webnovel

Sebuah Pelukan

Tak ada yang bisa mengira bahwa hubungan kakak adik yang terlihat saling perhatian itu memiliki masa lalu yang menyedihkan. Naya dan Iksan masih mengingat dengan jelas momen momen ketika mereka masih kecil, momen yang ingin mereka tinggalkan saat menjadi dewasa. Namun setelah dewasa, momen itu tetap menjadi kenangan yang buruk.

Jarak antar rumah tempat Naya tinggal cukup untuk dilewati dua mobil berdampingan, rumah rumah yang ada di kompleks tersebut bukan rumah rumah kecil. Harga tanahnya tinggi, dan dihuni oleh orang orang kaya. Kompleks perumahan itu dekat dari pusat kota, namun tak dekat dari sekolahnya. Nafas Naya tersenggal senggal sembari terus berjalan kaki mendorong sepedanya. Hari sudah sore, seharusnya ia tiba lebih awal kerumah jika saja ban sepedanya tidak bocor. Bahkan ia tak punya cukup uang hanya untuk mengganti ban sepedanya dan terpaksa harus mendorong sampai kerumah.

Langkahnya terhenti saat ia melihat sebuah mobil berhenti tiba tiba tepat disamping dirinya, lalu turun seorang anak laki laki yang terpaut usia tiga tahun darinya. Ia turun dengan senyuman dan lambaian tangan. Sampai membuat Naya melupakan rasa lelahnya.

"Pak duluan aja, Iksan mau mampir dulu ketempat lain" Teriak Iksan saat itu.

Tak lama setelah Iksan berteriak, mobil itu pergi menjauh dari mereka. Iksan mengambil alih sepeda Naya serta tas yang sedari tadi masih digendong oleh Naya. Lalu ia berjalan maju, diikuti Naya dari belakang.

"Kaka kan udah bilang, minta jemput supir kalau ada apa apa gini" Ucap Iksan penuh perhatian.

"Mobilnya kan dipake jemput kaka, jadi Naya dorong sepeda aja. Lebih sehat juga" Jawab Naya sumringah.

"Ya kenapa ga bilang, kan kaka bisa jemput kesekolah" Gerutu Iksan.

"Sekolah kaka itu jauh, nanti Naya kesorean sampe rumah. Lagian, Kaka ngapain si harus jadi anak SMA. Kan Naya jadi gabisa berangkat sama pulang bareng lagi" Keluh Naya.

Langkah Iksan terhenti saat mereka ada dipersimpangan jalan, Iksan mengamati dari jauh dua mobil yang terparkir tepat didepan rumahnya. Lalu membalikkan tubuhnya. Menarik Naya untuk berputar balik menjauhi rumah.

"Ayah sama ibu udah pulang?" Tanya Naya pelan.

Iksan mengangguk, "ayo kita mampir ke supermarket dulu, kaka lapar. Pengen makan pop mie"

Naya hanya diam, tak menghiraukan ajakan Iksan. Ia sedikit tersenyum getir, lalu merebut tasnya dari Iksan dan mengambil sepedanya secara paksa. Ia menunduk sembari mendorong tubuh Iksan agar maju lebih dulu meninggalkannya.

"Kaka pulang duluan, nanti ibu marah kalau liat kaka pulang sama Naya" Lirih Naya sembari menahan tangisnya.

Saat melihat Iksan menjauh, perempuan itu menangis sejadi jadinya sampai suara tangisnya terdengar keras. Dadanya terasa sesak, bahunya bergetar mengikuti isak tangisnya. Tangannya terus memukul mukul dada, berharap rasa sakit itu tak terus menerus menggerogoti tubuhnya. Butiran butiran hujan mulai turun dan jatuh diatas kepala Naya. Langit yang mulai gelap, dan rasa dingin yang menusuk kulit. Namun Naya masih berdiri dipinggir sepedanya, meneduh dibawah pohon. Tubuhnya menggigil, dan tangisnya juga mulai berhenti. Hanya sedikit isakan isakan kecil yang tak bisa ia tahan. Matanya merah, dengan tubuh yang basah kuyup. Sudah satu jam ia berdiri disana. Berharap bahwa kedua orang tuanya akan pergi dari rumah tempat ia dan Iksan tinggal.

Meski keluarga, namun Iksan dan Naya tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya. Naya dan Iksan terpaksa harus tinggal dirumah besar itu ditemani beberapa pelayan karena sekolah SMA Iksan berada didekat kompleks perumahan itu. Meski dekat, setiap hari Iksan akan diantar jemput dengan sebuah mobil. Berbeda dengan Naya yang meski jarak sekolahnya jauh dari rumah ia tetap hanya boleh menggunakan sepeda.

Sudah sejak lama ia diperlakukan tak adil oleh ibunya, namun Naya terus bertahan. Memupuk harapan bahwa mungkin ibunya suatu saat akan berubah. Naya adalah anggota keluarga yang tak terdaftar, dan bukan anggota keluarga sebenarnya. Hanya ayahnya dan Iksan yang menginginkan Naya, ibunya sama sekali tak menginginkannya. Dan jika ada situasi dimana ayah dan ibunya harus pulang kerumah, Naya pasti akan menunggu mereka pulang sebelum menemuinya. Karena ia tau, ayah dan ibunya akan bertengkar jika ia ada dirumah. Hanya dengan melihat Naya saja sudah membuat ibunya marah. Bahkan beberapa kali ia harus bertemu diam diam dengan ayahnya karena takut jika ibunya marah.

Malam sudah hampir tepat jam sembilan, namun Naya belum juga melihat kedua orang tuanya pergi dari rumah. Mobil mereka juga masih terparkir didepan rumah. Tak ada tanda tanda mereka akan pulang, hingga membuat Naya terpaksa harus meyakinkan dirinya untuk pulang kerumah. Dengan baju yang setengah kering, dan sepatu yang masih basah ia mendorong sepedanya menuju rumah.

Pelan pelan ia membuka gerbang dan masuk kedalam rumah. Dilihatnya ruangan tamu kosong tak berpenghuni, hanya ada TV yang masih menyala Ia mengendap endap kedalam rumah, khawatir kedatangannya didengar oleh orang orang didalam rumah. Tapi saat ia menuju kearah dapur untuk mengambil segelas minuman dan sedikit makanan, tiba tiba ibunya sudah berdiri disana, Dengan tatapan yang tajam kearah Naya.

"Ibu" Gumam Naya.

Mata perempuan itu semakin tajam, raut wajahnya berubah seperti marah mendengar ucapan Naya. Ia melayangkan tangannya keatas dan mengarahkannya pada Naya.

"Ibu" Teriak Iksan dari arah tangga.

Naya mematung menatap perempuan paruh baya itu, tak lama ayahnya keluar dari kamar dan berlari mencoba menahan perempuan itu. Ibunya memberontak dan berteriak teriak keras. Iksan mencoba untuk menarik Naya menjauh, samar samar dari kejauhan Naya masih bisa mendengar teriakan ibunya. Sebelum suara itu hilang dibalik pintu kamarnya.

"Dia pikir dia siapa berani memanggilku ibu?"

"Anak jalang yang tak berhak memanggilku ibu"

"Lepaskan, biar aku membunuhnya saja"

"Biar dia tau siapa dirinya"

"Supaya dia bisa pergi dari kehidupan kita semua"

"Anak tidak tau diri"

"Dia harus tau posisinya dirumah ini"

Ucapan ucapan itu terus menghujam kearah Naya, menghancurkan perasaannya menyesakkan dadanya. Naya berusaha mengatur nafasnya, namun ia terserang rasa panik dan tak bisa berhenti menangis. Iksan hanya bisa memeluk Naya erat dan menutup kedua telinga Naya. Berusaha menenangkan gadis berusia lima belas tahun itu.

"Kenapa?" Pertanyaan itu terus memutar dikepala Naya sampai suasana menjadi hening dan ia terlelap dalam kesedihannya.

Saat Naya terbangun, tubuhnya sudah dibalut dengan selimut. Bahkan ia tidak tau kapan baju sekolahnya diganti. Yang ia ingat ia tertidur saat itu dipelukan Iksan. Ia mencari cari Iksan disekeliling kamarnya yang menyatu dengan kamar Iksan. Namun ia tidak bisa menemukan kakaknya.

Rasa haus membuatnya harus pergi kedapur, saat akan turun dari tangga. Ia melihat ayah dan ibunya dibawah sana. Tertidur didepan TV dengan Iksan yang tubuhnya dibalut selimut hangat. Hatinya terasa perih melihat itu, namun ia sendiri tak bisa melakukan apapun. Naya menyeret selimutnya dari kamar, dan meringkuk dilantai dibalut dengan selimut yang tebal. Ia memandangi mereka dari lantai atas dekat kamarnya dan melupakan hausnya.

"Asal aku bisa tidur bersama juga" Pikirnya.

*****

"Udah beres semua?" Tanya Rio sembari memastikan tidak ada barang barang yang tertinggal.

Naya menganggukkan kepalanya dari sebrang jalan, kedua lengannya penuh karena menjinjing tas milik Rio dan tas kecilnya. Hari ini mereka akan pergi ke Jakarta dan tinggal disana selama beberapa hari karena projek mereka akan dimulai. Senin esok, mereka akan bertemu dengan pihak klien yang memberi mereka projek tersebut. Rio dan Naya harus berangkat terlebih dahulu karena masih banyak hal yang harus diurus oleh Iksan di Bandung.

"Udah lama nggak nyetir mobil" Ucap Rio saat Naya menyusul masuk ke mobil.

"Terus lupa caranya?" Goda Naya.

Rio tertawa, ia kemudian mencoba menyalakan dan menjalankan mobil dengan laju yang lambat.

"Ih keong , nanti sampenya taun depan ini" Gerutu Naya.

"Ga akan sampe taun depan, paling beberapa jam lebih lama" Ledek Rio.

"ahhhhh males" Keluh Naya,

"Gapapa pelan, yang penting selamat sampai tujuan" Tegas Rio.

"Tau ah" Timpal Naya.

Ia menyenderkan tubuhnya ke kursi sembari menutup wajahnya dengan jaket. Membiarkan Rio menyetir sendirian.

Saat sudah setengah jalan, Rio memutuskan untuk berhenti di rest area. Saat turun, Naya merenggangkan tubuhnya karena pegal sampai tak memperhatikan tempat ia berdiri yang hampir ditengah jalan.

"Nay" Teriak Rio.

Rio menarik Naya sampai tubuhnya menghantam ke pinggir mobil mereka. Mobil yang melaju kencang hampir menabrak Naya, tapi mobil itu tak berhenti bahkan setelah Rio berteriak. Jantung Naya berdetak kencang karena panik. Ia masih memeluk erat Rio karena terkejut. Namun ia merasa lega karena Rio meraih tubuhnya dan memeluknya.

"Awwwwww" Keluh Rio menyadarkan Naya.

"Maaf maaf" Ucap Naya setelah sadar bahwa ia terlalu lama menahan posisi Rio yang memeluknya.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan Naya yang menyetir karena tubuh Rio masih terasa sakit akibat menghantam mobil. Sesekali Naya memastikan Rio baik baik saja.

"Masih sakit?" Tanya Naya penasaran.

"Sedikit" Jawab Rio.

"Makasih ya"

"Gapapa, maaf juga tadi meluk ga sengaja"

"Gapapa nyaman kok" Ucap Naya.

"Nyaman?"

"Iya, nyaman dan aman" Goda Naya.

Rio hanya tersenyum mendengar godaan Naya, ia tak berpikir apapun soal itu. Mereka mulai menikmati jalanan Jakarta yang mulai macet ditemani matahari yang mulai terbenam.