webnovel

Sebuah Kenyataan

Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Bandung, suasana didalam mobil terasa begitu membosankan bagi Rio yang terpaksa menyetir pagi itu. Iksan tertidur dikursi belakang, sedangkan Naya hanya diam dengan memasang earphone ditelinganya. Perempuan itu memutar musik dengan kencang sampai Rio bahkan tau musik apa yang sedang didengarkan oleh Naya. Matanya lurus menatap jalanan dari kaca mobil samping. Sesekali ia memeriksa ponselnya, khawatir ada pesan masuk yang tak disadarinya.

"Nay" Panggil Rio.

"Nayaaaa" Panggil Rio lagi.

"Nayaaa wooooyyyyy" teriak Rio.

Mendengar Rio berteriak kepadanya, Naya melepaskan earphonenya sebelah dan menoleh sinis pada Rio.

"Kenapa?" Tanyanya dingin.

"Kalian ko ga ada yang cerita sama gue kenapa mereka tiba tiba balik ke Jepang" Ucap Rio.

Naya mengacuhkan pertanyaan Rio dan kembali memasang earphonenya sampai Rio harus memaksa melepas earphone tersebut dari telinga Naya.

"Apaan sih?" Tanya Naya kesal.

"Ya elo tuh, gue tanya ga jawab" Timpal Rio yang juga ikut kesal.

"Kubo ada keperluan dadakan, jadi dia harus cepet cepet pulang" Jelas Naya.

"Keperluan apa?"

"Ya mana gue tau, gue udah bukan sekertarisnya ya"

Naya kembali memasang earphonenya setelah mendengus kesal.

Ia hanya ingin menatap jalanan yang panjang, mengalihkan perhatiannya dari Rio. Setelah mendengar semua perkataan Iksan, ia sudah memutuskan untuk menyerah.

Ditengah perjalanan memasuki Bandung, Rio memarkirkan mobil di rest area. Untuk beristirahat sejenak karena rasa kantuk yang mulai menyerang matanya. Rasa dingin sudah mulai menusuk kulit, membuat Naya harus bergidik merasa dingin.

"Nih pake" Ucap Rio menyodorkan jaket yang dipakainya pada Naya.

"Ga perlu" Tolak Naya sinis.

"Kamu kedinginan Nay, nanti sakit" Paksa Rio.

Naya membanting pintu mobil, "Ga usah so perhatian, lo pikir lo siapa" Ucap Naya kasar.

Ucapan itu membuat Rio tertegun sejenak, namun meyakinkan dirinya bahwa Naya memang sedang marah padanya. Meski ia tidak tau kenapa.

"Wisss, santai. Ini mobil operasional kantor satu satunya jangan sampe rusak" Ucap Iksan saat keluar dari mobil.

"Ga usah lama lama makannya ka, kerjaan gue di kantor masih banyak" Singkat Naya.

Perempuan itu lebih memilih untuk makan ditempat yang berbeda dari Rio dan Iksan. Menikmati beberapa donat dan secangkir kopi untuk menahan kantuk. Sudah menjadi kebiasannya sejak bekerja dengan Kubo, karena Kubo tak suka jika perempuan itu tertidur dimobil saat pergi kemanapun.

"Kamu kenapa si Nay" Tanya Iksan yang tiba tiba duduk disamping kursi Naya.

Naya hanya diam dan enggan menjawab, sekilas ia melihat Rio mendapati kopinya dikasir dan keluar dari tempat itu untuk menunggu dimobil.

"Aku ga suka aja ka, nggak profesional" Keluhnya.

"Dia, atau kamu?" Tanya Iksan lagi.

Kali ini, Naya kembali diam. Ia mulai berpikir secara jernih, soal kemungkinan dia yang tidak profesional. Sejak mereka berempat bertemu, pikiran Naya selalu tertuju pada perasaan Rio. Ia terus menerus memikirkan soal apa yang sedang Rio lakukan. Bahkan, saat tau Naomi adalah kekasih Rio, ia sendiri tak dapat memungkiri bahwa pandangannya terhadap Naomi telah berubah. Ia tidak suka melihat perempuan itu bergabung, dan terus ditatapi oleh Rio. Atau bahkan melempar sebuah senyuman pada Rio.

"Aku ka" Naya mengaku.

Jawaban itu seolah memberi kejelasan pada Iksan soal perasaan Naya pada Rio, ia menghela nafas dalam dan menyenderkan tubuhnya dikursi. Tangannya menyilang di dada, dan matanya tertutup.

"Wah, berat Nay" Gumamnya.

"Berat?" Tanya Naya.

"Kaka udah ingetin kamu kan Nay, Rio itu udah punya pacar. Mereka udah pacaran dari SMA, dan Naomi juga temen kaka. Sahabatnya mba Hana. Suka sama Rio, itu bukan hal yang tepat Nay" Jelas Iksan.

"Rio itu beda ka, aku udah tertarik sama dia sejak pertama kali ketemu di bandara. Aku pikir, ini suka biasa. Tapi rasanya sakit waktu liat Rio sama Naomi. Aku harus gimana sekarang?" Lirih Naya.

"Lupain Nay, nyerah aja" Saran Iksan.

"Aku yakin kamu bisa, sebelum perasaannya semakin besar, supaya ga semakin sakit" Lanjut Iksan.

Naya tersenyum kecil mendengar saran dari kakanya, ia menghabiskan kopi miliknya dan bergegas ke mobil bersama Iksan.

******

"Naya suka sama Rio" Ucap Iksan pelan.

"Apa?" Teriak Hana.

Perempuan itu menutup kotak kosmetiknya dan meloncat ke kasur. Ia memangku dagunya dengan kedua tangan, menatap Iksan yang sedang melamun menatap langit langit kamar.

Sikap Iksan memang aneh sejak tiba dari Jakarta siang ini, ia menjadi lebih pendiam dari biasanya. Bahkan laki laki itu tak menghabiskan makan malamnya.

"Ga usah sekaget itu kali Han" Gerutu Iksan, ia membalikkan tubuhnya membelakangi Hana.

"Ih sini dulu, cerita. Cerita pokoknya yang jelas" Paksa Hana.

"Males ah" Hindar Iksan.

"Gamau, gamau. Cerita pokoknya" Hana memaksa lagi.

"Males Han"

"Cerita" Teriak Hana.

"Yaudah yaudah"

Iksan membalikkan tubuhnya, ia kemudian duduk menghadap Hana yang masih memangku dagunya. Sejenak Iksan menghela nafasnya, raut wajahnya menjadi serius dan ia diam sebentar.

"Kamu tau film perahu kertas?" Tanya Iksan.

Hana menganggukkan kepalanya, "Tokoh perempuan keduanya suka kan sama tokoh laki laki pertama?"

Hana mengangguk lagi,

"Terus tokoh laki laki pertama udah punya pacar kan? Yang penulis itu?"

Hana terus mengangguk, menyetujui pernyataan Iksan.

"Yaudah gitu aja" Ucap Iksan.

Laki laki itu melemparkan tubuhnya ke kasur, membalakangi Hana yang memasang raut wajah kesal. Ia menutup kepalanya dengan bantal dan mengabaikan Hana.

"Itu namanya ngulas film, bukan cerita" Gerutu Hana.

"Cerita dong, cerita film" Timpal Iksan.

"Bodo amat, aku nggak penasaran juga kok" abainya.

"Ngga penasaran kok maksa maksa" Ledeknya.

Buggggg ! Buggggg ! Bugggggg !

Suara pukulan bantal yang menghantam pantat Iksan terdengar sampai larut malam, diiringi dengan teriakan Iksan kesakitan.

*****

"Revisi ini, ini juga, dan ini. Atur ulang semua jadwal pertemuan minggu depan" Ucap Kubo tanpa menoleh.

Naomi mengangguk, ia membereskan semua berkas di meja Kubo lalu pergi keluar.

Sejak kepulangan mereka dari indonesia, Kubo menjadi dingin. Bahkan laki laki itu tak segan memarahi dan melempar dokumen kearah Naomi. Perubahan sikap Kubo juga sangat terasa di kantor, ia tak lagi segan memarahi orang orang saat rapat tak berjalan sesuai dengan keinginannya.

"Kamu kenapa?" Gerutu Naomi yang tak bisa lagi menahan emosinya.

Ia berbalik dan berjalan kearah ruangan Kubo setelah tak lagi bisa menahan rasa penasarannya atas perubahan sikap Kubo.

"Kamu kenapa?" Tanya Naomi kesal.

"Kenapa apanya ?" Abai Kubo. Laki laki itu tetap tak menoleh ke arah Naomi sama sekali.

"Ya kamu kenapa, marah marah ga jelas begini. Cuek, mendadak berubah sikap sama aku. Ga kaya biasanya" Jelas Naomi.

Kubo terdiam, ia menghentikan matanya dari memeriksa lembaran lembaran dokumen yang menumpuk diatas mejanya.

"Aku cuma bisa minta kamu untuk lupain semua yang pernah aku bilang sama kamu, soal perasaan aku" Jawab Kubo.

"Kenapa?" Tanya Naomi.

Kubo membanting pulpennya, ia menarik tangan Naomi sampai tubuhnya mendekat. Lagi lagi Kubo membuat jantungnya berdetak kencang, dengan tatapan mata yang dalam. Mereka begitu dekat sampai Naomi mampu merasakan nafas Kubo.

"Kalau terus begini, kamu akan membuatku semakin salah paham. Apa Kamu akan bertanggung jawab pada perasaanku?" Ucap Kubo pelan.

"Perasaan ini, perasaan suka dan perasaan ditolak. Apa kamu juga akan bertanggung jawab?" Lanjutnya.

Kubo menatap kedua mata Naomi dalam, tatapannya turun kehidung dan sampai pada bibir merah Naomi. Ia menelan ludahnya sesekali, berpikir soal rasanya mencium bibir Naomi. Sedangkan Naomi hanya diam tak merespon. 

"Aku harus pulang" Ucap Naomi gugup.

Ia menjauh dari tatapan Kubo yang dalam, bahkan Kubo sama sekali tak menahan Naomi. Perempuan itu berlari kearah pintu keluar dan menjauh dari Kubo.

Disana, Kubo tertegun sembari tersenyum tipis. Kepalanya kemudian tertunduk, dengan tangan mengepal diatas meja. Mengutuki dirinya sendiri atas apa yang baru saja ia lakukan pada Naomi.

"Tentu" Pikirnya.

Perasaan ditolak memenuhi pikiran Kubo hari itu. Ia mulai sadar bahwa perasaan Naomi pada Rio tidak sekecil yang ada dipikirannya. Pemikiran bahwa setiap hubungan akan dapat terputus tidak semudah yang ia pikirkan. Ia bisa merasakan bagaimana Naomi membentuk proteksi terhadap dirinya sendiri agar dapat menolak semua kemungkinan.

Kubo mulai sadar, bahwa ia tidak bisa merebut hati Naomi bahkan sekeras apapun ia mencoba. Naomi mungkin bisa berpaling, namun jauh didalam hatinya sudah dimiliki seseorang yang bahkan tidak bisa digantikan oleh siapapun. Bahkan jika Naomi harus menikahi laki laki lain, Rio adalah seseorang yang akan selalu menjadi bayang bayang yang nyata. Tersimpan begitu dalam, sebagai kenyataan bagi orang lain, agar mereka menyerah saja.