webnovel

Belenggu Perpisahan

Naomi yang masih didalam mobil melamun menatap jalanan dengan tatapan kosong. Pikirannya berkecamuk karena perpisahan yang tiba tiba. Ia sudah rindu pada Rio, namun kini Ia merasa tak lagi berhak untuk perasaan itu. Hanya pikirannya yang melayang layang.

Ri,

Apa yang salah dengan hubungan kita.

Bukan bukan, hubungan ini yang salah atau kita yang salah.

Semua orang tidak pernah tau akan memulai hubungan dengan orang yang salah atau tidak, namun aku memulainya denganmu.

Denganmu.

Laki laki yang kupercaya takkan salah sejak awal.

Sejak bertahun tahun yang lalu.

Kupupuk semua harapan dan perasaanku untukmu.

Ada setumpuk kepercayaan dalam setiap pertemuan, setiap kerinduan, dan setiap ucapan sampai dia menggunung.

Kokoh, tak terbatas dan lebih besar daripada rasa sayangku pada diriku sendiri.

Aku mempercayai mu, bahkan bila kenyataan menunjukkan hal lain aku akan tetap disini.

Berdiri diatas gunung kepercayaanku yang menjulang tinggi ke langit.

Aku bangga, meski terus terusan diterpa angin dan khawatir akan jatuh ke tebing kapan saja .

Namun aku tetap kokoh bahwa aku mencintaimu, Dan telah kuputuskan itu sendiri.

Tanpa campur tangan orang lain.

Percayalah.

Ri,

Aku tak mengerti.

Dan tak ingin mengerti.

Kenapa aku yang lain ada disana, dibawah kaki gunung kepercayaanku dan sedang berusaha mencuil setiap harapan yang telah kupupuk.

Setiap waktu, tanpa kenal lelah.

Aku disana, dengan perasaan yang terbelenggu perpisahan.

Kutatap dia, raut wajahnya penuh dengan kekecewaan.

Mungkinkah dia hati kecilku?

Sudah kubilang, aku percaya padamu meski kenyataan berkata lain.

Namun dia, dia hati kecilku tak bisa percaya padamu.

Dia membuat kapaknya sendiri, berusaha membelah gunung ini. 

Satu hari ia dapat secuil, dua hari ia dapat memecah sedikit bagian, sampai kemudian kutemukan ia sudah membuat lubang besar disana.

Kadang ia tersenyum puas, kadang ia membabi buta terus mencuil bagian bawah kepercayaan ku dan bertanya tanya tentang kebohongan apa lagi yang akan ia temukan. 

Ia begitu bersemangat.

Saat itu, kakiku bergetar. 

Kulihat bagian bawah, dan tampak hancur semuanya hingga menyeretku ke tanah.

Kudapati hati kecilku diam menatap diriku sendiri, ia bertanya dengan tatapan tegas.

"Apa kau bahagia diatas sana? apa kau benar benar bahagia?" 

Aku tersenyum, meski gunung itu telah runtuh. Kutemukan lagi diriku sendiri.

Kini biar, biarlah gunung itu runtuh dan merata dengan tanah.

Biarlah kepercayaanku pada hubungan ini hancur.

Asal aku senang, asal aku tenang.

Biarlah, biarlah kamu pergi meski aku berduka.

Biarlah.

Aku tak ingin terbelenggu dalam perasaan yang salah.

*****

Rio memandangi langit melalui jendela pesawat, ia termenung. Memikirkan Keputusan yang ia buat semalam. Meski ragu, namun perasaannya menjadi lebih tenang karena tak lagi mengikat Naomi. Beban dipundaknya kini telah hilang.

Nao,

Sudah sejak lama aku tau.

Sudah sejak dulu aku mengerti.

Aku tak pernah ada dalam bagian mimpimu.

Kamu adalah kamu.

Yang tak pernah tergapai olehku.

Aku melihatmu dari jauh, dari tempat yang mudah kau lihat.

Kau berdiri dengan bangganya diatas gunung yang lancip, dengan wajah manis dan percaya diri.

Kau terlalu tinggi membuat sebuah gunung kepercayaan, hingga aku tak boleh melakukan sebuah kesalahan.

Jauh di lubuk hatiku Nao.

Aku adalah laki laki.

Aku senang kau berdiri disana dengan gunung kepercayaan mu.

Namun, akupun kau biarkan bebas berlari kesana kesini sampai tak terlihat olehmu.

Kau sibuk menatap langit biru, dan menyentuh awan awan sampai kau lupa bahwa aku mungkin telah pergi jauh.

Namun saat kau tak bisa menemukan ku, kau katakan bahwa aku pergi darimu.

Padahal, kau sendiri yang sibuk dengan keterpesonaanmu.

Kau jadikan gunung itu sebagai pijakan, dan kau membuat kecil dirimu sendiri dibawah sana.

Untuk mengawasiku, dan berkata bahwa sebenarnya kau selalu denganku.

Padahal kau tidak.

Dirimu yang kecil itu, perlahan mencuil bagian bagian gunung itu sampai runtuh.

Aku melihatnya, saat gunung itu runtuh.

Apa kau tau bagaimana kalutnya aku saat kulihat gunung itu runtuh?

Aku berlari sekuat yang kubisa agar menyelamatkan mu.

Namun yang kulihat, kau sedang berjabat tangan dengan dirimu yang lain, berlarian kesana kemari.

Dengan wajah senang, tanpa beban, dan merasa puas.

Dirimu disana, membuatku bertanya tanya.

Tentang apakah selama ini aku benar?

Apakah kau tak suka diatas sana.

"Apakah kau masih bangga denganku?"

Kali ini terbersit sedikit penyesalan.

"Apa sebaiknya aku benar benar pergi?"

Aku hanya bisa duduk terdiam diatas batu besar. 

Melihatmu sedang tertawa lepas dan belum menyadari dimana aku berada.

Aku sadar akan janjiku dulu, janji kita.

Bahwa aku takkan pergi jika kau tak pergi dariku, dan sebaliknya. 

Kau takkan pergi jika aku tak pergi.

Bukankah itu sebuah belenggu? 

Belenggu yang terus mendorong kita agar kita tak pernah pergi satu sama lain.

Kuseka air mata yang mulai perlahan mulai jatuh menyusuri pipiku 

Hatiku terus bertanya tanya soal apakah aku harus pergi dan berkhianat pada janji ku sendiri.

Lama aku terdiam, lagi dan lagi terus memandangmu.

Sampai kuputuskan, aku harus pergi.

Nao,

Jika aku tak pergi, kau takkan pergi.

Sesuai janji kita.

Maafkan aku harus pergi darimu.

Bukan karena aku ingin, tapi aku suka melihatmu bahagia tanpaku.

Sejujurnya, aku masih ingin denganmu.

Rasa inginku tak terbatas, seperti luasnya lautan.

Tapi aku harus pergi 

Supaya kita sama sama tau dan menemukan apa yang membuat kita bahagia.

Masih hangat dipikiranku saat kita bercanda soal pernikahan.

Kau ingin menikah dengan sederhana, hanya beberapa orang yang datang.

Kau ingin undangan yang manis, dan terlihat cantik saat hari itu tiba.

Kau ingin aku menciummu di kening, dengan segaris senyuman di bibir 

Kau ingin aku mengucap janji sekali lagi, janji yang membuat kita takkan berpisah.

Tapi aku harus pergi.

Akhir sebuah hubungan bukanlah menikah, menikah hanya salah satu cara untuk menggapai tujuan.

Bukankan tujuan sebenarnya adalah untuk bisa berharap mendapat yang terbaik untuk satu sama lain entah bersama atau tidak.

Hanya maaf yang bisa kuucapkan padamu.

Maaf kalau aku sudah berjanji 

Maaf jika aku sudah membuat sebuah ikatan yang selamanya akan kamu ingat.

Dan maaf aku harus melukaimu.

Kuseka lagi air mata itu, aku berjalan meninggalkan Naomi yang masih tertawa dengan hati kecilnya.

Kupotong semua ranting ranting yang menahan kakiku.

Langkahku kian lama kian besar dan cepat.

Tak ada lagi keraguan, semakin aku jauh semakin terdengar ditelingaku suara tawamu yang semakin keras.

Dalam hatiku berkata, "Kuharapkan yang terbaik, untukmu dan untukku"

*****

"Mau minum? Aku dibar, dekat apartemen mu" Ajak Naomi ditelpon pada Kubo.

Ia sudah duduk lebih dari satu jam di bar, hanya menghela nafas lalu menengguk habis minuman digelasnya. Sekali lagi ia tuang, dan ia minum lagi. Entah sudah berapa botol minuman ia tenggak, padahal biasanya ia tak tahan dengan minuman. Kesadarannya sudah sedikit menghilang. Namun ia terus menenggak minuman, dan memesannya kembali ketika habis.

Hatinya masih sakit, dan pikirannya kacau. Sesekali ia menekan dadanya agar tak merasa sesak, ia menyeka air mata yang terkadang jatuh tanpa ia inginkan.

"Beginikah rasanya putus?" Pikir Naomi berkali kali.

"Nao, apa apaan ini?" Tanya Kubo panik saat melihat banyak botol minuman dimeja Naomi.

Ia berusaha menarik lengan Naomi, namun Naomi menolak.

"Aku masih mau minum" Ujarnya 

"Mau berapa banyak lagi?" Tanya Kubo.

"Banyak, banyak sampai tak terasa sakit" Lirih Naomi.

"Apa yang sakit? kalau kamu sakit,kamu harus ke dokter. Bukan minum sebanyak ini" Teriak Kubo sembari menunjuk nunjuk meja Naomi.

Naomi diam, ia menatap Kubo dengan mata yang berkaca kaca. 

"Hatiku" Jawab Naomi lirih.

Lalu air matanya berderai, sampai Kubo harus menarik Naomi kedalam pelukannya. Ia tak tau apa yang terjadi, namun ia tak sanggup melihat Naomi kacau seperti ini. Kubo membiarkan Naomi berada dipelukannya, dengan isakan Naomi yang semakin kencang. 

"Menangislah, tak apa" Ucap Kubo pelan meski belum tau apa yang terjadi pada Naomi.