Emily berteriak keras saat kakinya tergelincir di tanah yang licin. Matanya terpejam karena takut saat punggungnya menghantam tanah dengan keras.
'Bug!!'
"Aduuuhhh!!"
Rasa sakit yang tajam menjalari bagian pergelangan kaki Emily dan merambat ke atas. Untuk sesaat dia terbaring ditanah menghadapi rasa sakit yang membutakan. Rasa dingin tanah menjalar ke punggungnya, membuat giginya gemeletuk. Dicobanya berguling ke samping namun rasa nyari di kakinya membuatnya berteriak lagi.
"Aduh!"
"Emily!," seseorang mendadak datang mendekat menghampiri Emily. Cahaya matahari sudah hilang menghadirkan remang-remang, membuat Emily harus menajamkan pandangan untuk melihat siapa sosok yang menghampirinya itu.
"Ray," desah Emily.
Untuk pertama kalinya dia merasa lega melihat sosok itu setelah beberapa hari ini Ray menjadi sosok yang menjengkelkan baginya.
"Kamu kenapa?," tanya Ray sambil berjongkok di sebelah Emily. Dengan sigap tangannya mengangkat tubuh Emily, mau nggak mau Emily melingkarkan lengannya di leher Ray.
"Tahan ya, aku akan membawamu ke guest house," kata Ray sambil melangkah pelan dan hati-hati melewati jalan yang licin menuju guest house yang terletak tidak dari lokasi Emily terjatuh.
Emily menggigit bibir menahan sakit. Lengannya berpegangan erat-erat pada leher Ray. Setiap hentakan kaki pemuda itu mengirim denyut yang menyakitkan pada pergelangan kaki dan punggungnya.
Jarak dari tempat Emily jatuh dengan guest house hanya sekitar dua puluh meter. Namun karena Ray harus melangkah pelan dan hati-hati, apalagi sambil menggendong Emily, butuh waktu beberapa menit juga untuk mencapainya.
Seorang anak kecil berusia lima tahun berlari mendekati Ray begitu mereka memasuki halaman guest house. Emily mengenalnya sebagai bocah kecil yang tempo hari sempat dibully oleh anak-anak kampung. Meski kesakitan, Emily berusaha tersenyum pada anak kecil itu.
"Dia adikku. Namanya Chris," ujar Ray sambil menurunkan Emily di sofa panjang yang ada di lobby.
"Hai Chris," sapa Emily sambil melambaikan tangannya pada Chris. Namun bocah kecil itu hanya menatapnya tanpa ekspresi. Mata besarnya menatap Emily sejenak, lalu merapat ke sisi Ray. Ray merangkul Chris dan mengusap pucuk kepalanya dengan lembut. Kedekatan dua bersaudara itu sempat membuat hati Emily berdenyut cemburu, karena takdirnya sebagai anak tunggal yang tidak memiliki saudara untuk berbagi kasih sayang.
"Sepertinya pergelangan kakiku terkilir," ujar Emily sambil memeriksa pergelangan kakinya.
Ray berjongkok membantu Emily menaikkan ujung celana jinsnya.
"Sepertinya begitu," gumam Ray sambil mengamati pergelangan kaki Emily yang mulai bengkak dan berwarna kemerahan.
"Aww!," Emily menjerit saat Ray mengurut pergelangan kakinya. "Sakit," rintihnya.
"Sepertinya kamu harus dibawa ke klinik," kata Ray. "Bengkaknya parah sekali. Memangnya tadi kamu mau kemana gelap-gelap begini?"
Emily teringat alasannya nekad menyusul papanya ke kantor. Amarahnya kembali muncul membuat wajahnya terlihat gusar
"Tadi aku butuh ketemu Papa," jawab Emily. Wajahnya mendadak keruh. "Makanya aku pergi mencarinya ke kantor."
"Papamu belum kembali. Tadi pagi dia pergi bersama Mamaku ke Kota Provinsi."
"Kota provinsi?," mata Emily membulat. "Kenapa Papa tak mengajakku? Dia bahkan tak bilang mau pergi."
"Kamu kan mesti sekolah?," tanya Ray heran. "Ya wajar kalau Papamu nggak ngajakin pergi kesana."
Emily mendesis marah. "Kamu nggak ngerti! Sudah beberapa kali aku meminta Papa mengantarku ke Kota Provinsi, namun Papa selalu beralasan sibuk dan tidak sempat. Tahu-tahu dia pergi kesana diam-diam tanpa mengajakku," kata Emily gusar. "Wajar kan aku marah?"
"Ada apa di Kota Provinsi?," tanya Ray heran. "Mengapa kamu kelihatannya pengen banget pergi kesana."
"Ada ibuku," jawab Emily. Wajahnya mendadak sedih.
"Ibumu?"
"Ya ibuku. Mengapa memangnya?"
Wajah Ray mendadak gelap. "Maaf, apa ibumu masih menikah dengan ayahmu atau mereka sudah bercerai?"
"Seharusnya mereka sudah bercerai andai mamaku tidak sebegitu bucinnya sama Papa. Dia memanfaatkan kondisi jiwa mamaku yang kurang stabil dan menguasai perusahan warisan keluarga. Aku benci papaku yang memanfaatkan mama untuk ambisi pribadinya. Dan aku benci diriku yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela mama!," teriak Emily emosi.
Ray tampak mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras karena marah.
"Jadi ayah dan ibumu masih resmi sepasang suami istri?," tanya Ray lagi.
Emily sedikit heran melihat ekspresi Ray yang berubah emosional dan sinis. "Maksudmu apa sih, Ray? Kamu maunya papaku bercerai dengan mamaku?"
"Papamu...pacaran dengan mamaku. Dia membohongi kita semua!"
.
.
.
"What? Maksudmu apa?," tanya Emily.
"Papamu dan mamaku punya affair," kata Ray kesal.
"Maksudmu mereka selingkuh?"
Ray tak menjawab, melainkan melangkah mondar-mandir mengelilingi lobby yang lengang. Chris mengikuti dengan berjalan mondar-mandir di belakang Ray. Emily menatap mereka dengan bingung.
"Dari mana kamu tahu papaku dan mamamu selingkuh?," pertanyaan Emily bergema di lobby yang lengang itu.
"Aku punya mata, punya telinga," jawab Ray.
"Maksudmu?"
"Ya aku lihat sendiri bagaimana papamu memperlakukan mamaku. Aku mendengar sendiri mereka saling bertelepon mesra malam-malam. Aku melihat sendiri papamu sering datang ke guest house ini, duduk berduaan di sofa yang kamu duduki itu, saling berpegangan tangan, terkadang berciuman. Aku menyaksikan mereka..."
"Cukup!," Emily menutup telinganya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Cukup Ray!"
"Kamu tidak percaya? Kamu pikir aku berbohong?"
Emily menggeleng, matanya terpejam.
Ray menghentikan langkahnya dan mendekati Emily, berjongkok di depan gadis itu.
"Maaf aku tak tahu kalau papamu masih menikah. Aku pikir mereka sudah bercerai."
Emily membuka matanya. Jejak basah air mata tertera disana, membuat Ray ingin mengusap pipi Emily.
"Tidak apa-apa. Kamu tidak bersalah," kata Emily dengan suara serak.
"Apa yang harus kita lakukan?", tanya Ray sambil duduk di lantai, dan menurunkan kepalanya di antara kedua lututnya. "Haruskah kita mengkonfrontasi mereka?"
"Aku tidak tahu," desah Emily jujur.
Sesaat mereka terdiam. Bahkan Emily sampai lupa dengan sakit di kakinya, karena shock mendengar informasi dari Ray tentang orang tua mereka.
"Nantilah kita pikirkan," desah Ray. "Sekarang kakimu bagaimana? Hanya kami berdua di guest house ini sekarang, belum ada tamu yang lain yang bisa dimintai pertolongan. Tapi aku bisa berlari mencari bantuan."
"Di kantor ada satpam, Pak Ton namanya. Tolong suruh beliau kesini," ujar Emily sambil menatap Ray.
Ray mengangguk. "Kamu tidak apa-apa sendirian sebentar? Aku terpaksa mengajak Chris bersamaku."
"Tidak apa-apa Chris ditinggal aja."
"Nanti dia menganggu dan merepotkanmu."
"Tidak apa. Chris, duduk disini ya," pinta Emily sambil menatap Chris dan menepuk kursi di sebelahnya.
Anehnya walaupun matanya menolak membalas tatapan Emily, Chris patuh dan berjalan mendekati Emily.
"Wow! Kamu hebat bisa buat Chris menurut kata-katamu," seru Ray takjub.
Emily tersenyum sambil menyentuh lengan Chris, mengajak bocah itu duduk disebelahnya. "Pergilah cari Pak Ton. Kakiku sakit banget."
Ray tersadar mendengar kata-kata Emily dan bergegas berlari keluar.