Lima belas menit kemudian, ayahnya datang dengan beberapa polisi ke bar. Chris yang sudah mabuk parah tidak menyadari itu. Tiba-tiba satu tamparan yang keras melayang ke pipinya hingga ia terpelanting beberapa meter dan jatuh terduduk di lantai. Seketika, itu menjadi pusat perhatian oleh seisi bar. Musikpun berhenti. Keadaan berubah menjadi mencekam karena ada beberapa polisi ditempat itu. Tanpa basa-basi, ayahnya menyeret keluar putranya dan memasukkannya kedalam mobil. Chris yang masih linglung tak menyadari apapun sambil dirasakan pipinya yang terasa perih dan panas. Perlahan-lahan ia tertidur di sandaran kursi di samping ayahnya yang sedang menyetir.
Sesampainya di garasi, ayahnya memarkirkan mobil itu dan menggendong putranya di punggungnya. Ia menolak ketika beberapa pembantunya menawarkan diri untuk menggantikannya menggendong putranya. Ia berjalan menaiki satu per satu anak tangga yang terbuat dari kaca yang tebal itu dan melangkah menuju kamar Chris. Beberapa pembantu menyiapkan air hangat dan baju ganti untuk putranya. Ayahnya pun membaringkan putranya yang tertidur diatas kasur dengan perlahan. Diperhatikannya kondisi putranya itu yang menyedihkan. Bekas tamparan dipipinya juga membuat goresan luka kecil pada pipinya. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah melihat Chris dalam kondisi seperti ini. Beberapa pembantu masuk dan membersihkan tubuh Chris dari bercak darah kemudian ayahnya melangkah keluar kamar.
Chris tertidur dari jam 01:15 PM sampai 06:34 PM. Dirasakan kepalanya yang sangat berat. Kedua kepalan tangannya juga dibalut oleh perban putih. Terdapat luka pada sudut bibirnya dan pipi kirinya. Penampilannya sangat tidak karuan. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya. Hanya sebagian kecil saja yang diingatnya yaitu ketika Aisyah menolaknya kemudian ia memecahkan cermin di kamar mandi sekolah lalu ingatannya menangkap sebuah kejadian dimana ia sedang minum-minuman di bar. Sisanya, dia tidak mengingatnya sama sekali. Ia menyibakkan selimutnya kearah samping lalu berdiri. Chris berjalan gontai keluar kamar dengan matanya yang setengah menutup. Ia menuruni tangga dan meraih segelas air putih. Lampu-lampu perpaduan antara warna kuning dan putih terlihat menyinari ruangan luas itu.
Ia menengok kearah jam dinding. Tak lama kemudian didengarnya suara ayahnya yang menyebut namanya dari arah belakang. Ia terduduk di sofa panjang dan menyuruh putranya untuk menghampirinya. Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang tengah menahan amarah. Chris masih setengah sadar sampai ayahnya menampar pipi kanannya. Chris memandang ayahnya dengan tatapan yang bertanya-tanya sambil ia memegangi pipi kanannya yang terasa sangat sakit dan panas itu. "Dan itu untuk ulahmu di jalan raya." Chris masih terdiam mengingat-ingat apa yang telah dilakukannya. "Ayah masih tidak menyangka kalau kau akan melakukan itu semua. Kau tahu? Semua keonaran yang kau perbuat sudah membuat mama dan ayah sakit kepala", ucap ayahnya dengan nada tinggi. Ibunya hanya duduk terdiam disamping ayahnya. "Apa yang terjadi padamu sehingga kau membuat keonaran di sekolah dan kebut-kebutan di jalan raya?! Apakah kau sudah gila? Kau tau berapa biaya yang ayah keluarkan untuk mengganti rugi rumah sakit untuk para penjaga sekolah dan mobil-mobil yang saling bertabrakan karena ulahmu?" "Apa yang telah terjadi, ayah?" ucapnya dengan tatapan nanar. "Kau menghajar mereka semua dan beberapa diantaranya mengalami patah tulang. Ayah juga harus menutup kasus-kasusmu itu di kepolisian. Ayah tidak menyangka bahwa kau akan sangat merepotkan seperti ini. Apa yang terjadi padamu? Apakah ini semua karena wanita?" Chris menunduk lesu mendengarnya. Ia teringat akan Aisyah lagi.
"Jadi karena wanita?" ayahnya tersenyum sinis. Putranya masih terdiam tak merespon apa-apa. "Ayolah, Chris. Buka matamu lebar-lebar. Masih banyak yang mau denganmu. Lupakanlah dia dan carilah wanita yang lain." Nada suara ayahnya mulai melembut. Ia hanya mengangguk lesu. Memanglah banyak wanita di muka bumi ini selain Aisyah. Banyak wanita yang mau dengannya karena tergiur akan kekayaannya ataupun ketampanannya. Banyak wanita diluar sana yang menginginkannya. Namun hanya ada satu wanita yang terbaik baginya, Aisyah. Ia sangat langka bahkan untuk ratusan tahun kedepannya. Namun sekarang ia bahkan tidak berani untuk bertemu dengannya lagi. Ia tidak berani lagi untuk muncul didepan matanya. Dunia telah runtuh dan hancur. Ia kehilangan percaya dirinya untuk hidup. Kemana lagi ia harus bersembunyi dan menghilang dari peredaran. Bagaimana ia mendapatkan kepercayaan dirinya. Ia seperti terasingkan di negaranya sendiri dan semua orang tengah menertawakannya.
Kemudian, Chris mengangkat kepalanya dan memandang ke ayahnya dengan tatapan sendu. "Ayah, malam ini aku ingin berangkat ke Inggris secepatnya." Ayahnya terdiam sejenak mengamati putranya. Ia merasuk kedalam kedua mata itu. Mereka berkomunikasi tanpa suara. "Baiklah, jika itu yang terbaik untukmu." Malam itu ia benar-benar mewujudkan keinginannya. Ia mengemasi baju-baju dan lain sebagainya dengan bantuan beberapa pembantunya. Dua koper besar itu telah terisi sebagian. Ia masih mondar-mandir di kamarnya dengan langkah yang cepat. Kemudian ia meraih tas sekolahnya dan mengkosongkannya. Namun gerakan tanganya terhenti ketika matanya tak sengaja melirik kearah kitab terjemahan Al-Qur'an pemberian Aisyah yang masih tersimpan rapi di dalam tasnya itu. Sorot matanya berubah menjadi sendu. "Wahai tuhannya Aisyah, lihatlah apa yang telah hambamu perbuat padaku. Ia tak memberiku kesempatan sedikitpun. Ia menghancurkanku sehancur-hancurnya. Namun walaupun begitu, aku tetap akan membaca dan mencari kebenaran pada kitabmu untuk meneguhkan hatiku bahwa agamamu adalah yang benar. Menyembah tuhan yang sama dengannya, menyembah-Mu. Walaupun Aisyah telah mengecewakanku, walaupun dialah yang mengenalkanku pada Islam, aku akan tetap condong pada-Mu. Maka tolong bantulah aku", batinnya. Ia meraih kitab itu dan memasukkannya ke dalam koper.
Seluruh pembantu dirumah itu tampak sibuk menjelang keberangkatan tuan mudanya. Semua dipersiapkan secara rapi dan sempurna. Satu tiket pesawat telah dipesan dan ia akan berangkat pukul tiga dini hari. Kini ia tengah berdiri di balkon depan kamarnya. Pintu kaca yang lebar itu terbuka dan menutup otomatis kearah samping. Ia berdiri menempelkan kedua sikunya pada tepian pagar kaca. Dilihatnya kota yang gelap dengan titip-titik lampu yang menyinari setiap sudutnya. Gedung-gedung tinggi itupun tampak telah tertidur lelap. Bintang-bintang tak terlihat dibalik awan-awan yang menghitam. Tampaknya akan turun hujan sebentar lagi. Cuaca malam itu seburuk suasana hatinya. Pikirannya melayang kemana-mana dan tatapannya kosong. Hembusan angin yang dingin perlahan menyapu kulit putihnya.
Ibunya naik ke lantai atas menuju kamar putranya. Elusan lembut pada punggungnya menyadarkannya dari lamunan itu. "Kau akan sendirian disana. Jaga dirimu baik-baik. Jangan terlalu sering minum-minuman." Terlihat kedua mata ibunya yang berkaca-kaca. Memanglah mata tidak bisa berbohong. Walaupun ia terlihat tegar atas kepergian putranya, namun hatinya sangat ingin menghentikannya. Chris tersenyum menyadari itu. "Aku akan berubah, ma. Aku akan mencari teman-teman yang baik disana. Keadaan akan merubahku. Aku akan baik-baik saja. Aku berjanji." Ia terdiam sejenak lalu berkata, "Kalau ayah dan mama masih khawatir, kalian bisa memasang alat deteksi pada tubuhku. Sehingga kalian akan tahu apa saja yang kulakukan disana." Itu membuat ibunya tersenyum.
Jam dinding itu bergerak dengan cepatnya seperti memahami akan keinginan sang tuan muda untuk cepat pergi dari situ. Semuanya sudah dimasukkan ke bagasi mobil. Supir pun sudah menghidupakan mesin mobil itu. Ayahnya mengelus lembut rambut putranya lalu berkata, "Cepatlah dewasa dan mandiri. Jika ada apa-apa segeralah menghubungi ayah. Ayah dan mama akan mengunjungimu lima bulan kedepan setelah semua pekerjaan selesai disini." Chris tersenyum dan mengangguk. Ibunya mencium pipi kiri dan kanannya tanpa berkata apapun. Ia takut bahwa suara sengaunya akan terdengar. Ia menyembunyikan perasaan sedihnya pada putranya. Ia tidak mau Chris khawatir dan membatalkan keberangkatan itu.
Pintu ditutup dan mobil itu bergerak maju. Dilihatnya dari kaca spion kedua orang tuanya yang melambaikan tangan dari kejauhan. Ketika bayangan mereka semakin mengecil, dilihatnya samar-samar ibunya yang menangis sambil memeluk ayahnya. Menyadarinya, Chris memejamkan mata dan menghembuskan nafasnya panjang. Ia mencoba menghapus bayang-bayang itu dan meninggalkan semuanya dibelakang. Ia telah siap memasuki dunia baru, menjadi pribadi baru. Negara yang menjadi impian semua orang. Ia siap untuk membuka lembaran baru dan membakar lembaran-lembaran sebelumnya.
Dipandanginya lampu-lampu jalan satu per satu. Tatapannya kosong dan perasaannya tumpul walaupun ia akan terbang ke negara adidaya itu. Semua terasa biasa saja baginya. Berbeda sekali seperti sebelumnya. Ia selalu senang dan bersuka-cita setiap berlibur ke Eropa, terutama Inggris. Namun kali ini perasaannya telah tumpul dan hampa. Rintik hujan yang ringan mulai berjatuhan menghiasi kaca jendela mobil itu. Ia masih terus memandang keluar jendela. Cahaya kuning lampu jalan itu terbias dengan sangat indah kedalam butiran air hujan yang hinggap di kaca. Menciptakan bintang-bintang kecil yang banyak. Walaupun langit tidak menunjukkan keindahan para bintangnya malam itu padanya, namun kaca mobil menciptanya khusus untuk dia bawa pergi. Menjadikannya oleh-oleh untuk hati yang sedang terluka. Mereka menemani dan mengerti akan perasaan tuannya. Maka dari itu mereka tidak pergi walaupun sudah berulang-kali diusir oleh angin.