Menjelang magrib, pintu depan rumah itu di ketuk seseorang. Emily dan Dokter Rio saling pandang. Emily memegang lengan Dokter Rio, jemarinya terasa dingin di kulit lengan dokter itu. Menggambarkan ketakutan dan kekhawatiran yang dirasakannya.
Sebelumnya beberapa kali pintu depan itu diketuk, bahkan digedor oleh seseorang. Namun baik Emily maupun Rio mengabaikannya, karena yakin itu adalah wartawan dan reporter yang ngebet pingin mewawancarai Tania untuk mengkonfirmasi berita perselingkuhan suaminya. Lampu rumah pun sama sekali tidak dinyalakan oleh Emily, padahal hari sudah mulai remang senja.
Sedari pagi tadi Emily cuma duduk di sofa, terkadang sambil membaca buku, terkadang sambil menggambar, namun lebih sering melamun.
"Kita intip yuk, Om? Siapa tahu itu Om Wahyu, tadi dia janji mau jemput aku sore ini," ajak Emily sambil menarik lengan Dokter Rio.
"Om Wahyu?"
"Iya, manager Mama."
"Oh. Bagaimana kita bisa tahu itu manager Mamamu? Seharusnya dia menelpon atau mengirim pesan, kan?"
"Om lupa ya? Bagaimana dia mau mengirim pesan? Handphoneku kan dibawa Mbak Yati. Mana Mbak Yati juga nggak balik-balik. Apa mungkin dia diculik sama para wartawan?"
"Hush! Wartawan itu bukan kriminal. Kalaupun ada yang bersikap tidak sopan, itu hanya oknum," kata Dokter Rio mencoba untuk bijak.
"Tapi perbuatan mereka menganggu," kata Emily mengeluh. "Gara-gara mereka aku jadi terkurung disini seperti narapidana."
Dokter Rio tertawa. "Kamu merasa bosan, ya? Mau nekad keluar menembus kerumunan wartawan."
Emily menggeleng. "Aku takut mereka mengikutiku, dan mencari tahu apa yang terjadi pada Mama. Menurut Om, apa yang akan diberitakan mereka jika mengetahui Mamaku koma di rumah sakit karena mencoba bunuh diri?"
"Mamamu tidak koma. Dia hanya tidak sadar diri."
"Tidak sadar diri atau tidak sadarkan diri?"
"Kamu kritis banget, sih? Pasti kamu juara kelas di sekolah."
"Aku tidak juara kelas, dan aku sudah tamat sekolah dasar. Seharusnya aku sudah berada di Singapura untuk melanjutkan sekolahku. Tapi gara-gara...," Emily terdiam. Rasa kecewa memenuhi rongga dadanya, membuat tenggorokannya tercekat.
"Jangan menyalahkan Mamamu. Jiwanya sedang rapuh, makanya dia jadi bertindak bodoh seperti itu," bujuk Dokter Rio sambil mengusap bahu Emily.
Emily benar, karena percobaan bunuh diri itu, Tania berada pada kondisi tidak sadar diri dan tidak sadarkan diri sekaligus. Sejak kedatangannya di rumah sakit, Tania langsung menjalani operasi untuk mengatasi pendarahan akibat luka di pergelangan tangannya. Luka itu cukup parah karena mengenai arteri, sehingga Tania sempat mengalami shock sewaktu sampai di rumah sakit. Shock itu membuat Tania sempat mengalami koma. Dan setelah tersadar, membuat Tania menjadi bingung dan amnesia.
Rio mengetahui hal itu dari temannya yang terlibat langsung menangani Tania di UGD. Untungnya Rio sempat berpesan pada temannya untuk merahasiakan kedatangan Tania di rumah sakit itu. Teman Rio itu juga sama-sama berasal dari Alpan, sehingga dia juga mengenal siapa Tania. Solidaritas persaudaraan karena sekampung-halaman membuat mereka berkomitmen untuk saling menjaga. Itu sebabnya kondisi Tania tidak terendus oleh media.
Namun Dokter Rio juga bukannya orang yang gaptek terhadap berita tentang selebritis. Sementara menemani Emily, dia juga sempat mengecek perkembangan berita tentang Tania dan Benny melalui smartphone-nya. Tentunya dilakukannya diam-diam tanpa sepengetahuan Emily, karena tidak ingin membuat sedih dan khawatir anak itu. Ada untungnya juga handphone Emily dibawa Mbak Yati, sehingga Emily tidak mengetahui berita menghebohkan yang sedang menjadi bahan perbincangan terpanas di Indonesia saat ini.
'Live dari kediaman Tania Zillian"
"Pernyataan ART di kediaman Tania Zillian tentang kelakukan bejat Benny Dirgantara : " Pak Benny pernah memperkosa saya sewaktu anak dan istrinya ke luar negeri."
"Benny Dirgantara dipaksa menikah siri dengan selingkuhannya, wanita berinisial MN, setelah digerebek massa di sebuah kos-kosan ekslusif"
"Tania tidak merespon keberadaan awak media di rumahnya, diduga melarikan diri ke luar kota. Managernya juga tidak bisa dihubungi."
Tagline-tagline berita seputaran Tania bermunculan di website-website media online dan di sosial-sosial media. Bahkan di Twitter dan facebook mulai marak tagar #savetania yang aktif diposting oleh puluhan juta penggemarnya. Rio khawatir, hanya menunggu waktu sampai keberadaan Tania terkuak. Kebenaran tak mungkin ditutupi selamanya.
"Om nggak kerja?," tanya Emily tiba-tiba, mengagetkan Dokter Rio yang sedang berkonsentrasi membaca berita-berita tentang Tania di internet handphonenya.
"Tidak. Hari ini kebetulan jadwal Om libur. Ngomong-ngomong, darimana kamu tahu bahwa kalian akan pindah ke Kota Alpan?," tanya Dokter Rio sambil menyimpan ponselnya di tas selempangnya.
"Om Wahyu yang bilang, melalui Mbak Yati. Untung koper-koperku sudah ready. Om tau nggak? Aku menyusun barang-barangku di koper itu sejak dua minggu yang lalu untuk persiapanku sekolah di Singapura," kata Emily murung.
"Kamu sedih ya, nggak jadi ke Singapura?"
"Ya sedihlah, Om. Aku tuh udah mendaftar sekolah disana. Sudah mendaftar kursus desain juga. Sewa apartemen juga sudah dilunasi Mama. Tau-tau nggak jadi pergi, malah disuruh ke Alpan. Nggak jelas banget kan? Alpan itu dimana aku nggak tau."
"Lah, tadi kan udah Om kasih tau. Alpan itu kota cantik tanpa salju. Kota terindah di dunia."
"Hmm...Tapi aku disana ngapain? Trus aku disana tinggal sama siapa? "
"Mungkin Mamamu punya keluarga disana? Kakek dan Nenek mungkin?" tanya Rio hati-hati, mencoba mengorek keterangan yang diketahui Emily tentang keluarga Tania.
"Setahuku Mama dan Papa tak punya keluarga. Dulu sih Papa punya nenek, nenek buyutku. Kalau Mama memang ngga pernah cerita tentang keluarganya."
"Kamu nggak pernah ingin tahu apa kamu punya Kakek-Nenek atau Oma dan Opa?"
Emily mengangkat bahu. "Dulu waktu aku masih kecil sih iya. Aku sering bertanya : 'Kenapa kita nggak pernah mudik kalau lebaran? Kenapa aku ngga pernah diajak ke rumah Kakek dan Nenek?' Papa bilang kalau ayahnya sudah meninggal, sedangkan ibunya tinggal di luar negeri. Papa sejak bayi tinggal sama neneknya di Semarang, karena ibu kandung papa yang orang Australia sudah lama kembali ke negaranya. Mereka sudah lama hilang kontak. Neneknya Papa juga sudah meninggal, sewaktu aku masih kecil. Aku bahkan tak ingat wajah nenek buyutku itu, karena waktu itu aku masih kecil banget.
Kalau Mama memang sama sekali nggak mau bercerita tentang Kakek dan Nenek. Meski ingin tahu, namun aku sudah nggak pernah nanya lagi pada Mama. Kalau Mama nggak mau cerita, ya sudah. Mungkin Mama punya alasan yang kuat sehingga ingin menyembunyikan masa lalunya."
Dokter Rio memandang Emily dengan kagum. 'Gadis ini masih kecil, tapi sudah memiliki pemikiran yang dewasa,' batinnya.
Tiba-tiba ketukan di pintu depan terdengar lagi. Kali ini dengan teriakan memanggil nama Emily.
"Emily?! Buka pintu, ini Om Wahyu!"
Emily kontan berdiri dengan wajah gembira. "Ayuk Om, kali ini beneran Om Wahyu!"