanya Laras.

"Aku bisa tidur disofa ini saja."

"Memangnya kau tidak kedinginan, kenapa tidak dikamar tamu saja?"

"Apa itu sebuah perhatian?" tanyaku berusaha memancingnya, kulihat ia berdesis pelan kemudian berdiri dari duduknya.

"Terserah kau saja, aku tidak peduli. Selamat malam." Ketusnya lalu melangkah dengan kaki yang sengaja ia hentakkan kebawah, menggemaskan sekali.

Verga POV end

-

Laras menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk miliknya, pikirannya berpusat pada Verga. Ia merasa Verga seperti sosok pahlawan seperti di cerita novel yang pernah ia baca, harusnya dikeadaan seperti ini, Varo lah yang biasa datang menemaninya. Tunggu, kenapa ia jadi memikirkan lelaki itu.

Laras menghidupkan layar ponselnya yang sedikit retak mungkin karena efek terjatuh tadi, untung saja masih bisa hidup.

Ia mendapatkan sebuah notifikasi pesan dari nomor yang tidak dikenal, ia kemudian membukanya dengan raut wajah yang terlihat bingung.

From : +62886xxxx

'aku akan menjemputmu besok pagi kekampus, jika kau menolak, mungkin aku akan menganggap jika kau belum memaafkanku, Ras,'

'dari aku, Varo.'

Jantung Laras mendadak bergemuruh hebat, apa maksud pria itu? apa yang harus ia lakukan saat ini?