webnovel

Rasa Percaya Diri yang Sempurna

Kamar itu tidak besar, hanya ada satu ranjang kecil, dengan televisi, dan sebuah lemari yang cukup menampung semua baju Rio. Ditambah sebuah meja belajar disamping ranjang untuk membantunya bekerja. Rio cukup bersyukur, ia bisa menyewa kost-an dengan kamar mandi yang berada didalam serta difasilitasi AC dan air hangat dengan sisa uang pesangon miliknya. Meski ia harus rela berbagi dapur dengan penghuni lain, dan harus mendapat kamar di area atap.

Baginya itu sedikit keuntungan, selain karena Rio menyukai harga yang ditawarkan oleh pemilik kost, Rio juga suka mendapat kamar didekat atap, ia bisa melihat pemandangan kota Bandung dari atas sembari mencari inspirasi dan menikmati secangkir kopi kapanpun dia mau. Darisana dia juga bisa melihat gedung tempatnya bekerja, jarak antara kost-an dan kantornya bisa ditempuh selama lima menit saja dengan menggunakan sepeda.

Ia suka, menikmati udara pagi Bandung yang segar dengan sepeda miliknya.

Sejak tadi Rio menatapi laptopnya sembari menyenderkan tubuhnya dikursi, disimpannya kacamata diatas kepalanya sendiri. Ia sedang berpikir. Sesekali ia mengusap matanya yang mulai berair karena sudah beberapa jam menatapi layar laptop. Terkadang ia mengutuki layar laptopnya yang kecil hingga membuat matanya pedih. Laptop itu adalah laptop pertama yang bisa ia beli semenjak bekerja, meski terlihat usang namun Rio merawatnya dengan baik.

Terdengar suara musik yang terus mengalun, memberikan kedamaian. Malam ini, Rio sedang mencoba mendengarkan musik yang baru saja ia ubah. Sebenarnya, meski secara resmi besok adalah hari pertamanya bekerja, Rio sudah mengerjakan beberapa projek inti sejak dua minggu lalu. Ia menjadi bayang bayang Iksan, sebelum kemudian ia memutuskan untuk mulai bekerja secara langsung.

"Na na na na, hmm hmm na na na na hmm hmm" senandungnya pelan sembari mengangguk anggukan kepala.

Drrrtttttt! Drrrrrrrt!

Getar ponsel miliknya terpaksa harus membuatnya merebahkan diri keatas kasur. Ia tersenyum melihat sebuah panggilan video masuk dari Naomi.

"Halo Nao" Sapa Rio saat panggilannya tersambung.

"Maaf baru bisa telpon" Ucap Naomi, disambut anggukan Rio.

"Gimana kamu? Ga ada masalah kan sama pindahan kamu?" Tanya Naomi khawatir.

"Sejauh ini bagus, aku suka sama kost nya. Kamu gimana?" Tanya Rio balik.

Naomi menaikkan bahunya, kemudian tersenyum.

"Bagus, cuma sedikit kangen rumah"

Ekspresi wajah Naomi berubah seketika saat ia mengungkapkan perasaannya. Raut wajahnya menjadi sendu sekilas sebelum sebuah senyuman kembali menghias wajahnya.

"Aku juga takut Nao" Ungkap Rio.

"Takut kenapa?" Tanya Naomi.

"Takut kalau aku mungkin ngecewain mereka semua"

"Mereka?"

"Iya, mas Iksan, Hana, rekan kantor aku nanti"

"Kok?"

"Ya takut kalau aku ga akan sesuai ekspektasi mereka, akukan ga berpengalaman. Gak juga berpendidikan tinggi"

Naomi diam sejenak, lalu kemudian ia mengetuk ngetuk kan jarinya pada layar.

"Jangan berharap untuk memenuhi ekspektasi orang lain, karena kamu ga akan sanggup" Ucap Naomi.

"Jadi apa adanya kamu, buat ekspektasi mereka jadi apa adanya kamu" Tambah Naomi.

"Cukup percaya sama diri kamu sendiri, kalau kamu selalu berpikir tentang apa yang mereka pikirkan tentang kamu. Itu cuma akan buat kamu merasa buruk setiap saat"

Suasanya menjadi membaik setelah Naomi terus melanjutkan ucapannya. Selepas itu, Naomi mulai bercerita tentang hari harinya selama hampir dua bulan berada di Jepang. Canda Naomi membuat Rio tenang seperti memupuk kembali kepercayaan dirinya. Ia seperti melihat Naomi didalam dirinya, semangat dan kepercayaan diri Naomi dalam segala hal. Sesuatu yang ia harap akan bisa ia lewati.

*****

Pagi hari di Bandung, Bandung memang tidak lagi sama beberapa tahun terakhir. Kota yang kental dengan budaya ini kini mulai pudar dengan pergantian budaya asing dibalut dengan istilah mengikuti jaman. Jaman yang kemudian mengganti budaya yang begitu kental dan menelannya perlahan lahan. Kebiasaan bangun pagi Rio menjalar sampai darah dagingnya, hingga dimanapun ia berada ia tetap tidak akan bisa bangun siang. Tepat jam tujuh pagi ia sudah mengayuh sepeda menuju kantor. Dengan kemeja dan celana bahan, tak lupa laptop yang disimpannya didalam tas gendong dilengkapi dengan sepatu pantofel. Hari itu penampilan Rio memang terlihat begitu rapi dan tak bisa dibayangkan. Bahkan jika Naomi melihatnya, Naomi akan memastikan bahwa ia tidak akan pernah jatuh cinta pada laki laki seperti itu.

Rio melangkah dengan yakin menuju lantai tempat kantor Iksan berada, kantornya memang tidak memiliki gedung sendiri. Namun gedung itu punya satu lantai yang dijadikan sebuah kantor. Ada beberapa perusahaan lain di lantai yang berbeda, dan sisanya lebih banyak dijadikan sebagai kantor notaris. Sebelum lift terbuka, Rio berusaha untuk merapikan bajunya dan sedikit menyisir rambutnya.

"Hah?" Ucap Rio kaget saat pintu lift terbuka.

Hanya ada satu meja resepsionis disana, serta terlihat meja meja kosong dibalik pintu kaca besar. Meja meja itu tidak memiliki sekat sama sekali, seperti dibiarkan menjadi sebuah kantor yang terbuka dan mempermudah komunikasi antara satu dengan yang lainnya. Ada seorang perempuan sedang duduk dibalik meja resepsionis sembari merias wajahnya. Ia menolah saat melihat Rio keluar dari lift. Dan mulai menatapi Rio dari atas kepala hingga ujung sepatunya.

"Imagination Corp?" Tanya Rio.

"Iya betul, ingin bertemu dengan siapa ?" Tanya balik perempuan itu.

"Emmh, saya Rio. Ini hari pertama saya bekerja disini" Jelas Rio.

"Sinta" Ucap perempuan itu sembari mengulurkan sambutan tangannya.

Reaksi Sinta berubah menjadi lebih ramah saat tau bahwa Rio adalah karyawan baru. Ia berdiri dari kursinya dan memberikan isyarat agar Rio mengikutinya.

"Pak Iksan sudah kasih tau Jumat kemarin, tapi saya nggak nyangka kamu datang sepagi ini" Jelas Sinta.

"Sepagi ini?" Tanya Rio heran, baginya jam tujuh pagi tidaklah tepat dinyatakan dengan kata kata sepagi ini. Bagi dirinya yang mulai bekerja tepat pada jam enam pagi ditempat ia bekerja sebelumnya.

"Disini, di kantor ini. Cuma saya yang bisa datang sepagi ini karena saya suka melihat matahari tenggelam dan tidak ingin menghabiskan malam disini. Total karyawan disini ada sepuluh orang, sebelas dengan kamu dan semua pegawai kantor ini terbiasa datang siang. Jam masuk mereka sekitar jam sembilan pagi, dan jam pulang mereka itu jam tujuh malam. Masih sepi, tapi nanti siang akan ramai" Jelas Sinta menjawab pertanyaan pikiran Rio soal meja meja yang masih kosong,

"Ini baju seragam kamu, dikantor ini kami tidak menggunakan pakaian sejenis kemeja dan celana bahan. Serta emmm sepatu pantofel. Akan lebih nyaman jika menggunakan kaos dan celana jeans, tidak masalah mau pakai sendal atau kamu bisa pakai sepatu. Tapi orang orang disini lebih suka tidak memakai alas kaki apapun" Tambah Sinta yang kemudian juga menjawab pertanyaan Rio soal pakaian yang perempuan itu pakai hari ini.

Bagi Rio, ia merasa aneh saat melihat meja meja masih kosong pada jam kerja pagi. Ia juga merasa heran dengan gaya pakaian Sinta yang terkesan santai, itu kenapa Rio memastikan kembali nama perusahaan Iksan sebelum masuk kedalamnya.

"Perusahaan ini tidak mewajibkan kepatuhan apapun, asal pekerjaanmu selesai dan menguntungkan bagi perusahaan kamu bisa kerja sesuka hati. Diruangan sana ada beberapa sofa dan kasur untuk istirahat, disebelah kanan ada kamar mandi, disampingnya ada dapur dan semua makanan yang ada disana gratis, dan disebelah kiri adalah ruang rapat. Kalau kamu lihat disebelah kanan saat kamu keluar dari lift disana ada satu ruangan khusus untuk semua customer kita saat berkunjung. Dan diruangan ini, tempat kita semua merasa bahagia dengan pekerjaan kita" Jelas Sinta lagi.

Setelah mendengar penjelasan Sinta, Rio memiliki waktu untuk berganti baju dan menunggu di ruang istirahat sampai tertidur disana. Ia mulai terbangun saat mendengar derap langkah kaki yang mulai ramai dibalik ruangan.

"Yap, perkenalkan ini Rio. Editor kita yang baru. Tolong jangan tepuk tangan" Sambut Iksan saat Rio keluar dari ruangan istirahat disambut dengan beberapa sorakan.

Alih alih diberi tepuk tangan, mereka semua malah menyalami Rio secara langsung. Menyambutnya dengan hangat.

"Selamat Bergabung Bro"

"Udah punya pacar belum?"

"Selamat bersenang senang bro"

"Halo"

"Selamat datang"

"Mohon kerjasamanya"

Sambutan sambutan itu berakhir sampai pada Sinta, "Jangan lupa, kemeja, pantofel, dan celana bahan standar seperti tadi pagi sungguh tidak nyaman untuk dilihat" dengan senyuman lebar diwajahnya.

"Ya, jadi ini dia editor bayangan yang sebelumnya saya ceritakan. Dialah yang membantu kita mendapatkan dua penghargaan tahun lalu. Mohon beri tepuk tangan" Puji Iksan.

Wah hebat, Oh ternyata dia, oh dia, Hebat ya, ga nyangka bisa ketemu dia.

Semua orang menyoraki Rio dan memberinya tepuk tangan beserta bisikan bisikan pujian yang sedikit terdengar. Tak lama suasana mulai menjadi terkendali saat Iksan duduk dikursinya, lalu alunan musik ubahan Rio semalam mulai diputar diseluruh ruangan kantor.

"Mas, lo bikin perusahaan apa sih Aneh begini" Bisik Rio.

"Tapi ga heran deh, kalau ngeliat kelakuan lo yang aneh juga sehari hari" Tambah Rio.

"Wihh, hati hati lo kalau ngomong. Gue kan udah bilang sama lo, gue cuma mau buat perusahaan yang bisa bikin karyawannya nyaman. Kalau mereka nyaman, segala sesuatu terpenuhi, tekanan sedikit, mereka akan kerja lebih maksimal dan ini yang gue buat. Ini yang bikin perusahaan gue bisa masuk daftar perusahaan paling dicari di Asia" Jelas Iksan.

"Terus ini lo ga ngajarin gue apa apa nih, gue belum tau ni mau ngapain" Tanya Rio.

"Oh itu, lo ikutin aja instruksi gue lewat email dan kasih saran gue sesuai tengat waktu yang gue kasih. Gue baru bisa kasih lo kerjaan pasti setelah rekan kerja lo datang nanti" Jelas Iksan.

"Hah?" Tanya Rio.

"Iya rekan kerja baru, gue pernah cerita kan kalau gue mau tunggu adik gue balik dari Jepang? Ternyata dia malah ngaret balik dari Jepang, dan baru balik bulan depan. Jadi nanti dia yang bakal jadi rekan kerja lo, sekarang lo bantu bantuin gue aja dulu" Jelasnya.

Rio mengangguk, ia kemudian kembali fokus pada pekerjaan yang diberikan Iksan melalui email.

Pikirannya sedikit lega saat melihat respon orang tentangnya. Terlebih pujian yang diberikan Iksan memberinya kepercayaan diri yang tinggi. Menutup semua ketakutan dan keraguannya sejak pertama kali mendapat tawaran Iksan. Naomi selalu benar, bahwa dengan menjadi apa adanya akan mengendalikan ekspektasi orang lain terhadap diri sendiri. Hingga akhirnya menutup perasaan perasaan takut, dan menimbun kepercayaan diri.