webnovel

Chapter 9

Berganti dari satu posisi menjadi posisi lain. Remaja yang mengenakan piama benar-benar tidak bisa diam di kasurnya. Ia terus bergerak dengan gelisah. Tidak merasa kantuk sama sekali saat malam telah larut.

Ada kekesalan yang bergelayut di dada. Mencengkeram hingga membuat Corin ingin mengamuk. Terutama saat mengingat perlakuan seenaknya Caroline kepadanya. Seenaknya memutuskan, seenaknya merahasiakan sesuatu. Sungguh, bukankah ini hidupnya?! Remaja ini ingin marah, mengamuk. Namun ia hanya bisa menelan kekesalannya bulat-bulat. Rasanya sangat tidak menyenangkan ... sungguh, rasanya sangat tidak nyaman hingga ia merasa ingin kembali menangis.

Mau bagaimana lagi? Ia hanya bisa bergantung dengan gadis Weish. Ia tidak bisa berbuat apa pun ... ia hanya pengecut. Bahkan untuk protes dan sedikit menyuarakan ketidak setujuan, Corin membutuhkan kepercayaan diri ekstra, keberanian yang ekstra.

Tahu pasti bahwa matanya tidak mau terpejam, Corin tanpa ragu bangkit berdiri. Melepaskan piama dan berganti pakaian. Mengenakan jaket, celana jeans dan sepasang sepatu kets, remaja itu kembali membuka ransel yang tergeletak di bawah meja belajar.

Sebuah ransel besar yang menyimpan beberapa pakaian dan kotak P3K, remaja itu menghitung dan mencoba mengingat barang-barang apa yang perlu dibawa dalam kepergiannya selama 7 hari ...

Kembali, perasaan gelisah itu bergelayut. Membuat perutnya bergeliat gugup.

Corin berjongkok, memeluk kedua lututnya. Ia tidak berniat memeriksa kembali. Pikirannya terasa kosong, menatap sendu ke lantai yang dingin. Hanya keheningan yang menyapa, bersama detak jam yang dengan kejam memberitahukan bahwa waktu kepergiannya akan semakin dekat ...

Pergi dari rumah. Selama 7 hari.

Bagaimana dengan Papa? Bagaimana dengan Mama? Bagaimana dengan Alvin ...

Sulit dipercaya, Corin tidak gelisah bahwa mereka akan dengan panik mencari. Itu hal yang wajar. Namun remaja ini justru takut. Takut bila tidak bisa melihat wajah keluarganya lagi, takut bahwa ia akan merindukan mereka. Takut bahwa perjalanan ini ... tidak akan berjalan dengan lancar.

Pip. Pip. Pip. Pip.

Suara alarm yang berbunyi sukses membuat jantungnya melonjak. Refleks, ia mematikan suara bising itu. Sebuah angka tertera, tepat di atas arloji yang melingkari lengan putih.

Jam 00:00

Sudah waktunya untuk pergi.

Whuusshh!

Corin nyaris memekik saat mendadak tubuhnya terdorong hingga terjungkal menabrak dinding. Angin yang kencang berhembus, menerbangkan beberapa benda hingga membentuk topan kecil di ruangannya. Angin aneh yang mendadak muncul sukses membuat remaja itu langsung meringkuk di sudut ruangan—berlindung dan menghindari beberapa benda yang nyaris menabrak tubuhnya.

Beruntung, kejadian aneh hanya berlangsung beberapa detik.

Namun beberapa detik, sukses memporak-porandakan kamarnya.

Selama beberapa detik juga, empat sosok yang sebelumnya tidak ada, mendadak muncul di tengah-tengah ruangan. Sukses membuat Corin nyaris menjerit ngeri. Terlebih, saat mendadak sosok tubuh kecil langsung melompat menghantam tubuhnya.

"Nona!"

Corin gemetar. Ia nyaris ingin mendorong, tetapi kedua tangan yang terkulai, langsung mengepal. Gadis kecil berkuncir dua itu seolah tahu kekuatan tubuh Tuannya. Ia dengan cepat langsung melepaskan pelukan, melangkah mundur dan dengan gugup menjaga jarak.

"Ma-maaf Nona, saya ... saya—"

"Da-dari mana kalian masuk?" Corin menyela. Ia menelan liur paksa, mencoba bangkit berdiri dan menatap tiga orang lainnya. Sedikit pun tidak menatap ke arah gadis kecil yang seolah mencoba membantunya berdiri. Oh, menatap gadis kecil itu membuat Corin sangat tidak nyaman. Jantungnya seolah dicubit perasaan bersalah, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa menahan gemetar bila mengingat sosok ini bukanlah manusia ...

Lin tersenyum mendengarnya. Ia melirik ke arah Gadis Kecil itu, lalu menatap Corin yang pucat. "Yah ... kita adalah Penyihir, tentu saja masuk dengan cara ajaib, kan?"

Remaja berkuncir satu itu tidak nyaman mendengar kata Penyihir dan Ajaib, tetapi ia memilih untuk tidak membahas lebih lanjut. Sepasang iris menatap tambahan orang asing yang akan mengikuti mereka.

Sosok jangkung berdiri di samping Phoenix. Wajah yang kebaratan dengan sepasang iris biru itu tersenyum begitu pandangan mereka bertemu. Helai rambutnya berwarna cokelat, sama seperti Lin dan Edle. Sosok itu asing, tetapi satu hal yang pasti, pemuda ini pasti juga seorang Penyihir.

"Halo," pemuda itu tersenyum ramah, sedikit pun tidak menghindari pandangan Corin yang menyelidik. Mau tidak mau sang remaja merasa malu. Dengan gugup ia mengangguk, sukses mengundang tawa pemuda jangkung itu. "Oh, sayang, apakah dia sangat pemalu?"

"Josh!" Lin melotot, menyikut pemuda yang dipanggil Josh. "Jangan menggodanya!"

Pemuda itu tidak marah sama sekali, sebaliknya, dengan intim ia tertawa dan merangkul Caroline yang lebih pendek. "Baiklah, aku tidak akan bercanda kembali," ujarnya geli. Lalu, sepasang iris biru itu menatap kembali ke arah Corin. "Halo Corin, namaku Joshua, kau bisa memanggilku Josh dan aku adalah partner Caroline Weish."

Corin membuka, lalu menutup mulutnya. Mendadak, ia menyadari sesuatu. Sepasang iris hitam itu membola tidak percaya. "Itu ... kita ... uh ... aku yakin dia menggunakan bahasa Inggris kan?"

Sungguh, ia memang mendengar Joshua memperkenalkan dirinya menggunakan bahasa inggris, bahkan pelafalannya! Namun entah bagaimana, secara otomatis otaknya mengtranselatedkannya! Oh, oke ... itu hal yang biasa. Joshua hanya memperkenalkan dirinya, tetapi entah bagaimana, Corin lebih seperti mendengar Joshua menggunakan Bahasa Indonesia padahal jelas pemuda itu menggunakan Bahasa Inggris?

Josh tertawa mendengarnya. "Oh, tentu saja!" ujarnya jenaka. "Kita para penyihir bisa berkomunikasi tidak peduli menggunakan bahasa apa pun. Well, sangat berbeda dengan manusia biasa yang bisa terhambat karena komunikasi kan?"

Mendadak, Corin gelisah begitu mendengar kata 'kita'. Oh, jelas kata itu termasuk dirinya. Ia juga termasuk Penyihir. Tanpa sadar, remaja itu menggigit bibir bawahnya dengan tidak nyaman.

"Yah ... jangan selalu mengobrol, kita harus bersiap-siap," Lin mendadak menginstrupsi, sukses menarik perhatian semua orang. Sosok cantik itu tengah menunduk, mengotak-atik liontin berbentuk oval yang berada di tangannya.

Seolah merasakan rasa penasaran dan gelisah Corin, Phoenix mendadak buka suara.

"Nona Corin, Anda bisa mengambil tas Anda, Nona Lin sedang mempersiapkan agar kita bisa segera berangkat."

Mendengarnya, remaja berkuncir satu itu refleks bergerak ingin mengambil ranselnya. Namun, sosok kecil langsung bergerak lincah. Meraih ransel besar dan memeluknya dengan erat seolah takut benda itu akan dicuri.

Corin membeku, irisnya menatap kaku anak kecil yang berperilaku terlalu aktif.

"Saya akan membawanya!" seolah takut Corin tidak akan setuju, gadis kecil itu langsung menjaga jarak. "Saya ... saya akan membawanya! Ini ... ini tas yang akan Nona bawa kan?"

Sepasang iris kelabu itu terlalu keras kepala. Membuat remaja berhelai hitam menelan kembali kata-kata penolakannya. Sebagai gantinya, sepasang iris menatap ukuran tas yang terlalu besar untuk dibawa tubuh sekecil itu ...

"Itu ... tidak berat?"

"Tidak berat sama sekali!" seolah mengetahui bahwa Tuannya setuju untuk dibantu, senyuman cerah langsung merekah di wajah kecil itu. "Saya akan membawa dan menjaganya, Nona tidak perlu khawatir!"

Corin menatap ragu ke tubuh kecil itu. Sungguh, meski ia tidak nyaman dengan status gadis kecil ini sebagai Kucing Hitamnya, tetapi tetap saja ... melihatnya secara visual adalah seorang anak kecil, ada perasaan bersalah yang mencubit begitu melihatnya menggendong tas ransel yang besar. Kedua tangan kecil itu bahkan tidak bisa benar-benar memeluknya.

"Kamu bisa—"

"Yak, semuanya merapat," kata-kata Caroline mendadak mengintrupsi. Corin mendadak menoleh, menatap Lin yang terlihat pucat dan berkeringat, tetapi jelas sepasang iris cokelat itu bersinar terang. "Kita harus memulainya sekarang—Rin, jangan menjauh, sini."

Corin menurut. Remaja itu melangkah mendekat dan Gadis kecil itu juga mendekat. Tepat saat Lin melihat semua orang sudah merapat, remaja blesteran itu mengeluarkan sebuah tongkat hitam sepanjang 30cm secara ajaib. Ekspresi remaja cantik itu berubah serius, keringat dingin membasahi pelipis. Sepasang iris cokelat menyipit, fokus ke bandul kalung yang berada di tangan satunya.

Bibir tipis gadis itu bergumam, membaca sebuah bahasa yang tidak dimengerti Corin. Lalu, saat tongkat hitam menyentuh ringan permukaan liontin, seberkas cahaya putih langsung membutakan mata semua orang.

"Uh ... ," Corin mengerjapkan matanya. Ia menggeleng, mengusap mata yang terasa buta untuk sesaat dan perih karena cahaya terang yang terlalu menusuk. Namun, Corin tidak tahan untuk tidak bertanya. "Apa itu tadi?" cahaya foto? Flesh kamera?

"Mantra," Phoenix dengan baik hati menjelaskan. "Dengan ini, kita bisa kembali lagi di waktu yang sama ... sebelumnya, bukankah Nona Lin sudah menjelaskannya? Selama dalam batas waktu 7 hari, kita akan pergi dan kembali lagi ke waktu ini."

Begitu banyak hal yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, bagaimana bisa ia menerima semuanya sekaligus? Corin hanya diam, mengatup rapatkan bibirnya dan mengalihkan pandangan ke arah Caroline yang terlihat kelelahan.

"Baiklah, kita akan langsung pergi," Joshua menghela napas. Ia dengan lembut merangkul Lin dan membiarkan gadis itu bersandar padanya. Sepasang iris biru menatap ke arah Phoenix. "Phoenix, bisa kau membantu?"

Corin menatap bingung saat mendadak Phoenix berjalan mendekat. Pria jangkung itu tersenyum lembut, mengulurkan sebelah tangannya yang berlapis sarung tangan putih dengan sopan. "Nona Corin, bisa saya memegang tangan Anda?"

Remaja itu ragu-ragu, tetapi pada akhirnya mengangguk dan mengulurkan tangannya. Ia dengan lembut menggenggam tangan Phoenix yang besar dan pria itu balas menggenggam dengan erat, sukses membuat jantung Corin melompat dan refleks ingin menarik tangannya.

Namun, keinginan itu langsung sirna saat bahasa asing kembali masuk ke indra pendengaran dan mendadak dunia seolah berputar. Dari satu tangan, Corin refleks menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram lengan Phoenix, memastikan tubuhnya untuk tidak terjatuh karena rasa pusing yang melanda.

Saat guncangan aneh itu menghilang, Corin masih belum bisa mengendalikan dirinya. Kepalanya masih pusing, perutnya mula dan ia merasa ingin muntah. Beruntung, Phoenix cukup sabar. Pria itu menepuk-nepuk punggung Corin dengan lembut, membiarkannya tetap berpegang selama beberapa detik sebelum akhirnya dengan lembut melepaskan saat melihat remaja itu sudah bisa berdiri dengan baik.

"Apa yang—"

Pertanyaan yang ingin dilontarkan tertelan begitu saja. Sepasang iris membola, napas sang remaja tanpa sadar tertahan.

Oh, saat ini ...

Mereka tidak berada di dalam kamarnya kembali.