Menit demi menit berlalu. Shoaib terlelap di pangkuannya. Aisyah membelai lembut rambut hitamnya itu. Ia menyibakkan helaian rambut yang menutupi dahinya lalu ia menikmati setiap jengkal wajahnya yang putih itu. Ia menyusuri hidungnya yang mancung, rahangnya yang runcing, dahinya yang lebar, matanya yang menutup, dan alisnya yang tebal. Ia jatuh cinta lagi kepada suaminya untuk yang kesekian kalinya. Di dalam lubuk hatinya, ia masih belum rela ketika harus membaginya dengan wanita lain. Ia ingin memilikinya seutuhnya. Kemudian ia meraih handphone suaminya diatas kasur dan mengaktifkannya. Ia ingin membaca chat suaminya dengan keluarganya di Amerika.
Yang pertama kali dibukanya adalah chat dari ibunya. "Assalamualaikum, menantu tampanku. Apa kabarmu? Bagaimana kabar Aisyah?" Aisyah tersenyum membaca kalimat itu. Suaminya tampaknya juga merahasiakan semuanya. Ia mengerti bahwa Aisyah tidak pernah mau membuat mereka khawatir tentang keadaannya. Ia kemudian menscroll layar itu dan membaca pesan demi pesan ibunya. Ternyata ibunya kerap kali mengirimkan foto selfienya bersama Ayahnya. Kadang ayah terlihat senyum ke kamera dan kadang juga ayah tidak menyadari bahwa sedang difoto. Ayahnya terlihat masih sama seperti sebelumnya. Tidak menua dan warna rambutnya pun masih sama. Seketika ia teringat ketika terakhir kalinya ia membantu menyisir rambut ayahnya ketika ia buru-buru berangkat ke kantor. Saat itu adalah hari dimana menjelang kelulusan SMA nya.
Aisyah menscroll layar itu lagi. "Aisyah kemana? Handphone kok tidak pernah aktif sekarang? Apakah semua baik-baik saja?" Perlahan air matanya menetes dan jatuh ke pipi suaminya. Dengan cepat ia mengusapnya pelan dan berusaha untuk tidak membangunkannya. Ia menscroll chat itu lagi. "Mama sangat menginginkan cucu. Buatkanlah mama cucu yang imut-imut secepatnya ya. Mama sangat ingin melihat wajah imut dari anak-anak kalian berdua. Pasti sangat cantik dan tampan seperti kalian berdua." Ia mengusap air matanya sekali lagi. Kemudian ia menutup chat itu dan berlanjut membuka chat dari ayahnya.
Pesan pertama: "Ayah selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian berdua. Semoga pekerjaanmu sukses dan mendapatkan ridho Allah. Kalau membutuhkan sesuatu, jangan sungkan-sungkan untuk memberitahu ayah ya. Ayah akan berusaha untuk membantu finansial kalian."
Pesan kedua: "Menurut ayah, sebaiknya Shoaib keluar dari pelayan rumah makan. Di desa kan ada kambing, Shoaib bisa mulai fokus merawat mereka lalu hasilnya dijual. Itu lebih menjanjikan. Apalagi hari raya Idul Adha sudah semakin dekat. Pasti akan mendapat untung banyak. Disamping sisi, ayah juga sangat menginginkan cucu dari kalian. Sering-seringlah berada dirumah. Terkadang, terlalu banyak bekerja juga tidak baik. Tubuh juga memerlukan istirahat. Jangan paksakan dirimu. Jenjang pekerjaanmu sudah sangat menjanjikan sebagai calon dokter spesialis tulang. Ayah tidak menuntutmu untuk menjadi menantu yang kaya raya, namun tetaplah disamping Aisyah dimanapun kau berada. Aisyah tidak akan menuntutmu tentang keadaan finansialmu. Tetapi yang dia butuhkan adalah perhatian dan kasih sayang darimu."
Pesan ketiga: "Tidak apa-apa, jangan bersedih. Mungkin Allah masih menyiapkan calon anak-anak kalian yang sholeh dan sholehah diatas sana. Bersabarlah dan terus berusaha. Kami disini juga akan bersabar menunggu kabar bahagia itu."
Pesan keempat: "Selamat ya atas pekerjaanmu. Semoga sebagai dokter spesialis tulang, kau bisa menyelamatkan mereka diluar sana lebih banyak lagi dan membuat mereka tersenyum kembali. Tolong sampaikan salam ayah kepada Aisyah. Dia tidak pernah online sejak saat itu. Memang menjadi ibu rumah tangga sangatlah berat. Ayah dapat memahaminya. Ibu Aisyah juga terkadang tidak memiliki waktu itu memegang handphone. Mereka berdua memanglah sama."
Airmatanya sudah mengucur deras sejak tadi. Ia mengusapnya berulang kali. Kemudian ia membuka pesan kakaknya. Terlihat bahwa mereka jarang sekali berkomunikasi. Shoaib hanya mengirimkan foto-foto Aisyah yang diambilnya diam-diam ketika ia sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Kakaknya pun membalasnya hanya sekedarnya saja. Mereka sangat menjaga hubungan kakak dan adik ipar agar tidak ada fitnah diantara mereka berdua. Foto pertama yang dikirim oleh Shoaib adalah ketika Aisyah sedang mencuci piring di dapur. Foto itu diambil dari arah belakang. Terlihat lengan panjang Aisyah yang digulung sampai ke siku. Rambut dan badannya tertutup rapi oleh jilbab dan baju khas Turki.
Foto kedua adalah ketika Aisyah duduk berjongkok dan mengepel lantai. Foto itu diambil ketika Shoaib duduk di depan TV. Terlihat dari sana Aisyah yang sedang mengepel lorong rumah. Foto ketiga diambil ketika Aisyah sedang bercanda dengan Mahira. Ia tidak tahu bahwa Shoaib memfotonya kala itu. Difoto itu ia terlihat tersenyum sambil memandang lawan bicaranya.
Aisyah tersenyum melihat foto-foto itu. Beberapa saat kemudian, Shoaib terbangun dan terkejut melihat kedua mata Aisyah yang berkaca-kaca. Ia khawatir dan bertanya apa yang telah terjadi. Aisyah menggeleng dan menyerahkan handphone suaminya kembali. Ia terharu setelah membaca chat suaminya dan keluarganya di Amerika. Siangnya mereka makan di restoran yang berada di lantai dua hotel itu. Mereka menaiki lift dan turun ke bawah. Setelah makan, Shoaib mengajaknya ke area fitness. Di dalam sana mereka berpisah dan menuju alat olahraga favoritnya masing-masing. Sedari tadi Aisyah merasa ada yang mengawasi suaminya dari kejauhan, seorang wanita. Aisyah diam saja dan terus melakukan aktifitas olahraganya.
Dan benar dugaannya, beberapa menit kemudian wanita itu berjalan mendekat kearah suaminya. Aisyah diam saja ditempat. Ia berusaha untuk berpikir positif. Mungkin saja dia adalah salah satu kenalannya di rumah sakit. Aisyah dapat mendengar percakapan mereka samar-samar dari kejauhan. Wanita itu mengira bahwa Shoaib belum menikah dan ia terus merayunya. Awalnya Shoaib biasa saja dan tidak menduga niatnya itu. Sampai akhirnya wanita itu mengajaknya untuk berkencan. Shoaib dengan sopan menolaknya. Wajah Aisyah yang mendengar itu sudah memerah karena marah. Wanita itu terus merayu dan mendesaknya agar mau diajaknya berkencan. Aisyah merasa gemas sekali kenapa suaminya tidak menolaknya dengan kasar. Sikap lembutnya itu semakin membuat wanita itu nekad. Akhirnya pemuda itu menunjukkan cincin nikahnya dan mengatakan bahwa ia sudah menikah. Ia kemudian menunjuk kearah Aisyah. Menyadarinya, Aisyah menunduk tidak menghiraukan mereka, berpura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Setelah itu, terlihat ekspresi kecewa dari wanita itu dan meninggalkan Shoaib seorang diri. Shoaib tahu bahwa sedari tadi Aisyah memperhatikan. Kemudian ia menghampirinya sambil menggoda. "Apakah Aisyah cemburu?" Aisyah mengelaknya dan tidak mengakui perasaannya. "Kalau tidak cemburu, lalu apa ini? Kenapa nada suara Aisyah meninggi?" Gadis itu tidak bisa menjawabnya. Ia memicingkan matanya kesal kearah pemuda itu. Shoaib tertawa melihatnya. Kemudian ia membisikkan sebuah kata. "Muhammad Musa" Aisyah seketika tersenyum dibalik cadarnya. Ia teringat akan apa yang mereka berdua lakukan semalam. Wajahnya tersipu malu. Setelah sekian lama, ia akhirnya merasakan pelukan dari pemuda itu lagi.
Hari-hari mereka di hotel menjadi hari yang menyenangkan lagi. Tidak ada masalah yang berarti dan mereka melanjutkan aktifitasnya disana. Mereka juga mencoba beberapa fasilitas hotel, seperti spa, sauna, salon, dan mereka juga menonton film-film bioskop yang tersedia di TV kamar mereka. Aisyah sering melihat film-film layar lebar produksi Amerika. Sudah lama ia tidak menontonnya. Shoaib juga ikut menonton disebelah sambil memeluknya.
Terkadang Aisyah memperkenalkan siapa sang aktor dan sang aktris yang memerankan tokoh di film itu. Shoaib mengangguk-angguk mendengarnya. Selama di hotel, tak jarang ada telpon masuk silih berganti di handphone nya dari para dokter maupun teman-teman kampusnya untuk bertanya dimana lokasinya sekarang. Mereka yang ingin berdiskusi dengannya, menemuinya di hotel tersebut dan berbicara di lobi bawah. Adik-adik juniornya juga datang untuk berdiskusi tentang skripsi yang sedang mereka tulis dan menanyakan beberapa hal padanya.
Malam telah tiba. "Ayo besok kita ke Ayasofya", ajak Shoaib. "Tetapi kan besok lusanya ada seminar. Nanti kalau anda kecapekan bagaimana?" Aisyah mencoba menolak ajakan itu. Akhirnya mereka memutuskan akan mengunjungi Masjid Ayasofya setelah seminar. Satu hari lagi berlalu. Paginya mereka bersiap-siap untuk menuju ke gedung tempat seminar diselenggarakan. Setelah sarapan, Shoaib mengambil mobilnya di basemen hotel lalu menyetirnya ke pintu depan hotel. Aisyah berdiri disana menunggunya. Jalan raya Turki pagi itu lenggang dan hanya ada beberapa mobil saja yang melintas. "Kenapa Aisyah memandangiku seperti itu?", tanya Shoaib tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya. Aisyah tersenyum. Ternyata pemuda itu menyadari bahwa sedari tadi Aisyah memandanginya. "Anda terlihat sangat tampan, tuan."
Sesampainya didepan gedung mewah itu, sekali lagi Aisyah merapikan jas hitam suaminya. Kemudian terlihat beberapa orang menyambut dan bersalaman dengan suaminya. Salah seorang panitia menawarinya untuk memarkirkan mobilnya ke basemen gedung. Shoaib mempersilahkannya dan mengoper kunci itu. Sepanjang jalan menuju ruang seminar, beberapa orang terus berdatangan dan menyalaminya. Beberapa diantaranya berjalan disampingnya dan mengajak berbicara. Shoaib membalas percakapan itu dengan wibawa dan kharismanya. Beberapa diantara mereka adalah para dokter dari berbagai kota di Turki yang menjadi pembicara juga di seminar. Para panitia acara mempersilahkan Aisyah untuk duduk di kursi deretan paling depan dan Shoaib langsung menuju kursi diatas panggung. Beberapa saat kemudian, seminar dimulai.
Sang pembawa acarapun membuka seminar itu dan menyampaikan pengantar menuju topik pembahasan sesuai tema. Kemudian Shoaib dipanggil namanya pertama kali untuk menyampaikan materinya didepan panggung. Ia berdiri dibelakang podium dan melihat layar LCD proyektor yang terpampang lebar disamping kirinya. Panitia pun segera membuka powerpoint yang telah dibuat oleh Shoaib beberapa hari sebelumnya. Setelah menyampaikan pembahasan general, kemudian ia berlanjut ke topik yang lebih mendalam. Rambut hitamnya yang sedikit basah oleh jel pomade terlihat rapi disisir kebelakang. Beberapa helai rambutnya sedikit menjuntai kearah samping didepan daun telinganya. Ia memang sengaja menatanya sedemikian rupa. Ia benar-benar mirip seperti Zayn Malik.
Aisyah menyaksikan presentasinya tanpa berkedip. Ia memperhatikan setiap gerakan tangannya, setiap gerakan bola mata hitam itu, setiap gerakan bibirnya, dan nada suaranya yang terdengar lembut. Ia jatuh cinta lagi padanya. Ia terlihat seksi walaupun dengan ekspresi wajah yang serius. "Berdasarkan tekniknya, ada banyak jenis operasi tulang belakang. Akan tetapi, secara umum operasi tulang belakang dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pertama adalah operasi dekompresi. Operasi dekompresi antara lain laminotomi, laminektomi, dan diskektomi. Sedangkan operasi stabilisasi antara lain adalah fusi tulang belakang, vertebroplasti, dan kifoplasti. Baik operasi dekompresi maupun operasi stabilisasi, tujuannya adalah untuk menghilangkan nyeri dan kelumpuhan akibat gangguan pada saraf tulang belakang.
Operasi dekompresi bertujuan menghilangkan nyeri akibat gangguan saraf tulang belakang dengan cara menghilangkan bagian dari tulang belakang yang menekan saraf tulang belakang. Sedangkan operasi stabilisasi bertujuan menghilangkan nyeri dengan cara menstabilkan posisi tulang belakang untuk mencegah munculnya kembali tekanan pada saraf tulang belakang. Jika dibutuhkan, operasi dekompresi dan stabilisasi dapat dilakukan bersamaan dalam satu prosedur operasi."
Lima belas menit berlangsung. Setelah menyampaikan materinya, dokter muda itu duduk kembali ke kursi. Sang pembawa acara naik menggantikan posisinya lalu memanggil dokter selanjutnya untuk menyampaikan materi. Sesekali Shoaib memandang kearah Aisyah yang duduk diantara para hadirin. Shoaib tidak bisa menahan senyumnya ketika mata hitamnya bertemu dengan mata biru itu. Melihat senyuman Shoaib, seketika membuat detak jantung Aisyah berdetak semakin cepat. Entah apa yang terjadi, padahal ia selalu bersamanya maupun siang ataupun malam, wajah yang sama selalu dilihatnya dan selalu berada dibenaknya maupun dalam mimpi ataupun ketika bangun dari tidurnya. Namun setiap saat ia jatuh cinta lagi padanya seperti saat pertama kali pemuda itu menghubunginya melalui facebook.
Seminar itu selesai pada pukul sebelas siang. Seusai sesi tanya jawab, sang pembawa acara menutup seminar itu dan mengucapkan salam. Semua orang bangkit dari kursinya dan menuju pintu keluar. Beberapa orang dan dokter-dokter itu mengajak Shoaib dan istrinya untuk makan siang bersama. Tetapi Shoaib menolaknya dengan sopan dan mengatakan bahwa ia akan pergi ke Ayasofya dan akan makan siang di sekitar sana. Kemudian ia pamit lalu menuju ke mobilnya.
Panitia yang tadi pagi memarkirkan mobilnya, ia dengan sigap membawa mobil sedan hitam itu kembali ke depan gedung. Beberapa detik kemudian Shoaib dan Aisyah menghampirinya dan mengucapkan terimakasih. Sesampainya di kawasan Masjid Ayasofya, Shoaib memarkirkan mobilnya di tepi jalan tak jauh dari halaman masjid itu. Sepanjang kakinya melangkah diatas rumput hijau itu, Aisyah tidak mengedipkan kedua matanya. Hatinya terus bersholawat dan berdzikir. Ia kagum dan takjub atas kebesaran Allah. Kemudian ia menoleh kearah Shoaib dan pemuda itupun juga menoleh kearahnya. Ia tersenyum manis kearah istrinya sambil terus menggenggam tangan kanannya.
Pohon-pohon rindang tampak rapi berjajar disetiap jalan berpaving itu. Bunga-bunga yang indah juga tampak bermekaran di tengah-tengah taman itu. Air mancur yang besar juga terlihat ditengah-tengahnya. Lampu-lampu taman dan kursi kayu panjang terlihat di beberapa spot. Sepasang suami istri itu kemudian berteduh sambil mengantri dibawah pepohonan yang rindang. Bangunan tertua yang megah itu menjadi topik utama setelah dibukanya kembali menjadi masjid. Semua orang-orang menjadi sangat antusias dan meramaikannya. Semua orang berlomba-lomba untuk sholat di dalamnya lima kali dalam sehari. Dalam sekejab orang-orang muslim mulai peduli lagi tentang agamanya.
Sejarah Ayasofya juga mulai dikumandangkan lagi di seantero Turki. Sejarah tentang perjuangan Sultan Al-Fatih dan janji Rasulullah. Aisyah teringat kembali tentang percakapannya dengan Shoaib tentang sejarah Turki dan Masjid Ayasofya ketika mereka berdua masih terpisahkan oleh jarak. Ia masih mengingatnya dengan jelas dan detail. Shoaib kemudian menunjuk kearah empat menara yang mengitari masjid itu dan berkata, "Dulu ketika Ayasofya masih berfungsi sebagai gereja, ini semua tidak ada. Saat Sultan Al-Fatih datang dan merubahnya menjadi masjid, maka empat menara itu dibangun. Bangunan aslinya adalah bangunan besar yang terletak ditengah-tengahnya."
Ketika mereka memasuki masjid, terlihatlah ukiran-ukiran kuno yang menghiasi dinding-dinding disana. Itu menambahkan kesan klasik dan mewah. Sebelum masuk ke ruang utama, semua pengunjung harus melepaskan alas kaki mereka dan menyimpannya di rak yang sudah disediakan. Lantai ruangan yang luas itu dilapisi oleh karpet hijau yang tebal, seperti halnya masjid pada umumnya. Lampu-lampu gantung yang besar memiliki bentuk melingkar seperti jam, terlihat di setiap langit-langit masjid. Lampu-lampu mewah itu menggantung rendah diatas para pengunjung. Lampu-lampu yang berwarna kuning menyinari dengan teduh ruangan yang berkarpet hijau itu.
Ayat-ayat suci Al-Qur'an kerap kali terlihat menghiasi setiap ornamen disana. Setelah melaksanakan sholat sunah tahiyatul masjid dua raka'at, mereka berdua melihat-lihat dan berkeliling sambil terus mengagung-agungkan nama Allah. Samar-samar Aisyah dapat mendengar beberapa gadis yang sedang membicarakan tentang ketampanan suaminya. Shoaib tidak menyadarinya dan terus memperhatikan ukiran-ukiran yang berada di langit-langit masjid. Wajah Aisyah perlahan memerah dan mendekat kearah suaminya berdiri lalu menggandeng tangannya. Shoaib terkejut melihat tindakan Aisyah yang tiba-tiba itu lalu ia bertanya dengan nada lembut, "Apakah Aisyah takut tersesat?" Masjid itu memang selalu dipenuhi oleh para pengunjung yang berdatangan silih-berganti. Aisyah bergeming dan hanya mengangguk saja. Shoaib merasakan ada sesuatu yang berbeda namun ia tidak tahu apakah itu.
Sampai akhirnya di dalam mobil, Aisyah berkata, "Apakah dari dulu para wanita selalu memujamu?" Alis suaminya terangkat mendengar pertanyaan itu. Ia masih belum memahami yang Aisyah ucapkan. "Selalu saja wanita-wanita yang melihatmu, mereka langsung jatuh hati padamu." Pemuda itu sekarang dapat menangkap topik pembicaraannya. "Wanita yang mana?" tanyanya dengan santai. Wajah putih Aisyah yang tanpa cadar itu kemudian perlahan memerah. "Tadi, di dalam masjid. Mereka mengikuti di belakang kita dan terus berbisik tentangmu. Mereka berkata bahwa kau sangat tampan, senyumanmu sangat indah, bulu-bulu halus di dagu dan rahangmu terlihat seksi, tatapan matamu juga indah." Shoaib tersenyum melihat ekspresi jengkel istrinya.
"Ternyata kemampuan bahasa Turki Aisyah sudah semakin bagus. Bahkan sekarang Aisyah bisa mengerti apa yang sedang mereka bisikkan." Shoaib tertawa diujung kalimatnya. Sedangkan gadis itu sama sekali tidak ada mood untuk tersenyum ataupun tertawa. Mendengar tidak ada respon dari Aisyah, Shoaib kemudian mengatakan tiga buah kata untuk menenangkan hatinya. "Aku hanyalah milikmu." Jantung Aisyah mulai berpacu dengan kencang mendengar ucapan itu.
Empat hari setelahnya, mereka tetap bermalam di hotel itu sambil menunggu jadwal seminar Shoaib selanjutnya. Ia masih harus mengisi dua seminar lagi. Salah satu panitia juga menelponnya untuk menawari kalau Shoaib memerlukan jemputan ke hotel dan menunjukinya jalan menuju lokasi gedung seminar. Shoaib mengiyakannya dan panitia yang bertugas menghampirinya dan menunggu di lobi hotel. Shoaib selalu mengajak Aisyah ke acara itu dan Aisyahpun tidak menolak.
Ia tertarik dan sangat menyukai acara-acara seperti itu. Setidaknya dengan mengikuti seminar dan mendengarkan sang pemateri berbicara diatas podium, itu membuat otaknya bekerja lagi seperti halnya ketika ia masih dibangku sekolah. Namun itu berbanding terbalik dengan Ayesha. Ia tidak pernah mau ketika Shoaib mengajaknya menghadiri acara semacam itu. Itu membuatnya pusing karena tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Berbeda sekali dengan Aisyah, ia dapat mengimbangi topik pembicaraan Shoaib. Ia adalah lawan bicara yang menyenangkan untuk membahas tentang segala topik. Frekuensi dan antusias mereka sama.
Waktu sore hari, hari terakhir di hotel. Aisyah sedang berjongkok memberi makan kelincinya didalam kandang besi. Senyuman manis itu mengembang. Kemudian Shoaib menghampirinya dan berjongkok disebelahnya. Sejenak ia menikmati senyuman gadis itu yang terlihat begitu lepas. "Aisyah, ayo pulang kerumah." Seketika ekspresi wajah istrinya berubah menjadi sendu. Ia tidak merespon apa-apa sampai detik ketiga. "Aku sudah membeli rumah baru untuk kita bertiga. Aku, Aisyah, dan Ayesha. Ayah akan tinggal didesa bersama Mahira dan salah seorang perawat. Mereka berdua akan menjaga ayah disana."
Aisyah masih bergeming tidak berkata apa-apa. Namun setidaknya itu dapat melegakan hatinya. Ia tidak sanggup lagi untuk satu rumah bersama ayah mertuanya. Kemudian ia memeluk Shoaib sambil berkata, "Ayo kita pulang." Sore itu juga mereka mengemasi barang-barang dan memasukkannya kembali ke bagasi mobil. Shoaib mengantarkan Aisyah ke rumah baru mereka. Setelah ia menurunkan dan memasukkan barang-barang dari bagasi mobil kedalam rumah, Shoaib kembali ke desa untuk menjemput Ayesha. Rumah ayahnya pun sudah ia renovasi dari hasil gajinya selama bekerja sebagai dokter tulang. Uang itu mengalir bagaikan air sungai tanpa bebatuan yang mengganjal. Itu semua juga tak lepas dari doa-doa orang sekitarnya, termasuk Aisyah. Oleh sebab itu juga, Shoaib mampu untuk membeli rumah dan memisahkan Aisyah dari ayahnya.
Awalnya ayahnya mencoba menghentikan kepergian Shoaib. "Apakah kau tega meninggalkan ayah yang sudah tua seperti ini? Apakah kau tega meninggalkan orang yang sudah membesarkanmu hingga menjadi dokter seperti sekarang?" Ia sempat luluh waktu itu. Namun ia teringat akan sikap ayahnya kepada Aisyah. Ia tidak mau melihat Aisyah menangis lagi. "Aku tidak pernah meninggalkan ayah. Jika ayah memerlukanku, aku akan segera datang kapanpun itu. Aku akan selalu ada untuk ayah. Lagipula, tidak baik jika menantu tinggal bersama mertua terus menerus, bukan? Aku juga ingin istri-istriku mandiri tanpa bantuan ayah. Aku akan mendidik mereka sendiri." Dengan kata-kata lembut darinya, akhirnya dengan berat hati ayahnya melepasnya pergi.
Kehidupan di rumah baru mereka berjalan dengan mulus walau ada sedikit kecemburuan diantara Aisyah dan Ayesha. Namun Shoaib berusaha untuk bersikap adil dan menengahi mereka berdua. Memang tidaklah mudah memiliki dua orang istri. Namun kondisinya saat ini lebih baik dibandingkan saat hidup serumah bersama ayahnya. Tidak ada lagi hinaan dan cacian, tidak ada lagi tangisan. Rumah itu menjadi surga kedua bagi Aisyah setelah rumahnya di Amerika. Walaupun rumah itu tidak lebih bagus dari apartemennya di Amerika, namun rumah itu lebih bagus daripada kontrakannya dulu.
Rumah satu lantai itu memiliki ruang tamu yang dipisahkan oleh dinding. Disebelah ruang tamu adalah garasi untuk mobil. Di belakang ruang tamu terdapat meja makan bersandingan dengan dapur. Sisi belakang rumah itu terdapat dua kamar yang berhadapan. Lantainya pun bersih berkeramik putih. Malam pertama dirumah itu Shoaib tidur dikamar Ayesha. Aisyah mulai belajar untuk menerima sebuah kenyataan bahwa suaminya memiliki dua istri.
Hari ketiga dirumah itu, Aisyah jatuh sakit. Ia pusing dan mual-mual sejak pukul satu dini hari. Akhirnya Ayesha yang memasak, menyapu, mencuci sendirian. Berbeda seperti hari-hari sebelumnya. Aisyah tidak bisa membantunya karena terus merasa mual. Ia juga tidak bisa menelan makanan. Makanan itu selalu dimuntahkannya. Pagi itu juga Shoaib mengantarkan Aisyah untuk periksa ke rumah sakit terdekat sebelum ia berangkat bekerja. Ia khawatir jika itu efek dari obat-obatan jenis baru yang diberikan oleh rumah sakit jiwa.
Dokter wanita itu tersenyum setelah memeriksa Aisyah. Wajah cemas Shoaib sama sekali tidak bisa menebak arti senyuman itu. Ia terus memandang kearah wajah Aisyah yang pucat dan lemas itu. "Istri anda sedang hamil, pak." Senyuman Shoaib seketika mengembang mendengar kabar gembira itu. Airmatanya juga nyaris terjatuh. Aisyah juga tersenyum lemah mendengarnya. Sepulang dari sana, Shoaib segera menelpon sanak keluarga Aisyah di Amerika dan mengabarkan tentang kehamilan Aisyah.
Kebahagiaan melimpah ruah dirumah sederhana itu. Namun tidak untuk ayah mertuanya. Ia bergeming tidak merespon apa-apa ketika Shoaib menyampaikan kabar gembira itu. Ia sama sekali tidak senang ketika harus mendapatkan cucu dari Aisyah. Walaupun begitu, ia diam saja dan membiarkannya. Ia tidak mau jika Shoaib semakin membencinya. Dua bulan setelahnya ia merasa sangat rindu kepada Ayesha, menantu keduanya. Shoaib tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk membawa Ayesha pulang mengunjungi ayahnya. Akhirnya ayahnya meminta Shoaib untuk membawanya bertemu Ayesha. Ia juga ingin melihat rumah baru yang ditinggali anaknya. Ia juga berjanji tidak akan mengganggu Aisyah ataupun berkomentar apapun padanya. Shoaib akhirnya mengabulkan permintaannya. Namun sebelumnya ia telah memberitahu Aisyah untuk tidak keluar kamar dan tidak menemui ayahnya. Namun ia tetap saja merasa khawatir walaupun ayahnya sudah berjanji.