Keesokan paginya, Shoaib benar-benar menjemput ayahnya kerumah itu. Ayesha sudah menantinya didepan pintu dan memeluk hangat ayah mertuanya. Tak lama kemudian Shoaib berangkat ke rumah sakit. Sepanjang hari itu ia merasa tidak enak mengingat bahwa ayahnya berada dirumahnya. Akhirnya di siang hari ketika ia memiliki waktu lenggang sejenak, ia memutuskan untuk pulang dan mengecek keadaan di dalam rumahnya. Terlebih lagi handphone kedua istrinya tidak bisa di telpon. Pada saat yang sama, Ayesha sedang pergi ke toko dan Aisyah keluar dari kamarnya karena mencium bau yang sangat lezat dari arah dapur. Sesampainya di dapur ia melihat ayahnya sedang memasak daging.
Ayahnya menoleh dan melihat keberadaan Aisyah. Ia bergeming tidak berkata apa-apa sesuai janjinya kepada Shoaib. "Ayah masak apa?" Aisyah memberanikan diri mengajak laki-laki tua itu berbicara karena didorong oleh bau nikmat itu. Selama hidupnya ia tidak pernah mencium aroma daging yang enak seperti itu. Laki-laki itu menjawab dengan nada datar tanpa memandang kearah Aisyah. "Daging kelinci. Kenapa Shoaib tidak memberitahu ayah jika dia mulai beternak kelinci? Kelincinya sangat gemuk sekali dan sehat. Pasti dagingnya juga enak. Kalau dijual juga pasti untung besar." Kata ayahnya dengan polosnya.
Aisyah langsung lemas mendengarnya. "Kelinci yang dikandang belakang?" Ayah mertuanya hanya mengangguk tidak menjawab. Laki-laki itu sama sekali tidak mengetahui bahwa kelinci itu adalah milik Aisyah. Diam-diam airmata Aisyah mengalir lalu ia berkata dengan nada memelas, "Tetapi itu kelinci Aisyah. Ayah seharusnya tidak membunuhnya." Tangan ayah mertuanya terhenti mendengar itu. Ia menoleh dan terlihat sedikit saja perasaan bersalahnya. "Oh benarkah? Ini kelinci peliharaanmu? Kalau begitu nanti minta Shoaib untuk membelinya lagi. Lagipula buat apa kau memelihara kelinci, menyusahkan saja. Lebih baik dijual atau dimasak." Aisyah tidak menjawab apapun. Ia segera berlari kekamar sambil menangis histeris. Ia teringat kembali tentang kenangan ketika membeli kelinci itu dan perjalanan yang menyenangkan di hari itu. Namun kali ini dirasakannya pilu.
Beberapa menit kemudian Ayesha dan Shoaib datang bersamaan. Ayesha bingung kenapa Shoaib pulang lebih awal. Tanpa basa-basi pemuda itu langsung lari masuk kerumah dan terdengar tangisan Aisyah dari kamarnya. Ayahnya menghadangnya dan menjelaskan apa yang telah terjadi. Hati Shoaib juga hancur mendengarnya. Ia merasakan bagaimana perasaan Aisyah saat ini. Ayesha mengajak ayahnya duduk dan menenangkannya. Ia memberinya sugesti positif bahwa ini bukanlah salahnya. Walaupun begitu, berkali-kali ayahnya meminta maaf kepada Shoaib, namun pemuda itu bergeming dan langsung berlari ke kamar Aisyah. Berkali-kali ia mengetuk pintu, akhirnya Aisyah membukakannya.
Wajah Aisyah terlihat merah padam dan airmatanya mengalir deras. Tanpa berkata apa-apa Shoaib memeluknya dengan erat. "Kelincinya mati.... Muezza mati....." Itu terucap berulang ulang di bibir merahnya. Ia hanya mengelus lembut kepala istrinya tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Setelah tangis Aisyah mulai reda, Shoaib berkata dengan lembut, "Tidak apa-apa, nanti kita beli lagi ya." Kedua alis Aisyah mengkerut mendengarnya. Emosinya naik dan berkata dengan nada tinggi, "Aku tidak mau kelinci yang lain. Ayahmu telah membunuh Muezza. Memang sedari awal ayahmu selalu membenciku. Dia membenci apapun yang aku sukai. Dia tidak pernah merestui hubungan kita. Nanti bisa-bisa bayi kita juga dibunuhnya." Ayahnya yang mendengar itu hanya menunduk sambil memegangi tongkatnya. Ayesha memeluk bahunya dan berbisik untuk menenangkan hatinya. "Tidak apa-apa, ayah. Aisyah hanya terkejut saja. Emosinya sedang tidak stabil."
Di dalam kamar, Shoaib mencoba menenangkannya. "Tidak apa-apa, Aisyah. Itu hanyalah seekor kelinci. Kita bisa membelinya lagi. Aku yakin ayah tidak sengaja melakukannya." Aisyah menepis semua itu dan mulai berbicara ngelantur. Airmatanya masih beberapa kali mengalir membasahi pipi merahnya. "Itu bukan hanya sekedar seekor kelinci bagiku. Tetapi itu adalah sebuah kenangan. Kenangan kita berdua. Anda tidak pernah memahamiku. Anda tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku. Anda selalu membela orang tua bangka itu walaupun jelas-jelas dia salah. Seharusnya waktu itu aku membunuhnya supaya cepat menyusul ibumu di kuburan. Lebih baik aku tinggal di penjara saja daripada harus melihat wajah orang tua bangka itu. Kadang aku merasa kasihan kepada anda karena memiliki ayah seperti dia."
"Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Ucapan Aisyah sudah sangat keterlaluan. Emosi Shoaib naik dan wajahnya memerah mendengarnya. Ekspresinya berubah dan satu tamparan keras mendarat dipipinya. Itu dengan ampuh dapat menghentikan ocehan Aisyah. Ia menunduk sambil memegangi pipi kirinya. Itu adalah kali pertama Shoaib bersikap kasar padanya. Shoaib keluar dan membanting keras pintu itu. Pikiran Aisyah menjadi tidak karuan setelah mendapat tamparan dari suaminya. Sejak detik itu ia sangat membenci suaminya. Dirasakan dunia seketika hancur. Tidak ada orang yang dapat dipercaya lagi sekarang. Tidak ada yang peduli padanya. Satu-satunya orang itu telah hilang. Ia telah bergabung bersama ayahnya untuk menyiksa dirinya. Aisyah kemudian membuka lemarinya dan mengemasi barang-barangnya. Ia akan pergi dari rumah malam ini juga. Shoaib masuk ke kamar Aisyah pada jam sembilan malam. Ia merasa sangat bersalah telah menamparnya. Ia tidur sambil memeluk Aisyah dari belakang. Aisyah diam saja merasakan suaminya memeluk dirinya. "Aisyah, maafkan aku. Aku salah." Namun perkataan itu sama sekali tidak merubah niatnya. Amarahnya sudah memuncak dan keputusannya sudah final.
Dini hari pada pukul satu, Aisyah bangun secara diam-diam dan melepaskan pelukan Shoaib. Ia membuka pintu dengan sangat halus nyaris tidak terdengar. Ia kemudian keluar berjalan seorang diri di jalanan yang lenggang dengan satu tas punggung yang berisi pakaian dan uang dari tabungannya selama ini. Ia berjalan menuju halte bus. Satu jam kemudian bis datang dan menjemputnya. Empat jam berlalu dan Aisyah belum juga turun di setiap pemberhentian bis. Ia tetap duduk di kursinya dan memandang keluar jendela. Ia telah meninggalkan semuanya. Meninggalkan ingatan dan kenangan jauh di belakang sejauh bis itu melaju. Meninggalkan suaminya yang sangat dicintainya. Meninggalkan semua kenangan indah bersamanya. Ia kemudian melepaskan cincin nikahnya dan memasukkan kedalam tas. Ia mengelus perutnya sambil berbisik, "Ayahmu sudah mati, nak. Mama akan selalu bersamamu. Jangan khawatir. Kita akan bahagia, hanya kau dan mama."
Akhirnya kondektur bis menghampirinya dan bertanya kemana tujuannya. Kemudian ia bertanya dimana tujuan akhir bis ini. Aisyah menyebutkan nama kota yang berjarak dua halte bis sebelum tujuan akhir bis tersebut. Bis itu pun berhenti di halte itu dan Aisyah turun. Waktu itu waktu sholat subuh. Aisyah berjalan mencari masjid terdekat lalu menunaikan sholat disana. Tidak ada lagi airmatanya yang mengalir. Ia telah berjanji untuk melupakan semuanya dan meneruskan hidupnya yang baru bersama anaknya. Ia sudah terlalu lelah dengan semuanya. Seusai sholat ia berjalan keluar menyusuri jalan beraspal itu. Ia menyusuri pertokoan berharap jika ia bisa mencoba melamar pekerjaan disana. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang memerlukan pekerja baru, apalagi seorang ibu hamil. Ia terus berjalan dan mencari lowongan pekerjaan. Harapan tidak semudah itu. Seharian itu ia terus berjalan dan memasuki beberapa toko. Namun tidak ada hasilnya. Untung saja ia membawa uang tabungannya. Aisyah masih bisa makan dengan layak namun ia harus menghematnya. Siapa tahu beberapa hari kedepan ia masih belum mendapatkan pekerjaan.
Malam itu ia tidur di masjid yang dijumpainya. Pintu masjid dikunci. Maka ia tidur di teras masjid. Dinginnya keramik putih itu membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Namun itu lebih baik daripada hujan. Ia dapat mendengar setiap deruan angin yang menerpa dedauan. Ia dapat menghitung suara kendaraan yang melintas didepan masjid sampai subuh tiba karena ia sama sekali tidak bisa tidur. Ia juga dapat mendengar jelas suara seseorang yang naik ke lantai keramik masjid lalu membuka pintu dan mengumandangkan adzan subuh. Ia bangun setelahnya untuk mengambil wudhu dan menunaikan sholat. Badannya dirasakan sakit semua. Seusai sholat ia duduk didalam sana hingga matahari naik. Kemudian ia berjalan lagi untuk mencari peruntungannya.
Hari itu sama saja seperti kemarin. Ia tidak mendapatkan hasil. Uang tabungannya terus terkuras untuk membeli makanan. Ia masih bisa bertahan lima hari lagi dengan uang itu. Jika uangnya habis, maka ia harus meminta-minta pada orang-orang sekitar yang mungkin akan mengasihaninya dan berbaik hati untuk membagi makanan padanya. Hari kedua itu ia tidur di masjid terdekat yang dijumpainya. Hal itu berlangsung hingga hari keempat. Di hari keempat, fisik Aisyah semakin lemas karena berjalan begitu jauhnya. Itu terlihat jelas diwajahnya. Wajahnya yang putih pun mulai kusam tidak terawat. Mata birunya tampak sendu berputus asa. Sampai kapan ia harus hidup dijalan tanpa tujuan. Apakah ia harus kembali ke Shoaib.
Pada saat itulah pertolongan Allah datang. Rejeki anak yang dikandungnya datang lebih cepat kepada ibunya. Menjelang sholat magrib, seorang ibu yang terbiasa sholat di masjid, ia memperhatikan wajah kusam Aisyah. Tampaknya dia adalah seorang perantau. Wajahnya yang lelah dan gerakan tubuhnya yang tidak bertenaga. Sepertinya dia telah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Terlebih lagi Aisyah memiliki wajah bule yang menjadi ciri khasnya. Setelah sholat, Aisyah menyandarkan punggungnya ke tembok lalu memejamkan matanya. Ia berdzikir tenang sambil mengistirahatkan punggungnya. Satu hari lagi telah berlalu. Ia akan berusaha semakin kuat lagi dan lebih berusaha setiap harinya. Malam ini ia akan tidur di masjid lagi, batinnya.
"Kau darimana, nak?" Ibu-ibu paruh baya itu menyapanya menggunakan bahasa inggris. Aisyah membuka matanya dan terlihat ibu itu sedang duduk didepannya. Kemudian ia membenarkan duduknya lalu menjawab dengan suara paraunya. "Saya dari Amerika, bu. Awalnya saya disini tinggal bersama kerabat saya, namun mereka mengusir saya." Aisyah menjawabnya menggunakan bahasa Turki. Ibu itu terenyuh mendengarnya. Terlebih lagi melihat kondisi Aisyah yang sedang hamil. Mereka kemudian mengobrol lebih jauh dan menawarkan Aisyah agar tinggal dirumahnya untuk sementara waktu sampai ia mendapatkan pekerjaan.
Singkat cerita, akhirnya Aisyah bekerja di toko baju beberapa meter dari tempatnya tinggal. Perjuangannya selama beberapa hari terakhir akhirnya tertebus juga. Ia sujud syukur kepada tuhannya, tuhan yang maha baik. Hari-hari berikutnya wajah putihnya yang tertutup cadar itu mulai terawat dan bersinar kembali. Ketika ia mencoba untuk menghidupkan handphonenya, terlihat banyak sekali telpon dan pesan yang masuk dari Shoaib. Tertulis tiga ratus dua puluh enam panggilan tidak terjawab dan seratus dua pesan baru. Aisyah tidak menunjukkan ekspresi wajah yang signifikan. Tiga menit kemudian, ada panggilan masuk dari Shoaib lagi. Aisyah segera meraihnya pada dering kedua lalu menonaktifkannya lagi.
Ia akan mengaktifkan handphonenya ketika ia sudah membeli nomor baru. Minggu-minggu selanjutnya ia lalui dengan bekerja keras dan mencari uang sebanyak-banyaknya untuk calon anaknya. Di tempat yang berbeda, Shoaib telah kehilangan sebelah sayapnya. Hidupnya menjadi hampa tanpa Aisyah. Ia sering kali melupakan tentang kebahagiaan istri keduanya, Ayesha. Shoaib hidup dengan semaunya sendiri dan sering tidak pulang ke rumah beberapa hari demi mencari Aisyah. Ia mementingkan egonya tanpa berpikir Ayesha yang selalu menantinya di rumah. Selama operasi juga bayang-bayang Aisyah kerap kali muncul. Ia berusaha keras untuk berkonsentrasi sejenak saja.
Ia juga meminta bantuan kepolisian untuk melacak keberadaan Aisyah. Namun dikarenakan kerja mereka yang setengah-setengah dan tidak serius maka tidak ada hasil yang memuaskan. Terpaksa Shoaib harus mencari istrinya seorang diri dan mengandalkan tenaganya sendiri. Ia menyusuri setiap jalur taksi ataupun bis yang kemungkinan besar pernah dinaiki oleh Aisyah. Ia menghabiskan banyak sekali liter bensin demi menemukan Aisyah. Namun itu semua sia-sia. Aisyah menghilang dan sama sekali tidak meninggalkan jejak. Ia menghilang bagai buih di lautan. Hari-hari pemuda itu menjadi hampa. Hidup tidak ada artinya lagi baginya. Hidupnya hanya ia habiskan di rumah sakit dan jalan raya. Tidak ada satu orangpun yang pernah melihat Aisyah. Tak jarang ia menangis sendirian di pojok rumah sakit atau di dalam perjalanannya. Kemudian ia mengecek rekeningnya. Aisyahpun tidak mengambil uang itu sepeserpun dari sana sehingga tidak memungkinkan untuk Shoaib melacaknya.
Ia tidak pernah putus asa mencari dan mencari. Disamping lain, ia juga kepikiran akan anaknya yang tengah dikandung Aisyah. Ia yakin bahwa Aisyah masih ada di Turki karena ia tidak memiliki uang yang cukup untuk pulang ke Amerika. Pencarian itu berlanjut hingga anak yang dikandung Aisyah lahir dan berusia tiga tahun. Beberapa bulan yang lalu Aisyah pindah kerja di toko yang lain dikarenakan gajinya lebih tinggi dibandingkan dengan toko baju tempatnya bekerja. Toko itu menjual gandum dan bahan pokok lainnya. Tugasnya adalah mengangkat bahan-bahan mentah itu yang datang dari truk. Ia memanggulnya diatas punggungnya dan membawanya masuk ke dalam toko.
"Musa, sini." Anak laki-laki yang berusia tiga tahun itupun menghampirinya. Aisyah duduk di kursi merapikan baju yang dipakai anaknya. Pagi itu mereka berdua sudah sarapan dan lima menit lagi Aisyah akan pergi bekerja. "Tahun depan Musa akan sekolah. Apakah Musa siap bertemu teman-teman baru?" Anak kecil itu tersenyum gembira. "Benarkah? Aku akan ke sekolah?" Ibunya mengangguk mengiyakan. Anak kecil itu lompat-lompat bahagia. "Aku akan ke sekolah, aku akan ke sekolah."
Mereka berdua sudah pindah rumah dan mengontrak secara mandiri. Jarak kontrakan dan tempatnya bekerja hanya beberapa meter saja. Jadi Aisyah bisa bekerja sambil mengawasi anaknya yang masuk dan keluar rumah. Ketika Aisyah bekerja, Musa lebih sering bermain diluar bersama anak-anak tetangga. Kadang berlarian, bermain kelereng, petak umpet, dan permainan lainnya. Suatu hari Musa menghampiri ibunya di toko sambil menangis. "Kenapa Musa tidak punya ayah? Teman-teman Musa semua punya ayah." Itulah pertama kalinya Aisyah teringat kembali tentang suaminya dan kenangan-kenangan itu.
Hatinya terenyuh mendengarnya. "Musa punya ayah seperti teman-teman. Hanya saja ayah Musa sekarang bekerja jauh sekali untuk mencarikan kita uang supaya Musa bisa bersekolah." Anak kecil itu tersenyum kembali. "Benarkah Musa punya ayah? Seperti apa ayah Musa? Apakah dia tampan?" Aisyah memaksakan senyumannya lalu memangku putranya. Ia memutar kembali ingatannya tentang Shoaib. Ia tersesat kembali ke ingatan-ingatan masa lalunya.
"Ayahmu sangat tampan sekali. Hidungnya mancung, rahangnya runcing, bola matanya sehitam telaga pada malam hari, bibirnya indah, rambutnya hitam menjuntai hingga menggapai alisnya. Ketika dia berbicara, suaranya sangat lembut didengar." Tidak terasa Aisyah tersenyum diujung kalimatnya. Musa memandang kosong kedepan sambil membayangkan sosok ayahnya itu. "Kapan ayah pulang, ma?" Aisyah memeluknya lembut. "Nanti saat ayah sudah punya banyak uang lalu akan menjemput kita."
Itulah saat-saat sulit baginya ketika ia harus mengarang cerita tentang Shoaib. Sepertinya suaminya disana juga masih merahasiakan tentang kaburnya Aisyah. Itu terbukti ketika Aisyah menelpon mereka. Orangtuanya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Mereka berbicara seperti biasanya. Aisyah juga beberapa kali mengirimkan foto-foto Musa sedari bayi sampai sekarang. Terkadang ia juga harus berbohong ketika ayah dan ibunya bertanya tentang Shoaib. "Dia ada di rumah. Baru saja selesai sarapan", "Akhir-akhir ini dia sibuk sekali. Jadwalnya di rumah sakit sangat padat", "Kita semua sehat, alhamdulillah. Tadi Shoaib juga sudah meminum obatnya."
Di tahun itu, Aisyah mulai mengajari anaknya membaca dan menulis. Musa sudah mengenal huruf, angka, nama-nama buah, nama-nama binatang. "Yang ini harganya berapa?" Saat Aisyah pergi ke toko buku hendak membeli peralatan menulisnya, tiba-tiba ada yang seseorang yang mengenali suaranya. Setelah berpisah sekian lama, Chris masih mengenali suara itu. Aisyah hampir saja menangis melihat pemuda itu yang berdiri didepannya. Ia kehabisan kata-kata. Perasaan yang dulu sempat terpendam itu muncul lagi ke permukaan. Percintaan masa-masa SMA.
Aisyah menjamunya di kontakan kecil itu. Chris masih belum bertanya apa-apa tentang kehidupannya. Diawal-awal, Aisyah bertanya banyak hal tentang Chris dan bagaimana bisa ia sampai di Turki. Chris telah dipindah tugaskan. Ia diberi pilihan beberapa negara. Melihat nama negara Turki ada di list itu, ia langsung mengambil kesempatan itu dan pergi kesana. Niatnya hanyalah satu, ia berharap bahwa ia bisa dipertemukan kembali dengan Aisyah, kekasih pujaannya. Mengingat bahwa gadis itu menjalani hubungan dengan pemuda asal Turki, siapa tahu Aisyah juga ikut pindah kesana dan benar-benar menikah dengan pemuda Turki itu. Ternyata instingnya benar dan Allah menakdirkan mereka bertemu lagi di masa depan. Allah memberi Aisyah kesempatan sekali lagi. Jalan manakah yang akan ditempuhnya.
Sementara itu Chris memberikan waktu untuk mereka berdua meredakan sejenak keterkejutan atas pertemuan mereka yang tiba-tiba itu. Tadi Chris juga sempat melihat Musa yang bermain bersama kawan-kawannya di halaman depan kontrakan. Tawanya melengking dibandingkan dengan anak-anak yang lainnya. Musa tumbuh sebagai anak yang ceria walaupun tanpa peran seorang bapak.
"Musa sangat tampan. Pasti itu karena ibu dan ayahnya. Perpaduan antara Amerika dan Turki." Chris perlahan menggiring Aisyah ke topik pembicaraan itu. Aisyah menunduk dan mulai teringat lagi oleh Shoaib. Kini ia bisa menumpahkan tangisnya tanpa adanya Musa di sekitar situ. Ia menangis seseunggukan mengingat kenangan-kenangannya bersama suaminya. Chris yang panik dan tidak tahu apa-apa itu berusaha untuk menenangkannya. Beberapa menit Aisyah menangis di bahunya. Chris diam saja dan mengelus-elus kepalanya. Hatinya serasa teriris melihat kondisi Aisyah saat ini.
Kehidupannya berbeda sekali tidak seperti apa yang telah diekspektasikan olehnya selama ini. Ia mengira bahwa Aisyah hidup bahagia bersama anak dan suaminya di rumah yang bertingkat dan mewah. Namun kenyataannya berbanding terbalik. Setelah Aisyah menghentikan tangisnya, ia mulai bercerita apa yang telah terjadi. Chris tidak bisa berkata apa-apa setelahnya. Hatinya hancur dan sakit mendengarnya. Ia tidak menyangka kehidupan seseorang yang dipujanya selama ini menjadi sangat menyedihkan. Jika saja dulu Aisyah mau bersamanya, tentulah ia akan bahagia dan tidak perlu jauh-jauh tinggal di pelosok Turki. Chris akan membawanya berkeliling dunia dan menghabiskan sisa umur mereka untuk berkeliling dari ujung ke ujung dunia.
"Paman ini siapa, ma?" Tanya Musa yang memasuki rumah. "Ini teman mama dulu saat di Amerika." Aisyah tersenyum mengajak Musa mendekat. Mendengar pernyataan itu, seketika mata biru Musa membelalak lebar sambil menyapanya menggunakan bahasa inggris yang fasih. "Hai, selamat siang. Namaku Muhammad Musa. Apa kabarmu, paman? Apakah paman senang berada di Turki?" Chris tersenyum mendengarnya. "Kau mengajarinya bahasa inggris dengan sangat baik, Aisyah", katanya kepada Aisyah. "Hai, jagoan kecil. Paman sangat senang disini. Orang-orang Turki juga sangat baik dan ramah seperti Musa. Apakah kau mau menjadi 'tour guide' paman untuk berkeliling daerah sini? Paman baru saja pindah kesini beberapa bulan yang lalu dan paman tidak bisa berbahasa Turki. Apakah Musa mau membantu paman?" Musa tersenyum bahagia mendengar ajakan itu. Kemudian ia merayu ibunya agar mengijinkannya keluar bersama Chris.
Hari-hari selanjutnya, Musa seperti telah menemukan sebagian peran sosok ayahnya yang telah lama hilang. Chris pun memanjakannya seperti anaknya sendiri. Jauh dilubuk hatinya ia juga masih mengharapkan Aisyah. Ia ingin bersamanya, memperbaiki masa lalu mereka yang kelam dan merajut masa depan yang bahagia. Ia ingin mengajak Aisyah menuju kebahagiaan didepan sana. Namun saat ini ia akan mencoba merayu Aisyah melalui putranya. Chris mengajak Musa ke berbagai tempat wisata. Ia juga mengajaknya mencicipi berbagai makanan di restoran maupun warung tepi jalan. Berbagai rasa sudah mereka cicipi dan berbagai pemandangan indah sudah mereka kunjungi. Chris dan Musa semakin dekat setiap harinya. Namun Aisyah tidak ikut bersama mereka karena sibuk bekerja walaupun Chris dan Musa sering mengajaknya.
Kadang jika Chris tidak datang kerumahnya, Musa sering menanyakannya. Aisyah mencoba membuatnya mengerti bahwa Chris juga sibuk bekerja. Tak hanya sekali dan dua kali Musa merengek kepada ibunya untuk menyusul ke kantor tempat Chris bekerja. Tak jarang juga Musa melakukan panggilan video kepada Chris melalui handphone ibunya. Dengan itu mereka merasa dekat walau terpisah jarak. Musa pun tidak merengek lagi setelah melihat wajah Chris di panggilan video. Namun pada suatu hari, Aisyah mengalami kecelakaan kecil di tempat kerjanya. Beban yang berada dipunggungnya terlalu berat dan meleset jatuh. Seketika tangan kanannya yang berusaha menyanggah terasa sangat sakit. Beberapa hari kemudian, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi dan Aisyah tidak bisa melakukan pekerjaannya lagi. Lengan kanannya juga mengalami pembengkakan dan membiru. Bosnya segera membawanya ke rumah sakit. Ketika dilarikan ke rumah sakit, Aisyah tidak sadarkan diri. Hasil ronsen menunjukkan bahwa tulangnya retak. Aisyah pingsan tidak kuat menahan rasa sakit itu yang semakin hebat.
Tanpa pikir panjang, bosnya meminta untuk dilakukan operasi dan menghambat sesuatu yang lebih buruk terjadi pada anak buahnya itu. Pihak rumah sakit segera menghubungi dokter spesialis untuk menanganinya. Di dalam ruang operasi, ia setengah sadar dan melihat samar-samar dokter yang sedang melakukan tugasnya itu. Ia terbangun ketika sudah berbaring di kamar rawat inap. Ia melihat selang disebelah kirinya dan pertanyaan pertama kalinya kepada suster adalah dimana putranya. Suster berkata bahwa anaknya sekarang bersama seseorang bernama Chris. Maka suster berkata padanya agar jangan khawatir.
Biaya operasi dan rawat inap juga sudah dibayar oleh seseorang yang ia tidak ingin Aisyah mengetahui siapa dia, yang pasti itu bukan Chris ataupun bosnya. Orang itu mendahului mereka untuk melakukannya. Biasanya setelah operasi, sang dokter akan segera menjenguk sang pasien ketika ia sadar. Namun tidak kali ini. Ia hanya menjenguk Aisyah diam-diam dengan melihatnya dari balik pintu ataupun menjenguknya ketika Aisyah tertidur. Rekan-rekannya bingung kenapa sang dokter bertingkah seperti itu. Ia hanya menggeleng tidak menjelaskan dan berlalu begitu saja. Ia lebih sering datang ke rumah sakit sejak saat itu dan perhatiannya hanyalah tertuju pada kamar Aisyah.