webnovel

Merindukanmu

Jaejong membelalakkan mata, tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.

"...Yunho...?"

"Hmh. Kau kira dia akan membantumu? Putra Mahkota."

"..."

"Dia prajurit terbaikku yang kuutus untuk mencarimu, dan membawamu ke hadapanku."

"..."

Jaejong mengepalkan tangan dan menggigit bibir untuk menahan amarahnya karena telah dijebak. Baiklah, jika memang harus mati di sini, maka dia akan mati dengan berani seperti keluarganya, dia tidak akan kabur atau bunuh diri. Jaejong mengangkat kepalanya, memandang orang yang ada di depannya.

"Lakukan."

Kaisar Yu berkata sambil melemparkan pedang ke hadapan Yunho, memerintahkannya untuk segera mengeksekusi Jaejong. Yunho mengambil pedang itu, berdiri, lalu mengangguk memberi hormat. Tanpa ragu Yunho berjalan mendekati Jaejong yang diam di tempatnya menanti kedatangan Yunho.

Yunho mulai menarik pedang itu keluar dari sarungnya sambil terus melangkah maju. Suara denting logam tidak membuat Jaejong gentar, dia mengepalkan tangan dengan berani menanti kematiannya. Yunho sudah sangat dekat, Jaejong mengeraskan rahang menahan kekecewaan di hatinya. 

Yunho mengangkat pedang itu. Lalu dengan cepat menghunuskan ujung pedang ke tubuh Jaejong. Darah mulai menetes membasahi pedang..

"....Yunho...."

Jaejong meneteskan air mata..

Jemari Yunho menghapus air mata itu, lalu mengecup lembut kening Jaejong..

"Pergilah."

Yunho berkata lirih,

kemudian mendorong Jaejong ke dasar jurang.

Jaejong yang terkejut bahkan sampai tidak ingat untuk berteriak ketika tubuhnya melayang di udara. Dia hanya menatap wajah itu sambil terus menitikkan air mata.

Dalam sekejap tubuhnya mendarat pada sesuatu yang empuk. Tumpukan jerami. Sebuah gerobak besar berisi jerami sudah menantinya di dasar jurang. Darah mengotori wajah dan pakaiannya, tapi bukan darahnya. Jaejong tidak merasakan sakit sedikitpun, bahkan pada bekas tusukan pedang tadi. Karena Yunho tidak benar-benar menusuknya... Yunho membalik mata pedangnya dan mengiris telapak tangannya sendiri untuk memberikan darah pada pedang itu. Bilah pedang hanya menembus kain pakaian Jaejong, Yunho bahkan tidak menggores sedikitpun kulit badan Jaejong.

Kuda yang menarik gerobak itu langsung dipacu untuk berlari.

"Aaaaaah! Aaaah! 

Jaejong meraung di tengah suara derit roda gerobak yang mulai menjauh dari tebing itu. Pandangannya sedikit kabur karena air mata, tapi dia masih bisa melihat jelas dari kejauhan ketika sebuah ujung pedang menembus jantung Yunho. Yunho memberikan senyuman terakhirnya kepada Jaejong sebelum jatuh berlutut saat bilah pedang itu dicabut. 

"AAAAAAAAH! 

"AAAAAAH!

"TIDAAAAAK!

"AAAAAAAAAAAAAH!

"YUNHOOOOOOOOOOO!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"YUNHO!"

Jaejong terbangun dari mimpinya. Dia berkeringat, napasnya cepat, pipinya basah, dan hatinya sakit.. Lagi-lagi mimpi itu.. Jaejong menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan isak tangisnya setiap kali mimpi itu berakhir. Aaaah! Dia bisa gila kalau begini caranya! Jaejong mulai frustasi karena hatinya mulai tergerus dengan kesedihan yang dia rasakan setiap kali membuka mata. Setiap hari.. Setiap hari dia selalu menangisi seseorang yang tidak dia kenal..

Sudah sebulan ini Jaejong selalu memimpikan hal yang sama setiap kali dia tertidur. Mimpi itu sangat nyata, seperti film yang diputar berulang-ulang di otaknya. Mimpi di mana dia menjadi pemain di dalamnya bersama seseorang yang tidak dia kenal, seseorang yang selalu dia sebut namanya di akhir cerita..

Mimpi itu mulai datang sejak kepalanya terbentur ketika sebuah sepeda motor menyerempetnya sebulan yang lalu. Dia sempat tidak sadarkan diri selama beberapa jam. Dokter sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh pada kepalanya dan menyatakan dia baik-baik saja. Tapi kenyataannya dia tidak merasa baik-baik saja, karena mimpi itu mulai datang menghantuinya sejak itu.

Jaejong menghapus air matanya lalu bangkit berdiri untuk meminum segelas air. Dia mencuci mukanya agar jejak kesedihan itu hilang. Hari sudah pagi, Jaejong membuka jendela, berusaha menyerap sebanyak mungkin sinar matahari pagi untuk mengembalikan kesegaran di wajahnya. Jaejong menghembuskan napas panjang. Sampai kapan dia harus melewati ritual bangun pagi yang melelahkan ini.. mimpi itu sangat menyiksanya.. karena membuatnya seakan-seakan mengalami sendiri kisah itu. Jaejong bahkan pernah melacak nama-nama yang muncul di mimpinya, tapi tidak menemukan apapun di rekam sejarah. Dari pakaian yang dikenakan, mirip dengan pakaian orang Korea jaman dulu yang pernah dipelajarinya waktu sekolah, Jaejong menduga mungkin saat dinasti Goryeo sekitar 1000 tahun yang lalu. Tapi tempat-tempat di mimpi itu sangat asing, Jaejong tidak menemukan kemiripan dengan situs sejarah manapun. Dan wajah orang itu... dia tidak pernah melihatnya, tidak dalam rekam sejarah, maupun di kehidupan nyata, tapi terpatri jelas diingatannya.

Jaejong membuat kopi dan sarapan, lalu membuka handphonenya. Membaca hal-hal menarik yang membuatnya gembira untuk mengusir kesedihan di hatinya. Hah... setelah tersenyum sejenak dan perutnya kenyang akhirnya Jaejong mendapatkan lagi semangatnya untuk memulai hari.

Jaejong mengusap kasar wajahnya, kemudian berkali-kali mengulang kata bahwa mimpi itu hanya bunga tidur untuk memberinya sugesti positif. Hari ini akhir pekan, Jaejong tidak bekerja, jadi dia memutuskan untuk berjalan-jalan keluar berbelanja kebutuhannya.

Jaejong pergi ke pertokoan di pinggir jalan. Membeli sayur mayur, buah-buahan, makanan kecil, dan barang-barang lain yang dia butuhkan. Dia sedang berjalan pulang dengan menenteng beberapa kantong belanjaan di tangannya ketika tiba-tiba salah satu kantong belanja itu jebol. 

"Aah!"

Jeruk-jeruk yang dibelinya menggelinding semua ke bawah di jalanan yang menurun. Jaejong menaruh belanjaannya yang lain di pinggir jalan lalu berlari mengejar jeruk-jeruk itu. Hah.. sial sekali, Jaejong mengumpat dalam hati karena jalanan itu menurun, beberapa jeruk pasti sudah sangat jauh tidak terkejar. Jaejong berdecak kesal sambil memunguti jeruk yang bisa dia tangkap. Untung dia masih punya kantong belanja kosong.

Jaejong sedang membungkuk mengambil sebuah jeruk ketika sepasang tangan terulur untuk memberinya 2 buah jeruk lainnya. Ah beruntung sekali masih ada orang baik yang mau membantunya.

"Terima ka---

------sih..."

Jaejong tertegun dengan sosok yang ada di hadapannya. Seketika dia membeku dan tidak tahu harus berbuat apa. Jantungnya berdetak kencang seakan mau lepas. Dia bahkan sampai lupa bernapas. Wajah itu.. Wajah yang selalu muncul di mimpinya.. Jaejong memperhatikan lekuk wajah itu baik-baik. Sama.. Hanya berbeda potongan rambut dan gaya berpakaian. 

"Jeruk anda."

Pria itu menyodorkan lebih dekat jeruk di tangannya kepada Jeejong.

Suaranya bahkan sama. Napas Jaejong mulai memburu. Mimpi itu tiba-tiba terlintas kembali di pikirannya, kesedihan yang selalu dia rasakan kembali menyeruak. Matanya mulai berkaca-kaca tanpa Jaejong sadari.

"Tuan, jeruk anda."

"...Oh, iya, terima kasih.."

Jaejong berusaha mengembalikan kesadarannya. Dia menjawab dengan suara yang agak tercekat, karena tenggorokannya seperti terganjal sesuatu.

Jaejong mengambil jeruk dari tangan pria itu satu per satu. Gerakan tangannya terhenti ketika melihat bekas luka panjang yang melintang di telapak tangan kiri pria itu. Jaejong menyimpan jeruk-jeruk tadi di kantong belanjanya tanpa melepaskan pandangan sedetikpun dari bekas luka itu. 

"...Bekas luka di tangan anda, kenapa bisa ada di situ?"

"Oh? Ini? Ini bukan bekas luka, tapi tanda lahir, sudah ada sejak aku bayi." Kata pria itu ramah.

Jaejong kemudian menatap wajah pria itu. Ntah kenapa, tiba-tiba air matanya menetes begitu saja. Jaejong merasa seperti menemukan sesuatu yang telah lama dia cari. Kesedihan yang dirasakannya kini bercampur dengan rasa gembira dan kerinduan yang amat sangat. Jaejong menjatuhkan kantong belanjanya lalu menerjang pria itu dengan pelukan.

"Akhirnya aku menemukanmu..."

"Tu..tuan, apa yang anda lakukan??"

 Pria itu kebingungan, dia bahkan tidak tahu harus meletakkan tangannya di mana saat ini. Jaejong sedang memeluknya dengan sangat erat. 

"Memelukmu."

"Aku tahu.. maksudku kenapa anda memelukku?"

"Karena aku merindukanmu."

"Apakah kita saling kenal?"

"Mn. Sejak 1000 tahun yang lalu."

".... Maaf.. Tapi aku tidak ingat pernah mengenal anda.. sepertinya anda salah orang."

"Tidak. Aku tidak salah orang."

"..."

"Apakah kau punya tanda lahir seperti bekas luka juga di dada kirimu?"

"..... Dari mana kau tahu?"

Jaejong tersenyum.

"Yunho.. Aku menemukanmu.."

"Bagaimana kau tahu namaku?"

"Apa kau percaya padaku sekarang? Sudah kubilang aku mengenalmu sejak 1000 tahun yang lalu. Kepalamu harus terbentur dulu sepertiku untuk mengingatnya."

"..."

"Bisakah kau membalas pelukanku?"

Setelah menunggu agak lama, ahirnya Jaejong merasakan tangan pria itu mendekapnya perlahan. Jaejong tersenyum. Aroma tubuh ini, detak jantung ini, dekapan ini, benar-benar seperti yang dia rasakan di dalam mimpinya. Pria itu kemudian mendekapnya makin erat sama seperti yang Jaejong lakukan kepadanya. Jaejong tertawa kecil.

"Apakah rasanya seperti menemukan sesuatu yang telah lama kau cari?"

"..."

Pria itu memeluk Jaejong semakin erat lagi.

"Aku tahu. Aku juga merindukanmu."

"....Siapa kau?"

"Jaejong."

"Jaejong.. Bagaimana aku mengenalmu..?"

"Apakah kau ingin aku bercerita, atau aku membenturkan kepalamu supaya kau mengingatnya sendiri?"

---------------

Jaejong tidak pernah memimpikan kisah itu lagi sejak saat itu. Jaejong yakin itu karena dia telah bertemu dengannya, bertemu dengan orang yang menyembuhkan kerinduannya, orang yang membuatnya berjanji untuk selalu mencarinya disetiap kehidupan yang ada. Jaejong yakin akan menemukannya lagi di kehidupan-kehidupan selanjutnya. Jaejong percaya bahwa setiap luka yang membawa seseorang pada kematian, akan membekas di tubuh sebagai tanda lahir di kehidupan selanjutnya. Luka itu, akan menuntunnya kepada orang yang dia cintai.

-END-