Riana, Adella dan Enji duduk berdesakan di sofa favorit mereka di pojokan cafe bernuansa musik ala 90-an itu. Cafe itu adalah milik ayah tiri Enji, namun dikelola oleh orang lain. Itu sebabnya mereka berempat merasa leluasa di cafe itu, dan menjadikannya sebagai tempat yang nyaman untuk berkumpul dan mengerjakan pe-er.
Dian, sang pelayan hilir mudik membawa pesanan pengunjung. Hari ini tanggal satu, tanggal muda, dimana para pegawai baru saja mendapat gaji. Sebagian besar dari mereka punya kebiasaan berfoya-foya di awal bulan dengan makan-makan di cafe, lantas berhemat-hemat diakhir bulan dengan makan mie instan. Tak heran kalau suasana cafe sore itu terasa ramai dan berisik.
"Gue masih nggak percaya," kata Riana sambil duduk bersandar di sofa. Buku pelajaran Biologi terbuka di pangkuannya, namun sama sekali tidak dibaca. Hanya dipandang sekilas sambil sesekali dibolak-balik.
"Gue juga," komentar Enji yang duduk disebelah Adella. Meski pandangannya lurus mengarah pada televisi yang sedang menyiarkan pertandingan sepak bola, namun Enji paham apa yang dimaksud oleh Riana.
"Kalian ngomongin apa sih?," tanya Adella yang sibuk mengunyah sekantong keripik kentang. "Nggak percaya apaan?"
"Papa Emily selingkuh," kata Enji, mengabaikan isyarat tutup mulut dari Riana. Bagaimanapun Adella berhak untuk tahu, karena dia bagian dari tim. Begitu pikir Enji.
"Lah, baru tahu?," jawab Adella santai. "Kan emang dia tukang selingkuh dari dulu. Makanya nenek Emily dulu maksa bawa Emily dan ibunya pulang, biar terbebas dari papanya yang toxic itu."
"Sekarang dia selingkuh lagi. Padahal dulu janjinya tobat, bahkan sampai bersumpah di depan nenek dan Mama Emily."
"Beeeuhh...tukang selingkuh dipercaya," Adella mencibir. "Selingkuh itu penyakit, tau nggak? Kalau udah selingkuh sekali, nanti pasti selingkuh lagi. Mama Emily bodoh sekali mau menerima suaminya kembali. Kalau gue sih ogah!," kata Adella berapi-api.
"Jadi lo nggak heran kalau Pak Benny selingkuh lagi?," tanya Riana.
"Ya enggaklah! Gue tuh justru heran kalau dia nggak selingkuh selama dua tahun ini. Kok tumben tahan," Adella terkekeh. "By the way, dia selingkuh sama siapa?"
Riana dan Enji saling pandang.
"Kalau gue bilangin, lo pasti nggak percaya," jawab Enji.
"Nggak usah dikasih tahu deh. Ntar malah dibilang kita mengada-ada lagi," cegah Riana.
"Ish kalian ni," komentar Adella sambil mengangkat bahu. Meskipun penasaran, tapi Adella nggak memaksa. Ngapain? Alpan ini kota kecil, penduduknya cuma seuprit. Kalau ada yang aneh-aneh, gosip pasti akan menyebar secepat kilat.
Adella terkekeh.
"Idih, ketawa sendiri," komentar Enji.
"Biarin!," jawab Adella.
.
.
.
"Gue turun disini," kata Emily tiba-tiba saat sepeda motor yang dikendarai Ray merangkak pelan saat mendekati tikungan tajam.
"Kenapa?," tanya Ray kaget saat Emily tiba-tiba melompat turun dari sepeda motor. Buru-buru Ray menghentikan kendaraannya.
"Lo kenapa sih tiba-tiba meloncat begitu?," tanyanya dengan suara keras. "Bahaya tahu! Kalau jatuh gimana?"
"Tenang aja. Kalaupun gue jatuh nggak bakalan menyalahkan lo," kata Emily sambil mulai berjalan.
Ray mengikuti Emily sambil mendorong sepeda motornya. Jalanan itu mendaki dengan ketinggian yang ekstrim. Sebentar saja Ray sudah ngos-ngosan karena mendaki sambil mendorong sepeda motor.
'Kok bisa sih dia berjalan santai begitu?' tanya Ray dalam hati mengamati Emily yang berjalan santai seolah-olah mereka sedang berada di jalan yang datar.
"Lo pulang duluan sana," usir Emily. "Lo nggak bakalan kuat mendorong motor sampai ke atas sana."
"Hhhh...!," Ray mendesah marah. Nafasnya memang terasa hampir putus dan lengannya keram parah. Namun disisi lain dia teringat tugas yang diberikan Pak Benny untuk mengantar dan jemput Emily sekolah.
"Naiklah!" teriak Ray sambil berjalan terengah-engah. "Papamu bisa marah kalau aku pulang duluan."
"Gue lebih marah kalau lo ikutin seharian," balas Emily. "Jadi lo pulang aja sana!"
'Kok bisa sih dia bernafas seperti biasa, sementara gue dah semaput begini?,' tanya Ray dalam hati, memandang kagum pada fisik Emily yang mungil namun kuat.
"Tak usah ngeliatin gue terus, ntar lo naksir!" kata Emily tanpa menoleh ke belakang.
"Ih, siapa juga yang ngeliatin. Bodi tipis kayak papan penggilasan gitu," gerutu Ray sambil berhenti di pinggir jalan. Diparkirnya motor itu, lantas membungkuk dengan kedua tangan memegang lutut. Luar biasa, Kota Alpan memiliki medan yang benar-benar menguras tenaga. Padahal di Jakarta dulu Ray cukup rutin berolah raga.
"Gila, tu cewek gesit banget!," gerutu Ray sambil mengamati sosok Emily yang semakin jauh. Tak punya pilihan lain, Ray akhirnya menaiki sepeda motornya dan menggasnya dalam-dalam supaya kuat mendaki jalan yang kemiringannya mencapai 45 derajat itu.
Kalau bukan karena permintaan ibunya, Ray malas disuruh menjadi pengawal Emily. Masalahnya ibunya menjadikan Chris, adiknya yang berkebutuhan khusus sebagai tameng. Biaya terapi Chris dua kali seminggu di sebuah rumah sakit di Kota provinsi luar biasa mahal. Dan Benny Dirgantara menyanggupi biayanya, jika Ray mau mengerjakan pekerjaan ekstra : menjadi pengawal Emily.
"Dia terlalu banyak bergaul dengan anak-anak kampung itu. Mestinya Emily harus sudah mulai serius jika ingin kuliah di luar negeri," demikian kata Benny melalui ibu Ray. "Jadi kamu mesti menjaganya, memastikan Emily pergi dan pulang sekolah tepat waktu."
Ray tak punya pilihan lain selain mengiyakan. Adiknya Chris memang sangat membutuhkan terapi khusus untuk anak autis. Dan kota kecil Alphan tak punya itu. Pusat terapi tumbuh kembang anak yang bisa membantu anak seperti Chris hanya ada di kota provinsi yang terletak tiga jam perjalanan dari Alpan.
"Siapa yang akan mengantar Chris? Bukannya Mama bekerja?," tanya Ray.
"Kita berbagi tugas. Mama bisa cuti sekali seminggu, dan kamu yang bertugas mengantar Chris pada hari Sabtu."
"Baiklah," jawab Ray lemah. Mamanya mau mengantar Chris saja sudah merupakan suatu kemajuan. Bertahun-tahun Mamanya mengabaikan Chris sehingga adiknya itu tumbuh kekurangan kasih sayang.
Hari ini adalah hari pertama Ray bekerja mengantar jemput Emily. Chris meraung saat Ray meninggalkannya di rumah dengan bantuan seorang tetangga yang bersedia menjadi menjaga Chris sampai Ray pulang sekolah. Sementara ibunya pagi-pagi sudah turun ke kota dengan Pak Benny, mengerjakan entah apa. Ray tak peduli urusan mereka, sepanjang mereka tidak memisahkannya dari Chris.
"Emily, tunggu!" Ray berteriak saat melihat Emily berjalan semakin jauh, hampir mencapai puncak dari tanjakan itu. Diputarnya gas dalam-dalam untuk menyusul. Nyaris saja motornya slip saat melalui bagian jalan yang licin.
Ray bergidik saat akhirnya bisa mengendalikan sepeda motor itu. Jurang di sebelah kirinya sangat dalam, bahkan dasarnya saja nyaris tidak kelihatan. Anehnya tak ada pagar pembatas yang memisahkan jurang itu dari badan jalan. 'Orang-orang disini memang memiliki keberanian yang mengagumkan dan kemahiran mengemudikan kendaraan yang luar biasa,' pikir Ray.