webnovel

Ketika Dia Pergi

Emily,17 tahun, adalah seorang gadis biasa yang menghabiskan waktu dengan sekolah, berkumpul bersama sahabat-sahabatnya, naksir teman sekelas yang tampan, dan bercita-cita menjadi desainer. Meskipun memiliki ibu yang menderita gangguan jiwa, Emily mencoba menikmati masa-masa remajanya. Ray, 17 tahun, adalah cowok pendiam namun berprestasi di sekolah. Ray sangat menyayangi adiknya yang berkebutuhan khusus, meski membuat hari-harinya terasa berat. Apalagi setelah ibunya membawa mereka pindah ke sebuah kota kecil untuk bekerja di perkebunan. Dunia Emily dan Ray mendadak jungkir balik saat Benny dan Maya-Ayah Emily dan Ibu Ray-menghilang bersama. Emily dan Ray sangat shock mengetahui bahwa ternyata orang tua mereka ternyata terlibat perselingkuhan. Ray memang sudah curiga, karena belakangan ibunya sering dijemput oleh bosnya, yang ternyata adalah Ayah Emily. Ibunya juga semakin abai dan kehilangan kesabaran terhadap Chris. Sekarang Emily dan Ray terancam dimasukkan ke panti asuhan yang dikelola oleh negara, karena masih dibawah umur dan tidak memiliki orangtua. Pengacara perusahaan Emily mengatakan bahwa jika lebih dari setahun Benny dan Maya tidak ditemukan, maka mereka akan dinyatakan meninggal. Jadi Emily dan Ray memiliki waktu setahun, sebelum akhirnya mereka dimasukkan ke panti asuhan. Dan ya, mereka hanya butuh waktu setahun. Karena tahun depan mereka sudah berusia delapan belas tahun dan dianggap dewasa. Asalkan selama setahun itu Benny dan Maya tetap menghilang, atau kembali ke keluarganya dalam keadaan hidup, Emily dan Ray akan tetap tinggal di rumah mereka. Namun, bagaimana jika Benny dan Maya ternyata sudah meninggal? Emily akan masuk panti asuhan, dan perusahaan ibunya akan dibekukan sampai umurnya delapan belas tahun. Ray dan Chris juga akan masuk ke panti asuhan, terpisah satu sama lain, karena Chris pasti akan dimasukkan ke panti asuhan khusus untuk anak autis. Emily dan Ray dicekam ketakutan saat tanpa sengaja saat hiking mereka menemukan jejak mobil ayah Emily di sebuah jurang. Akankah mereka melaporkannya ke kepolisian? Atau mengabaikannya dan tetap berpura-pura orangtua mereka menghilang? Hidup dipanti asuhan akan berat, dan Ray lebih naik mati daripada dipisahkan dari Chris.

wetri_febrina · Thiếu niên
Không đủ số lượng người đọc
174 Chs

Menuju Alpan

"Nenek, bolehkan aku pergi menengok Mama di rumah sakit?," pinta Emily dengan air mata yang hampir jatuh.

Hatinya terasa sangat nelangsa. Bertemu dengan nenek ternyata tidak seindah yang dibayangkannya. Tidak ada sambutan hangat, bahkan senyuman pun tidak. Hanya keengganan yang terlihat di wajah perempuan tua yang masih terlihat cantik itu. Seolah-olah memiliki cucu seperti Emily adalah hal terakhir yang diharapkannya dalam hidup.

"Kamu langsung tidur saja. Besok kita berangkat pagi-pagi sekali, setelah subuh," jawab Nyonya Tris dingin. Wanita itu masih belum mau memandang wajah Emily, entah karena apa. Dan itu membuat hati Emily semakin sedih.

Rio menatap iba pada gadis kecil itu. Refleks dia merangkul pundak Emily untuk menghibur. "Tak usah khawatir, besok kamu kan ketemu ibumu?"

Emily mendongak menatap Rio. Mata gadis itu berpendar ketika cahaya lampu memantul di genangan air matanya.

"Tapi Om ikut, kan?," tanya Emily dengan suara bergetar.

Rio terdiam. Jujur, dia masih ragu untuk kembali ke Alpan. Tapi bertahan di Jakarta juga sudah tak menarik lagi baginya, setelah mengetahui Tania akan dibawa Nyonya Tris pulang. Mungkin tak ada salahnya dia menerima tawaran untuk menjadi dokter keluarga Zillian.

"Iya Om ikut," jawab Rio sambil mengetatkan rangkulannya. Emily mendesah lega mendengar jawaban Rio. Dipaksakannya sebuah senyuman, meski lengkungnya tak sempurna.

Wahyu menyaksikan kedekatan Rio dan Emily dengan cemburu. Bagaimana bisa dia kalah dengan seorang dokter muda yang baru dikenal Emily kurang dari seminggu?

"Bagus," Nyonya Tris mendengus. "Besok kamu stand by di rumah sakit jam empat subuh. Dampingi Tania dalam ambulans yang sudah disediakan. Ingat, jangan menarik perhatian. Jangan sampai ada wartawan!"

Kepala Rio mendadak pusing. Jam empat subuh? Artinya jam tiga dini hari dia sudah harus bersiap ke rumah sakit. Sementara barang-barangnya di kos-kosan belum dipacking.

Refleks tangan kirinya terangkat untuk mengecek arloji yang melingkar di pergelangan. Sudah pukul delapan malam. Artinya dia hanya punya waktu sekitar enam jam untuk tidur dan bersiap-siap.

"Wahyu, ingat apa yang sudah saya katakan? Tak boleh ada yang mengetahui kepergian Tania ke Alpan!"

Tanpa menunggu jawaban Wahyu, Nyonya Trisna berlalu memasuki kamar utama di ruangan suite itu. Begitu Nyonya Trisna menutup pintu, dua orang pelayannya muncul dari salah satu kamar yang ada disitu. Sepasang suami istri paruh baya berusia sekitar empat puluh lima tahun.

"Nona Emily ikut Bibi ya? Saya Bibi Narti," kata pelayan perempuan sambil menggiring Emily menuju salah satu kamar yang kosong.

Emily menoleh memandang Rio dan Wahyu. Rio mengangguk seraya tersenyum hangat. Sedangkan Wahyu berdiri, melangkah mendekati Emily dan memeluk gadis itu dengan canggung.

"Jaga dirimu baik-baik ya, sayang," gumamnya sambil mengusap kepala Emily.

Emily mengangguk, menatap Rio sekali lagi. Seolah memastikan bahwa Rio tak mungkin ingkar janji, akan menemaninya menuju Alpan besok pagi.

"Aku juga mesti pulang," kata Wahyu sambil menepuk pundak Rio. "Kamu butuh tumpangan?"

"Mobilku ada di klinik dekat rumah Tania. Kalau tidak merepotkan...."

"Nak Rio ikut saya aja," kata si pelayan laki-laki yang dari tadi berdiri tidak jauh dari mereka. "Biar saya antar mengambil mobilnya."

"Kalau begitu aku permisi," kata Wahyu sambil berlalu.

"Biar saya antar ke kosan Nak Wahyu sekalian, saya bantu mengepak barang. Biar tak bolak-balik besok pagi, barang-barangnya biar saya yang bawa."

Rio memandang laki-laki itu, merasa sedikit familiar dengan wajahnya.

"Saya Pak Ton, tetangga kakekmu di kampung," kata lelaki itu sambil mendekati Rio. "Kamu Rio, cucunya Tuk Warman kan? Yang sekolah dokter di Jakarta?"

Rio mengangguk sambil tersenyum, lega mengetahui bahwa lelaki itu adalah tetangga kakeknya. Dulu sewaktu kecil, Rio sering bermain ke rumah kakeknya di perkebunan. Melihat Tania dari jauh, mengangumi gadis paling cantik yang pernah ditemuinya itu. Pak Ton tinggal di lingkungan yang sama dengan kakeknya, di perumahan khusus karyawan perkebunan yang dibangun oleh keluarga Zillian. Samar-samar Rio ingat pasangan suami istri itu.

"Kok Pak Ton masih ingat saya? Padahal muka saya kan sudah banyak berubah?," tanya Rio sambil tertawa.

"Iya dulu kamu bulet, sekarang udah kurus," jawab Pak Ton sambil tertawa. "Tapi wajahmu masih sama, mirip almarhumah ibumu. Dulu almarhumah ibumu adik kelas Bapak waktu sekolah."

Rio mengangguk. Sekelebat bayangan ibunya yang sudah meninggal terlintas di benaknya, membuat rindu. Di Alpan, hanya ayahnya yang masih ada. Namun sejak ayahnya menikah lagi, Rio menjadi sungkan untuk pulang. Terlebih karena ibu tirinya juga membawa dua orang anak perempuan, sehingga Rio tidak nyaman lagi untuk menginap di rumah masa kecilnya, yang sekarang sudah dihuni keluarga baru ayahnya.

Rio mengikuti Pak Ton turun ke lobby. Sebuah mobil mewah merek Lexus sudah menunggu, entah kapan Pak Ton menghubungi petugas parkir.

.

.

.

.

Rio terbangun saat telepon genggamnya berdering. Sebagai dokter dia memang tidak pernah mematikan handphonenya saat tidur dan beristirahat, takut sewaktu-waktu ada panggilan darurat dari pasien yang membutuhkan pertolongannya.

Mata Rio menyipit mengamati alarm clock di meja, baru pukul dua dini hari. Artinya dia baru sempat tertidur sekitar dua jam, karena sibuk mengepak baju dibantu Pak Ton semalam.

Rio mengangkat telepon selulernya. Mengernyit saat melihat nama Wahyu disana. Kemaren mereka memang sempat saling tukar nomor handphone.

"Halo?," sapanya dengan suara serak, khas orang yang baru bangun tidur.

"Rio? Gawat, Ri. Kamu harus cepat ke rumah sakit," suara Wahyu mendesak.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu dengan Tania?," tanya Rio sambil duduk. Refleks karena kebiasaan bertahun-tahun, dia langsung mengenakan celana panjang dan meraih jaket yang tersampir di belakang pintu .

"Bukan Tania, tapi Benny! Lelaki itu datang kesini dan memaksa membawa Tania pulang."

"Why? Darimana dia tahu Tania dirawat di rumah sakit itu?"

"Kalau Benny bisa tahu, artinya tinggal menunggu waktu wartawan datang kesini. Kamu harus bergegas membawa Tania pergi," kata Wahyu panik.

Rio menarik nafas. Kalau dia ikut-ikutan panik, semua bisa runyam. Tadinya Rio berencana naik taxi online ke rumah sakit dan meninggalkan mobilnya di kos-kosan. Mungkin setelah kondisi Tania membaik dia akan kembali ke Jakarta untuk menjemput mobil dan mengambil sisa barangnya. Tapi melihat kondisi yang mendesak ini, Rio terpaksa membawa mobilnya ke rumah sakit dan menitipkannya pada Wahyu.

Setengah berlari Rio menuruni tangga dari kamarnya di lantai dua, meluncur ke garasi dan menghidupkan mobilnya. Koper-koper berisi baju dan barang-barang penting miliknya sudah dibawa oleh Pak Ton semalam. Rio hanya membawa tas pinggang berisi dompet, handphone dan charger.

Mobil berwarna hitam itu segera melaju di jalan raya. Membelah jalanan Jakarta yang lumayan sepi pada pukul dua dini hari.