Malam itu, angin dingin berhembus pelan dari Pegunungan Veridion, membawa serta aroma pinus yang menusuk hidung. Udara yang biasanya terasa segar dan menenangkan kini mengandung ketegangan yang sulit dijelaskan. Eldoria, desa kecil yang terletak di bawah bayang-bayang pegunungan, tampak tenang, terperangkap dalam kesunyian malam. Ladang-ladang yang terbentang luas, berkilauan di bawah cahaya bulan, sementara rumah-rumah yang dibangun dari kayu dan batu berdiri kokoh seperti penjaga bisu yang menyaksikan malam yang tak bersahabat ini.
Aric berdiri di menara pengawas timur, satu-satunya titik tinggi yang memungkinkan pandangan menyapu seluruh lembah. Dia merapatkan jubah wolnya lebih erat, melawan hawa dingin yang tiba-tiba terasa lebih menggigit dari biasanya. Udara malam terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menyelinap di antara kabut tipis yang menyelimuti pepohonan di kejauhan. Napasnya terlihat di udara dingin, menggantung sejenak sebelum larut dalam kegelapan. Meski tidak ada suara selain desiran lembut angin, instingnya berteriak ada sesuatu yang salah.
Tangan Aric mengencang di gagang tombak kayunya, matanya menyapu setiap sudut hutan di kejauhan. Mata hijau mudanya menajam, menelusuri setiap bayangan yang diciptakan cahaya bulan, tapi semua terlihat normal—terlalu normal. Kelebatan bayangan dari pepohonan yang bergoyang diterangi rembulan, tampak tidak asing, namun malam ini, gerakan-gerakan itu terasa mengancam. Sebuah kegelisahan merayap naik dari tengkuknya, memicu jantungnya berdegup lebih cepat.
Sejenak, tidak ada apa pun selain keheningan. Tapi tiba-tiba—gemerisik. Seperti suara ranting yang patah di hutan yang jauh. Aric berhenti bernapas, kepalanya menoleh tajam ke arah suara itu. Rasa takut merayap melalui tulang punggungnya. "Apa itu?" pikirnya, seakan udara malam sendiri yang berbisik jawaban. Suara itu muncul lagi, kali ini lebih keras, seperti sesuatu yang besar mengoyak pepohonan.
Matanya menyipit, berusaha menembus tirai gelap di kejauhan. Dadanya mulai terasa berat, napasnya tertahan. Sesuatu sedang mendekat, sesuatu yang tidak terlihat tetapi terasa jelas. Angin tidak akan menghasilkan suara seperti itu. Ini bukan hewan malam yang biasa berkeliaran di sekitar desa, ini... sesuatu yang lebih besar, lebih berbahaya.
Suasana malam yang sunyi mendadak terasa mencekik, udara yang dihirupnya seolah tak cukup memenuhi paru-parunya. Kegelisahan itu berubah menjadi kepanikan kecil yang mulai tumbuh dalam dirinya. Di tengah ketidakpastian itu, tiba-tiba—jeritan. Jauh dari sudut desa, teredam oleh angin, tapi cukup keras untuk menusuk telinga Aric. Jeritan panjang itu melengking di udara, seolah orang yang berteriak telah diambil nyawanya secara tiba-tiba.
Jeritan kedua segera menyusul, lebih dekat, lebih terdesak, diikuti suara dentuman berat yang menggetarkan tanah di bawah kaki Aric. Mata Aric melebar. Dia tahu apa yang terjadi sebelum kepalanya sempat memproses semuanya—serangan.
Suara derap kuda menghantam bumi, semakin keras seiring detik-detik yang berlalu. Jantung Aric berpacu seirama dengan hentakan kuda-kuda itu. Dia berdiri kaku, tubuhnya beku oleh kombinasi ketakutan dan kewaspadaan. Keringat dingin merembes dari pelipisnya meskipun udara malam tetap membeku.
Pasukan Drakoria datang.
Aric tidak perlu menunggu lebih lama lagi untuk memastikan. Api pertama menyala di ujung timur desa, memantul di atas rumah-rumah yang terbuat dari kayu. Asap mulai mengepul, semakin pekat, membungkus langit malam. Api itu tumbuh dengan cepat, menelan segalanya, memberi cahaya yang kejam pada kegelapan.
Suara gemeretak kayu terbakar, diiringi oleh suara jeritan yang semakin nyaring, memenuhi udara. Pasukan Drakoria datang seperti badai, tanpa peringatan. Dalam hitungan detik, kekacauan merajalela di desa yang damai ini.
Aric turun dari menara dengan kecepatan yang tak pernah ia bayangkan bisa ia capai. Jantungnya berdegup kencang saat kakinya menghantam tanah. Dia berlari, mengabaikan angin dingin yang menusuk kulitnya, menuju ke arah pusat desa, tempat di mana dia tahu penduduk sedang berada dalam bahaya besar.
Di sana, tepat di depan matanya, Aric bisa melihat mereka—prajurit Drakoria, dengan zirah hitam pekat yang menyala di bawah cahaya api. Seperti sosok-sosok iblis dari mimpi buruk, mereka menerobos celah di tembok kayu yang hancur, berteriak sambil mengayunkan pedang mereka tanpa belas kasihan. Suara derasnya langkah kuda dan dentingan pedang menambah kegaduhan, sementara nyala api yang semakin besar memperlihatkan mayat-mayat yang berserakan.
Di sana, tepat di depan matanya, Aric bisa melihat mereka—prajurit Drakoria. Zirah hitam pekat mereka menyala di bawah pantulan api yang berkobar, menciptakan sosok-sosok menakutkan seperti iblis yang keluar dari mimpi buruk. Setiap kali mereka mengayunkan pedang mereka, teriakan penuh kekejaman menyertai, seolah-olah mereka menikmati penderitaan yang mereka ciptakan. Mereka bukan sekadar pasukan, tapi mesin pembantai yang tidak terhentikan.
Jantung Aric berdebar kencang, rasa dingin yang semula hanya berasal dari udara malam kini merayap ke dalam dirinya, menenggelamkan tulang-tulangnya dalam ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Udara terasa padat, seakan-akan menyempitkan dadanya, membuat setiap tarikan napas terasa sia-sia. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi begitu cepat? pikirnya. Tembok yang seharusnya melindungi mereka kini tak lebih dari sekadar ilusi, runtuh tanpa perlawanan berarti di sisi timur desa. Di bawah cahaya api yang semakin besar, Aric menyaksikan seisi desa seperti dilahap oleh kekuatan yang tak terjangkau oleh kemampuannya.
Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Di mana para pemuda yang dilatih bersama dia? Di mana para penjaga yang seharusnya menjaga sisi timur? Dan di mana Tomas? Tomas... seharusnya berada di sini, berpikir Aric dengan pikiran yang terpecah. Dia menoleh ke arah tembok di sebelah barat, di mana dia berjaga. Tembok itu berdiri kokoh, seolah mengejek ketidakberdayaannya. Di sisi lain, celah besar di tembok timur memuntahkan para prajurit Drakoria, menghancurkan pertahanan mereka tanpa ampun.
Teriakan dan jeritan terdengar semakin keras, seperti simfoni kematian yang mengisi malam. Setiap sudut pandang Aric dipenuhi pemandangan yang tak pernah dia bayangkan. Mayat-mayat berserakan di tanah, tubuh-tubuh yang tadinya hidup dalam damai kini tergeletak tak bernyawa, sebagian terinjak-injak oleh kuda-kuda penyerang yang terus merangsek maju. Darah mengalir deras, bercampur dengan tanah yang basah, membentuk jalur-jalur merah yang mengerikan di sepanjang jalan desa.
Di antara kekacauan itu, suara derap kuda terdengar seperti guntur yang menghantam bumi. Satu batalion kaveleri lapis baja Drakoria melesat menerobos desa dengan kecepatan dan presisi yang mematikan. Kuda-kuda mereka besar, kuat, zirah mereka mengkilat, dan prajurit yang duduk di atasnya adalah prajurit elit yang terlatih dengan baik. Setiap gerakan mereka dipenuhi oleh kekuatan dan keganasan yang tidak bisa dihadapi oleh penduduk desa yang hanya mengandalkan alat-alat pertanian sebagai senjata.
Aric merasa seluruh tubuhnya kaku, seolah-olah akar ketakutan telah menjeratnya ke tanah. Pikirannya melayang, dan semua pelajaran yang pernah ia terima tentang keberanian terasa menguap. Bagaimana mungkin mereka bisa menang? Di hadapannya, prajurit-prajurit Drakoria menebas tanpa ampun. Pedang mereka menggores tubuh penduduk, dan dalam sekejap, nyawa direnggut begitu saja. Satu tebasan, dan kehidupan berakhir.
Dan seolah itu belum cukup, beberapa dari prajurit itu memimpin anjing-anjing pemburu yang ganas—anjing besar dengan bulu hitam dan mata merah menyala. Gigi-gigi mereka berkilau dalam nyala api, dan setiap kali mereka menggigit, terdengar suara robekan daging yang membuat perut Aric bergejolak. Anjing-anjing itu mengejar siapa pun yang berusaha melarikan diri, menghancurkan harapan terakhir mereka untuk selamat. Anak-anak, wanita, dan bahkan para pria tua tak luput dari gigitan mematikan mereka.
Aric ingin bergerak. Ia ingin berlari ke garis depan, ingin bergabung dalam perlawanan, tapi tubuhnya menolak. Matanya tak bisa lepas dari pemandangan kekejaman yang terjadi di depannya. Ini bukan pertempuran—ini pembantaian. Ini tidak adil. Setiap langkah prajurit Drakoria penuh dengan keyakinan, sementara penduduk Eldoria berjuang hanya dengan ketakutan dan keputusasaan.
Teriakan Darren memecahkan lamunannya. "Aric, cepat! Kita harus bertahan!" Darren berlari di sampingnya, busur terentang dengan anak panah siap meluncur. Darren, sahabat yang selalu membawa tawa di tengah tekanan, kini wajahnya penuh kengerian yang tak mampu ia sembunyikan. Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, Aric tahu: Jika mereka tidak bertindak sekarang, desa ini akan hancur sepenuhnya.
Namun, di tengah kebingungan dan rasa takut, Aric tahu satu hal yang jelas—mereka tidak bisa melawan mereka. Tidak seperti ini. Pasukan Drakoria terlalu kuat, terlalu terlatih, terlalu banyak. Mereka datang dengan strategi yang rapi dan tanpa ampun. Satu batalion kaveleri dan prajurit-prajurit elit yang tak terbendung.
"Kenapa kami tidak siap?" pikirnya dalam ketidakpercayaan. "Kenapa semua persiapan ini sia-sia?"
Setelah melihat pemandangan mengerikan itu—sosok-sosok yang dulunya penuh kehidupan kini tergeletak tak bernyawa di tanah, darah mereka menyatu dengan lumpur yang diinjak-injak oleh kuda dan prajurit Drakoria—hanya satu pikiran yang memenuhi benak Aric.
Ibunya.
Wajah Mirana tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Ibunya, yang selalu tersenyum hangat meski kelelahan setelah bekerja seharian di peternakan. Ibunya, yang selalu memberikan kekuatan dan ketenangan di tengah segala kekacauan. Di tengah semua pembantaian ini, Aric tahu, satu-satunya hal yang masih berharga baginya adalah menyelamatkan ibunya. Rumah mereka memang berada di sisi barat desa, cukup jauh dari tempat di mana tembok hancur, lebih dekat ke tempat Aric berjaga sekarang. Tapi waktu semakin sempit—pasukan Drakoria tidak akan berhenti sampai desa ini sepenuhnya dimusnahkan.
Dengan napas tersengal, Aric menoleh ke arah Darren, yang masih berdiri di dekatnya, busur di tangannya gemetar setelah melesatkan beberapa anak panah ke arah musuh. Wajah Darren kini penuh keringat dan ketakutan, tapi dia masih bertahan, berusaha mempertahankan sedikit harapan yang tersisa.
"Darren!" teriak Aric, suaranya nyaring di atas dentingan senjata dan jeritan yang mengisi udara. Darren menoleh, matanya membesar saat mendengar namanya dipanggil.
"Ini tidak bisa dihentikan," lanjut Aric dengan suara tegas, penuh keputusasaan yang kini berubah menjadi keputusan tak terelakkan. "Kita tidak bisa melawan mereka. Bawa keluargamu! Bawa mereka keluar dari sini. Aku akan mencari ibuku. Kita bertemu di lumbung di ladang, di luar Jauh dari gerbang timur!"
Darren terdiam sejenak, seakan berusaha mencerna perintah itu. Kemudian, dengan tatapan penuh kesedihan namun juga kepastian, dia mengangguk cepat. Tidak ada lagi waktu untuk berdebat. Tidak ada lagi strategi yang bisa menyelamatkan desa ini. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah menyelamatkan mereka yang masih bisa diselamatkan.
"Aku akan bawa mereka ke sana," kata Darren, suaranya serak karena ketakutan yang terpendam. Tanpa membuang waktu, dia berlari menuju rumah keluarganya, menyelinap di antara reruntuhan dan bayang-bayang, berusaha menghindari perhatian prajurit Drakoria yang masih sibuk membantai apa yang tersisa dari desa.
Aric menghela napas, rasa panik yang kini menjadi dorongan untuk bertindak. Dia mengarahkan pandangannya ke sisi barat, ke arah rumahnya. Aku harus cepat. Tanpa ragu lagi, dia mulai berlari melintasi jalan yang penuh dengan mayat dan puing-puing, darah yang lengket di tanah membasahi kakinya. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah dunia berusaha menyeretnya kembali ke dalam jurang kehancuran ini. Tapi dia tak peduli. Ibunya harus selamat.
Di benaknya, dia tahu: perang ini telah kalah sebelum dimulai. Pasukan Drakoria datang bukan untuk menguji atau mengintimidasi, tapi untuk menghancurkan. Mereka datang seperti badai, dan tak ada yang bisa menghentikan mereka sekarang. Desa ini, yang pernah menjadi rumah yang damai bagi Aric, akan hancur. Namun, masih ada harapan, masih ada sesuatu yang bisa diselamatkan—keluarganya, Darren, dan siapa pun yang bisa dia bawa keluar dari neraka ini.
Selamatkan apa yang bisa diselamatkan.
Aric terus berlari, napasnya mulai terasa terbakar di tenggorokan. Tubuhnya penuh keringat meski udara malam sangat dingin, dan setiap langkah terasa semakin berat, seolah-olah tanah di bawahnya menariknya ke bawah, menambah beban di kakinya. Namun, dia tak bisa berhenti. Pikiran tentang ibunya—wajah penuh kehangatan dan senyumnya yang selalu menyambutnya setiap pagi—adalah satu-satunya hal yang mendorongnya untuk terus maju.
Tembok barat desa masih berdiri kokoh, sebuah paradoks di tengah kehancuran yang terjadi di sisi timur. Di antara suara bentrokan senjata, teriakan ketakutan, dan derap kuda yang semakin menjauh, Aric berjuang menjaga fokusnya. Hanya butuh waktu beberapa menit sebelum pasukan Drakoria menyebar lebih luas dan menghancurkan apa yang tersisa dari Eldoria. Dia tidak punya banyak waktu.
Ketika dia mendekati rumah keluarganya, perasaannya bercampur antara harapan dan ketakutan. Apa ibunya masih di sana? Apa dia sudah menyadari apa yang terjadi?
Rumah mereka terlihat utuh dari luar, dikelilingi ladang kecil tempat mereka memelihara ternak. Namun, suasana malam yang sunyi ini terasa sangat salah. Tidak ada suara ternak yang biasanya terdengar dari kandang, tidak ada suara langkah kaki yang bergegas. Rumah itu, yang dulu penuh dengan kehidupan, tampak seperti bayangan dirinya sendiri.
Aric mendobrak pintu depan, tak peduli akan suaranya yang mungkin menarik perhatian.
"Ibu!" teriaknya, suaranya serak karena panik. Dia berlari masuk ke dalam, matanya mencari sosok yang paling dia cintai di dunia ini. Tidak ada jawaban.
"Ibu, di mana kau?!"
Aric menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Beberapa perabotan berserakan, tanda-tanda bahwa ibunya mungkin sudah mendengar kekacauan di desa. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa rumah itu telah ditinggalkan secara tiba-tiba. Napas Aric semakin berat saat ketakutan mulai merambat masuk ke dalam hatinya. Dia berlari ke kamar ibunya, mendobrak pintu dengan kekuatan yang tersisa.
Di sana, duduk di tepi tempat tidur, Mirana, ibunya, menatapnya dengan wajah yang dipenuhi kecemasan. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seakan berhenti.
"Aric..." suara ibunya lembut, tapi jelas dia tahu apa yang sedang terjadi. Dia sudah mendengar suara pertempuran di kejauhan, sudah merasakan ketakutan yang menggantung di udara.
"Kita harus pergi!" desak Aric, berlari ke arahnya dan meraih tangan ibunya. "Pasukan Drakoria menyerang. Kita tidak bisa bertahan di sini."
Mirana menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan, tapi juga kepasrahan. "Bagaimana dengan desa kita, Aric? Bagaimana dengan mereka yang lain?"
Aric menunduk, rasa bersalah menyelubungi hatinya. Dia tahu apa yang terjadi di luar sana. Desa ini... mereka tidak bisa menyelamatkannya. Tapi dia tidak bisa mengatakan itu pada ibunya. Dia tidak bisa memintanya untuk meninggalkan semua yang pernah mereka miliki tanpa harapan untuk kembali.
"Kita harus selamatkan dirimu dulu, Bu," jawabnya dengan suara serak, berusaha menekan emosinya. "Aku sudah menyuruh Darren menyelamatkan keluarganya. Kita akan bertemu di luar gerbang timur, di lumbung ladang. Kita harus pergi sekarang sebelum mereka sampai ke sini."
Mirana, meski terlihat ragu, tahu bahwa Aric benar. Dia mengambil jubah dan beberapa barang penting yang bisa ia jangkau dengan cepat. Aric membantunya, menyematkan selimut tebal di bahunya, sebelum mereka berdua berlari keluar dari rumah.
Saat mereka melangkah keluar dari rumah, Aric bisa mendengar suara-suara dari kejauhan—langkah berat kuda yang semakin dekat, dan lolongan anjing-anjing pemburu yang mengikuti jejak mereka. Mereka tidak punya banyak waktu.
Mereka mulai berlari menuju gerbang timur, melewati ladang yang kini tampak seperti bayangan hampa di bawah cahaya bulan. Setiap langkah membawa Aric semakin jauh dari desa yang telah menjadi rumahnya, dari teman-temannya yang mungkin sudah mati, dan dari kehidupan lamanya yang sekarang hanya tinggal puing-puing di belakangnya.
Tiba-tiba, terdengar suara derap kuda yang mendekat dari arah desa. Aric menoleh, dan jantungnya melonjak saat dia melihat sekelompok kecil prajurit Drakoria di kejauhan, dengan anjing-anjing besar mereka berlari cepat di depan. Mereka telah menemukan jejak mereka.
Tidak ada waktu untuk berpikir—hanya untuk bertindak.
"Ibu, cepat!" desak Aric, menarik tangan Mirana lebih cepat. Mereka harus mencapai lumbung sebelum pasukan Drakoria tiba.
Namun, Aric tahu—mereka tak mungkin bisa berlari lebih cepat dari kuda-kuda itu. Waktu mereka hampir habis, dan keputusan harus diambil. Pandangannya menyapu ladang di depannya, mencari apa pun yang bisa digunakan untuk melindungi ibunya.
Di sana—di pinggir ladang, ada tumpukan kayu yang ditinggalkan untuk pembangunan pagar. Aric melihatnya sebagai satu-satunya kesempatan. Dia harus mengulur waktu, harus menghentikan prajurit-prajurit itu, meskipun hanya sebentar.
"Ibu, teruskan ke lumbung! Aku akan segera menyusul!" seru Aric, suaranya penuh kepastian yang dipaksakan.
Mirana berhenti, menoleh padanya dengan mata yang penuh kecemasan. "Tidak,! Ibu akan mendampingimu apapun yang terjadi"
"Aku akan menyusul! Aku janji! Tapi mereka sudah terlalu dekat! Ibu harus pergi!" Aric mendesak, hampir memohon. Dia tak bisa membiarkan ibunya terbunuh di depan matanya.
Dengan langkah ragu, Mirana akhirnya berlari menuju lumbung, meninggalkan Aric di belakang. Aric berbalik, menarik napas panjang sebelum mengambil tombaknya, bersiap untuk mengulur waktu bagi ibunya.
Setelah melihat ibunya akhirnya berlari menuju lumbung, Aric berdiri di tempatnya, di tengah ladang yang dipenuhi semak-semak tinggi dan tumpukan kayu. Napasnya terengah, dadanya naik turun dengan cepat, tetapi bukan hanya karena lelah. Setiap serat di tubuhnya menegang, menunggu apa yang akan datang. Telinganya menangkap setiap suara di sekelilingnya—angin yang berdesir melalui rumput tinggi, dedaunan yang bergetar di pohon-pohon kecil, dan derap kuda yang masih terdengar di kejauhan.
Ketidakpastian itu mencekiknya.
Tangannya mencengkeram erat gagang tombak yang dingin, jemarinya terasa kaku karena kuatnya tekanan yang ia berikan. Setiap jari tampak bergetar, tapi Aric tak melepaskannya. Tombak ini adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa sedikit berdaya di tengah kekacauan yang tak bisa ia kendalikan. Jantungnya berdebar kencang, seolah-olah ingin keluar dari dadanya. Ketakutan mulai merayap di pikirannya, namun Aric menolak untuk membiarkan dirinya tenggelam dalam kepanikan.
Di sinilah ia sekarang—seorang pemuda yang hanya beberapa tahun lalu hanyalah seorang anak petani, kini berdiri sebagai satu-satunya pelindung antara keluarganya dan kematian yang datang dengan cepat. Tubuhnya menggigil bukan karena udara dingin, tetapi karena rasa takut yang membungkusnya. Di dalam benaknya, berbagai pikiran bercampur baur. Apakah dia bisa menghentikan mereka? Apakah ini akan menjadi akhir?
Setiap detik terasa seperti selamanya. Matanya terus-menerus bergerak, mengawasi celah di antara semak-semak tinggi. Mereka akan segera datang, kuda-kuda dan anjing-anjing mereka, dengan prajurit Drakoria yang haus darah. Wajah-wajah penduduk desa yang gugur tadi terbayang kembali di benaknya, dan Aric merasakan cengkeraman ketakutan yang lebih kuat.
Tapi di balik rasa takut itu, ada sesuatu yang lebih kuat yang mulai tumbuh. Keputusasaan dan harapan yang tersisa. Meskipun dia tahu dirinya tak punya banyak kesempatan melawan mereka, dia tidak bisa membiarkan rasa takut itu menghancurkan segalanya. Setiap otot di tubuhnya mulai bersiap, tombak di tangannya terasa lebih berat namun juga lebih pasti. Jika ini memang akhir, setidaknya dia akan berjuang sampai titik darah penghabisan.
Diam. Sunyi. Aric menahan napas, menajamkan pendengarannya lagi. Tidak ada derap kuda yang mendekat. Tidak ada anjing-anjing pemburu yang muncul dari balik semak-semak. Sesuatu berubah. Apa yang terjadi? Mengapa mereka belum datang?
Lalu, suara gemerisik di antara semak-semak. Tubuh Aric menegang, siap menghadapi apapun yang muncul dari balik bayang-bayang itu. Jantungnya kembali berpacu, matanya menatap tajam ke arah sumber suara. Derap langkah terdengar jelas di telinganya, dan bayangan muncul di ujung pandangannya.
Untuk sesaat, Aric merasa seluruh tubuhnya membeku, mengira bahwa inilah akhirnya—prajurit Drakoria telah menemukannya. Namun, saat sosok itu muncul sepenuhnya dari balik semak-semak, sebuah perasaan lega yang luar biasa menyapu dirinya. Bukan prajurit musuh yang datang.
Itu Darren.
Darren, dengan wajah penuh kelelahan dan keringat yang membasahi dahinya, muncul di hadapannya. Aric bisa melihat kelegaan yang sama terpancar dari mata sahabatnya. Di belakang Darren, keluarganya mengikuti—empat orang semuanya, termasuk Darren sendiri. Seorang wanita muda, mungkin istrinya, membawa bayi yang terbungkus dalam selimut, berusaha melindunginya dari dingin dan ketakutan yang mengelilingi mereka.
Aric menarik napas panjang, rasa syukur membanjiri hatinya. Darren selamat. Keluarganya selamat. Meskipun hanya sekejap, harapan kembali menyala di dalam dirinya.
"Darren..." suaranya bergetar, sebuah campuran antara kelelahan dan kelegaan. Ia nyaris tak percaya bahwa yang datang bukanlah kematian, melainkan sahabat yang selalu bisa diandalkan.
Darren tersenyum kecil, meski wajahnya tetap tegang. "Aku bilang kita akan selamat, kan?" gumamnya, meskipun suaranya terdengar lebih rapuh dari biasanya. Bayi kecil yang dipegang oleh keluarganya menangis pelan, seolah merasakan ketegangan yang tak bisa dijelaskan.
Aric menghela napas, menurunkan tombaknya sejenak, bahunya merosot dengan rasa lelah yang mendalam. "Kita harus segera pergi ke lumbung. Ibu sudah menungguku di sana. Kita tidak punya banyak waktu."
Darren mengangguk, matanya tetap waspada ke arah desa di kejauhan, di mana api masih berkobar dan derap kuda masih bisa terdengar samar. Kematian belum jauh dari mereka, tapi untuk saat ini, mereka telah mendapatkan sedikit waktu berharga untuk menyelamatkan nyawa yang tersisa.
Mereka mulai bergerak cepat menuju lumbung, tetapi dalam hati Aric, perasaan lega yang sempat dirasakan dengan cepat berbalik menjadi ketegangan lagi. Perjuangan ini belum selesai. Mereka mungkin telah lolos dari bahaya untuk saat ini, tapi ancaman masih membayangi mereka dari setiap sudut.
Semua belum berakhir.
Setelah serangan brutal dari pasukan Drakoria, ketika keheningan akhirnya menyelimuti desa Eldoria, Aric berdiri di tengah kehancuran yang dulunya adalah rumahnya. Bau asap masih menyengat di udara, bercampur dengan aroma darah dan tanah basah yang diinjak-injak oleh kuda-kuda musuh. Di sekelilingnya, mayat-mayat tergeletak tak bernyawa—tetangga, teman, bahkan prajurit desa yang ia kenal sejak kecil. Desa yang dulu damai dan penuh kehangatan kini hanyalah bayang-bayang kelam dari apa yang pernah ada.
Aric menatap lurus ke arah ladang-ladang yang terbakar, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak berjawab. "Kenapa kami tak bisa melindungi mereka?" pikirnya, rasa bersalah mencekik hatinya. Di dadanya, bergemuruh kemarahan yang tak dapat diucapkan. "Aku telah berlatih, aku telah bersiap, tapi kenapa... kenapa semua terasa sia-sia?"
Ia menunduk, tangannya gemetar saat memegang gagang tombak yang kini penuh dengan darah kering. Selama pertempuran, ia bertarung mati-matian. Setiap ayunan tombaknya ia harapkan bisa mengusir rasa takut, bisa menyelamatkan orang-orang yang ia cintai. Namun, di akhir semuanya, ia gagal. Dia gagal melindungi desanya, gagal melindungi teman-temannya, bahkan hampir kehilangan ibunya. Rasa sakit itu seperti tusukan yang perlahan tapi pasti menghancurkan ketenangannya.
Rasa bersalah menghantam lebih kuat dari rasa lelah fisik. Darren, Kellan, Tomas—semua yang bertarung bersamanya, mereka juga menghadapi ketakutan dan kehilangan, tapi Aric merasa bebannya lebih berat. Sebagai seseorang yang bertekad melanjutkan perjuangan ayahnya, ia merasa harusnya mampu berbuat lebih. Tapi kenyataan yang dihadapinya berbeda.
"Apa artinya semua ini?" pikir Aric. "Apa artinya kekuatan jika tidak bisa melindungi orang yang kucintai?"
Ia menoleh ke reruntuhan rumahnya, di mana ibunya, Mirana, kini bersembunyi di dalam lumbung bersama para penyintas lainnya. Matanya berkaca-kaca saat mengingat tatapan ibunya ketika mereka berlari untuk menyelamatkan diri—tatapan ketakutan dan kepasrahan. Ibunya, yang selalu menjadi sosok kuat dalam hidupnya, kini hanya bisa bergantung padanya. "Ayah tidak ada di sini untuk membantu kita," Aric membatin, "dan aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk menggantikannya."
Kata-kata ayahnya kembali terngiang dalam benaknya, kata-kata tentang kekuatan, keberanian, dan tanggung jawab. Aric mengerti sekarang bahwa kekuatan bukan hanya soal kemampuan bertarung atau fisik, tetapi juga soal menghadapi kegagalan dan tetap berdiri. Ia tahu bahwa ia tidak bisa meratapi kekalahan ini selamanya. Tragedi ini telah menguji setiap batas dirinya, namun dari rasa sakit itu, Aric merasakan nyala baru yang mulai bangkit dari dalam hatinya.
"Aku tidak akan gagal lagi," Aric mengucapkannya pelan, hampir seperti janji pada dirinya sendiri. "Aku akan menjadi lebih kuat. Bukan hanya untuk membalas dendam, tetapi untuk melindungi. Tidak ada yang akan diambil lagi dariku."
Rasa sakit dan kehilangan yang mendalam membentuk sebuah tekad baru dalam dirinya. Di tengah reruntuhan dan api yang masih berasap, Aric tahu bahwa inilah saatnya untuk berubah. Tragedi ini tidak akan menghancurkannya—justru akan menjadi batu loncatan yang menempanya menjadi lebih keras, lebih kuat.
Tapi sebelum dia bisa bangkit sepenuhnya, dia harus menerima kenyataan pahit ini. Harus merangkul kelemahannya untuk memahami bahwa dirinya masih jauh dari sempurna. Aric berlutut di tanah yang berlumuran darah dan abu, menutup matanya. "Kematian mereka tidak boleh sia-sia. Aku akan membawa kekuatan baru dari rasa sakit ini. Aku akan bertahan. Demi desaku. Demi keluargaku. Demi diriku sendiri."
Di kejauhan, jeritan dan raungan ketakutan masih terdengar, merobek kesunyian malam dengan keputusasaan yang menghancurkan hati. Penderitaan warga desa yang tidak sempat melarikan diri bergema di telinga Aric, memahat rasa bersalah di dalam hatinya. Ia tahu tidak semua orang bisa meloloskan diri. Beberapa berhasil kabur sejenak, tapi ancaman nyata dari pasukan Drakoria—anjing pemburu dan kavaleri ganas—tidak pernah sekadar bualan.
Anjing-anjing itu, dengan penciuman tajam yang tidak bisa dihindari, dan prajurit kavaleri yang bergerak cepat dengan kejam, melumat siapa pun yang mencoba melarikan diri. Aric dapat membayangkan bagaimana mereka yang berlari dalam kegelapan, berharap untuk keselamatan, akhirnya diseret kembali oleh anjing-anjing yang ganas, atau ditebas oleh pedang-pedang Drakoria tanpa ampun. Tak seorang pun berhasil melarikan diri ketika semua sudut desa sudah terkepung, dilahap habis oleh kekuatan musuh yang sangat terlatih.
Dan kini, mereka datang untuk Aric dan Darren.
Aric merasakan bulu kuduknya berdiri. Meski mereka telah mencoba melarikan diri, meninggalkan desa di belakang, dia tahu jejak mereka dapat diikuti dengan mudah. Mereka tidak sepenuhnya lolos. Anjing pemburu dan salah satu prajurit kavaleri elit Drakoria sudah menangkap jejak mereka. Udara di sekitarnya terasa lebih berat, seakan malam itu sendiri berkonspirasi melawan mereka.
Di tengah kegelapan, dengan Darren dan keluarganya yang sudah aman di dalam lumbung, Aric dan Darren memutuskan untuk bersembunyi tidak jauh dari lumbung, mengamati dari balik tumpukan jerami dan semak-semak yang cukup lebat. Mereka memegang napas, mendengarkan setiap suara di sekitarnya, berusaha menjaga lumbung tetap aman tanpa menarik perhatian musuh. Setiap suara gemerisik terdengar lebih keras dari yang seharusnya, setiap bayangan yang bergerak tampak lebih mengancam.
Aric bisa merasakan detak jantungnya berdentam keras di dadanya, seolah-olah seluruh tubuhnya berdetak mengikuti irama ketakutan. Kakinya terasa dingin, menggigil bukan karena udara malam, tetapi karena ancaman yang kian dekat. Dia menoleh ke Darren, yang duduk tak jauh darinya, wajahnya tegang, namun matanya tetap waspada.
"Mereka sudah dekat," bisik Aric dengan suara nyaris tak terdengar, tatapannya terus mengawasi sekitar.
Darren mengangguk pelan, ekspresinya berubah muram. "Aku tahu. Kita harus siap."
Dan kemudian, mereka mendengarnya. Suara napas berat, suara anjing yang mendekat. Seekor anjing pemburu, besar dengan bulu hitam dan gigi tajam yang berkilauan dalam kegelapan, muncul di garis penglihatan mereka. Mata merah anjing itu menyala, hidungnya mengendus tanah dengan rakus, mencium jejak mereka. Di belakangnya, suara derap kuda terdengar pelan tapi pasti. Seorang kavaleri Drakoria. Prajurit elit itu tampak lebih seperti bayangan besar yang bergerak cepat, siap untuk memusnahkan siapa saja yang masih tersisa.
Aric merasakan tangannya mencengkeram lebih erat tombaknya. Ini adalah saat yang dia takuti. Mereka telah berhasil melarikan diri sejauh ini, tapi mereka tahu tidak ada tempat yang benar-benar aman. Prajurit Drakoria sudah menemukan jejak mereka, dan anjing itu akan segera mengarahkan majikannya pada mereka.
Apa yang harus dilakukan? Aric tahu jika mereka ditemukan, mereka tidak punya banyak pilihan selain bertarung. Tetapi jika mereka bertarung di sini, di dekat lumbung, mereka bisa menarik perhatian lebih banyak pasukan Drakoria ke arah tempat keluarganya dan keluarga Darren bersembunyi.
Darren menoleh ke arah Aric, wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang sama. "Kita tidak bisa biarkan mereka menemukan lumbung."
Aric mengangguk, matanya tetap tertuju pada anjing yang semakin mendekat. Ini adalah situasi hidup atau mati, dan mereka harus bertindak sekarang sebelum semuanya terlambat. Dia tahu bahwa pergerakan sekecil apa pun bisa mengungkap keberadaan mereka, tapi duduk diam juga tidak akan menyelamatkan mereka.
Aric menyadari situasinya dengan cepat. Mereka tidak punya banyak waktu—anjing pemburu dan prajurit kavaleri semakin dekat, dan jika mereka tidak segera bertindak, lumbung yang melindungi keluarga mereka akan ditemukan. Pikiran Aric berputar cepat, mencari cara untuk mengatasi situasi ini.
"Darren," bisik Aric dengan mendesak, matanya tetap fokus pada musuh yang mendekat. "Kita harus memecah perhatian anjing itu dulu. Kalau anjing itu menemukan kita, prajurit kavaleri akan langsung menyusul. Kita harus memisahkan mereka."
Darren menatap Aric sejenak, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Apa rencanamu?"
Aric memikirkan taktik sederhana namun efektif. "Aku akan membuat suara di sisi lain ladang ini. Kita bisa mengalihkan perhatian anjing itu ke arah yang salah. Setelah anjingnya pergi, kita serang prajurit kavaleri itu. Kau bidik prajurit itu kalau kau bisa, tapi fokuskan panahmu ke anjingnya kalau kita terdesak."
Aric tahu anjing-anjing pemburu ini dilatih untuk mengikuti bau, tapi suara yang tiba-tiba bisa mengacaukan insting mereka. Jika dia bisa membuat anjing itu berpikir ada ancaman lebih besar di seberang ladang, mungkin mereka punya kesempatan.
Darren mengangguk meskipun tampak ragu. "Kenapa kita tidak memanah prajurit kuda itu langsung?"
Aric menatap Darren dalam-dalam, memikirkan betapa sulitnya. "Prajurit itu lapis baja penuh, dan dia bergerak cepat di atas kuda. Kita tidak akan punya kesempatan untuk menembus zirahnya dengan panah dari jarak ini." Dia menarik napas dalam, meyakinkan dirinya. "Tapi kalau kita bisa menjatuhkannya dari kudanya, kita punya peluang."
"Baik," Darren menjawab singkat, wajahnya menegang.
Dengan rencana sederhana itu di benak mereka, Aric meraih beberapa batu kecil yang tergeletak di tanah. Tangan bergetar karena kegugupan, tapi dia tetap melemparkan salah satu batu tersebut ke arah semak-semak di sisi ladang yang berlawanan. Batu itu jatuh dengan bunyi gemeresik yang cukup keras. Anjing pemburu yang mendekat tiba-tiba mengangkat kepalanya, telinganya berdiri, mengendus-endus ke arah suara tersebut.
"Itu dia," gumam Aric dengan pelan. Anjing itu mulai bergerak ke arah suara di semak-semak, teralihkan dari jejak mereka. Darren dan Aric tetap diam di tempat, menahan napas, berharap anjing itu benar-benar terpancing.
Aric bisa merasakan ketakutan yang semakin menekan. Detak jantungnya berpacu seiring dengan napas berat prajurit yang semakin mendekat. Waktu seolah berhenti, setiap detik terasa seperti selamanya. Aric menatap Darren, memberi isyarat dengan mata bahwa waktunya hampir habis—mereka harus bertindak sekarang. Darren mengangguk, tangannya gemetar namun siap dengan busur di tangan. Dengan hati-hati, mereka menahan napas satu detik lebih lama, memastikan anjing dan prajurit itu benar-benar terfokus pada suara lain. Dan kemudian, tanpa aba-aba lebih lanjut, mereka melompat keluar dari persembunyian, bergerak cepat untuk menyerang sebelum terlambatSetelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, anjing itu menghilang ke balik semak, meninggalkan prajurit kavaleri yang masih melaju tanpa curiga. Ini saatnya.
"Sekarang!" bisik Aric dengan tegas, memberi sinyal kepada Darren. Mereka melompat keluar dari tempat persembunyian mereka, bergerak cepat sebelum prajurit kavaleri menyadari apa yang terjadi.
Aric berlari ke arah kuda itu dengan tombak di tangan, matanya tertuju pada kakinya. Dia tahu, dengan menebas kaki kuda itu, mereka bisa menjatuhkan prajuritnya dan mengubah keadaan menjadi lebih seimbang. Ini adalah kesempatan terakhir mereka. Jika gagal, keluarga mereka, Darren, bahkan ibunya mungkin tidak akan selamat Dengan seluruh kekuatannya, Aric mengayunkan tombaknya, menargetkan bagian kaki depan kuda.
Suara tajam terdengar ketika tombak Aric menghantam keras, tepat mengenai sendi kaki kuda itu. Kuda itu meringkik keras, tubuhnya berguncang liar sebelum akhirnya jatuh ke tanah, menyeret prajurit kavaleri yang berada di atasnya ke bawah. Jeritan kesakitan terdengar dari prajurit itu saat tubuhnya terhempas ke tanah, terjepit di bawah berat kudanya yang kini tak berdaya.
Namun, tak ada waktu untuk merayakan keberhasilan. Anjing pemburu kembali, menyadari ada yang salah. Ia meloncat keluar dari semak-semak dengan kecepatan yang menakutkan, matanya merah menyala dengan kemarahan. Aric tidak sempat menghindar, dan anjing itu melesat ke arahnya dengan mulut terbuka, siap menyerang.
Tapi Darren sudah bersiap.
"Sekarang, Darren!" teriak Aric panik, menyadari bahaya yang mendekat.
Darren tidak pernah merasa begitu tertekan sebelumnya. Tangan gemetarnya hampir membuat panah terlepas sebelum waktunya. Tapi, ketika anjing itu melompat, dia menahan napas, menarik tali busur, dan dalam hitungan detik, anak panah itu meluncur tepat ke sasarannya.
Darren, yang sudah menyiapkan busurnya, menarik tali busur dengan kuat. Panah melesat di udara, memotong kesunyian malam dengan suara siutan yang tajam. Dalam hitungan detik, panah itu menghantam kepala anjing pemburu, menghentikan langkahnya seketika. Anjing itu terkapar di tanah, nyawanya hilang dalam sekejap.
Aric terengah-engah, masih memegang tombaknya erat-erat, sementara anjing yang hampir menerkamnya kini tak lagi bergerak. Matanya menoleh ke arah Darren, yang kini melepaskan busurnya dengan napas terengah.
"Kena," gumam Darren sambil menghela napas lega. Tapi mereka belum bisa santai.
Di hadapan mereka, prajurit kavaleri yang tadi terhempas dari kudanya bangkit perlahan. Zirahnya yang tebal berkilat dalam cahaya redup, pedangnya yang besar kini terangkat. Meski terjatuh, prajurit itu tampak lebih ganas dari sebelumnya, wajahnya dipenuhi kemarahan.
Kini, hanya tersisa prajurit kavaleri itu.
Aric dan Darren berdiri dengan napas berat, dua pemuda yang hanya memiliki sedikit pengalaman pertempuran, kini berhadapan dengan seorang prajurit elit yang bersenjata lengkap. Ini adalah pertarungan yang tidak seimbang—dua melawan satu, tetapi mereka tahu bahwa prajurit ini bisa membunuh mereka dengan satu tebasan jika mereka tidak berhati-hati.
Tapi ini adalah kesempatan mereka. Mereka telah menjatuhkan kudanya, mengalahkan anjing pemburunya. Sekarang, mereka harus menyelesaikan pertempuran ini.
"Kita bisa lakukan ini," gumam Aric, meski jantungnya berpacu dengan ketakutan. "Kita harus bekerja sama."
Meski tubuhnya terhempas keras ke tanah, prajurit itu bangkit dengan mudah, seolah-olah berat zirah yang dikenakannya tidak berarti. Wajahnya penuh amarah, pedangnya terangkat tinggi, siap merobek apa pun yang ada di hadapannya
Darren mengangguk, menyiapkan busur untuk menembakkan panah berikutnya. Aric memutar tombaknya di tangannya, bersiap menghadapi serangan prajurit yang kini maju dengan amarah di matanya.
Aric terus bergerak, berputar dengan hati-hati di sekeliling prajurit kavaleri itu. Setiap langkahnya dihitung, setiap ayunan tombaknya diarahkan untuk menemukan celah di antara zirah berat prajurit tersebut. Prajurit itu adalah binatang buas yang terjebak, terjebak di dalam amarahnya, dan Aric tahu satu kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal.
Darren, berdiri agak jauh, menjaga jarak. Busurnya siap, tali busurnya sudah ditarik dengan anak panah yang terarah dengan baik. Mereka tidak perlu berbicara, tatapan mereka sudah cukup untuk menyampaikan apa yang harus dilakukan. Aric akan terus memancing prajurit itu, menunggu momen ketika Darren bisa menembakkan panahnya dengan sempurna.
Saat prajurit kavaleri itu mengayunkan pedangnya dengan gerakan mematikan ke arah Aric, Aric melompat mundur, cukup cepat untuk menghindari tebasan mematikan itu. Saat itulah Darren melihat celah. Bagian belakang lutut prajurit itu, yang sedikit terbuka di bawah zirah tebalnya. Kesempatan ini mungkin tidak akan datang lagi.
Dengan presisi sempurna, Darren melepaskan panahnya. Panah melesat cepat, melintasi udara malam yang dingin, langsung menuju target. Panah itu menghantam sendi belakang lutut prajurit itu, menancap dengan keras. Untuk sesaat, prajurit itu terhuyung. Aric merasa seberkas harapan muncul—mereka berhasil!
Prajurit itu berusaha bangkit dengan gerakan kasar, lututnya jelas tidak sekuat sebelumnya. Darah segar mengalir dari luka di belakang kakinya, membasahi zirah hitam yang kini ternoda. Setiap langkah yang diambilnya pincang, menunjukkan bahwa tembakan Darren telah menghantam titik vital. Namun, meskipun rasa sakit seharusnya melumpuhkannya, amarah yang membara di matanya tampak menutupi semua rasa sakit itu. Dengan tekad yang tak terhentikan, dia mengayunkan pedangnya dengan kekuatan yang masih tersisa, meskipun gerakannya tak lagi secepat sebelumnyaAric menatap Darren sekilas, memberi isyarat dengan matanya. Mereka tidak punya banyak waktu—serangan berikutnya harus sempurna. Darren mengangguk, mengetahui bahwa panah terakhirnya akan menentukan segalanya.
Amarah membabi buta menguasai prajurit itu. Dia mengayunkan pedangnya ke arah Aric, memukul mundur setiap upaya Aric untuk menyerang balik. Setiap ayunan pedang itu membuat tanah di sekitar mereka bergetar. Aric terus mundur, berusaha bertahan hidup, tetapi dia tahu bahwa mereka sekarang berada di situasi yang sangat buruk. Pertarungan ini tidak imbang—prajurit itu jauh lebih kuat dan berpengalaman daripada dua pemuda yang hanya bersenjatakan tombak dan busur.
Aric mencoba menyerang balik beberapa kali, tetapi setiap upayanya dengan mudah dihalangi oleh pedang besar prajurit itu. Setiap kali mendekat, dia dipukul mundur oleh kekuatan luar biasa prajurit tersebut. Tubuh Aric mulai kelelahan, napasnya terengah-engah, dan setiap langkah terasa semakin berat. Dia tahu, jika ini terus berlanjut, dia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.Prajurit itu mengayunkan pedangnya sekali lagi, kali ini dengan seluruh kekuatan. Aric melihatnya datang—ayunan itu akan menjadi yang terakhir, dan dia tahu dia tidak punya kekuatan atau kecepatan untuk menghindarinya kali ini. Ini adalah akhir.
Tapi sebelum pedang itu menghantam, Darren melepaskan panah terakhirnya. Panah itu melesat dengan kecepatan luar biasa, dan kali ini, Darren membidik kepala prajurit itu. Panah itu menghantam helm prajurit dengan bunyi dentang keras, cukup untuk membuatnya terhuyung mundur sejenak. Helmnya bergetar, pandangannya terganggu.
Dalam momen singkat itu, Aric tahu ini adalah kesempatan terakhir mereka. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Dengan napas terengah-engah, Aric mengarahkan tombaknya ke celah kecil di bawah pelindung lengan prajurit yang sedikit terbuka. Dalam satu gerakan cepat, tombak itu meluncur dengan kekuatan penuh, menembus celah dan menancap dalam. Prajurit itu terdiam, tubuhnya goyah, dan dunia seolah berhenti di sekeliling mereka. Jantung Aric berdebar kencang saat dia menyadari bahwa serangan ini telah menuntaskan segalanya.Prajurit itu menatap Aric dengan mata yang kini penuh kebingungan, seolah tidak percaya bahwa akhirnya inilah yang menantinya. Darah mengalir dari luka yang dalam, tubuhnya mulai goyah, dan perlahan, pedangnya jatuh dari genggamannya, menghantam tanah dengan bunyi berat.
Aric menarik napas panjang, tubuhnya gemetar karena kelelahan. Dia berhasil.
Prajurit kavaleri itu terhuyung-huyung, sebelum akhirnya jatuh ke tanah, tak lagi bergerak. Napas terakhir keluar dari bibirnya sebelum tubuh besarnya tergeletak di atas tanah yang dingin. Pertarungan ini telah berakhir.
Saat prajurit itu jatuh ke tanah, Aric menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Mereka telah memenangkan pertempuran ini, tetapi ada kehampaan di dalam hatinya. Ini bukan kemenangan yang manis—ini adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Prajurit itu telah memberikan segalanya, dan Aric tahu bahwa mereka juga bisa berakhir sama. 'Apa ini hanya awal?' pikirnya, sambil menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan rasa takut yang masih menghantui benaknya
Darren, yang masih berdiri di kejauhan, melepaskan busurnya dan mendekat. Wajahnya dipenuhi kelegaan, meski tubuhnya masih gemetar. "Kita berhasil," katanya dengan suara terengah, matanya tak lepas dari tubuh prajurit yang kini tak bernyawa itu.
Aric hanya bisa mengangguk, napasnya masih berat, tetapi pikirannya terjebak dalam kekosongan aneh yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Mereka telah memenangkan pertempuran, tetapi di dalam dirinya, kemenangan itu terasa hambar. Pandangannya tertuju pada prajurit yang terbaring mati di tanah, darah mengalir dari celah di bawah zirahnya. Apa benar mereka menang? Atau hanya sekadar selamat? Aric tak bisa menghilangkan rasa dingin yang merayap ke dalam hatinya—apakah ini harga yang harus selalu dibayar untuk bertahan hidup?
"Kita selamat," gumamnya, meskipun tubuhnya terasa berat oleh lelah dan kesakitan, tetapi lebih dari itu, oleh kesadaran bahwa pertempuran ini hanyalah permulaan dari perjuangan yang jauh lebih besar dan lebih gelap.