webnovel

Bab 16: Jarak dan Waktu

Setelah pertemuan siang itu, Zara dan Dylan menjalani hari-hari dengan sedikit ketegangan yang tak terucapkan. Meskipun mereka berusaha untuk tetap menjaga komunikasi, rasa cemas dan ragu tetap ada. Dylan semakin sibuk dengan urusannya, sementara Zara mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan yang mulai menumpuk.

Di suatu pagi yang cerah, Zara duduk di meja kerjanya, menatap laptopnya tanpa merasa ada energi. Pekerjaan menumpuk, dan meskipun dia tahu itu penting, pikirannya terus kembali ke Dylan. Sudah hampir dua minggu sejak mereka berbicara tentang kesempatan kerja di luar negeri itu, dan belum ada keputusan pasti. Dylan tetap mengirim pesan singkat atau meneleponnya, namun tidak pernah membahas lebih lanjut tentang apa yang akan terjadi.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar, dan Zara melihat nama Dylan di layar. Dia mengambilnya dengan perasaan campur aduk, berharap ada kejelasan, tapi juga khawatir.

"Hey, Zara," suara Dylan terdengar dari ujung sana, terdengar agak gelisah.

"Hai," jawab Zara dengan suara sedikit kaku. "Ada apa?"

Dylan terdiam sejenak. "Aku baru saja mendapatkan konfirmasi. Aku akan berangkat minggu depan."

Zara merasa seolah dunia berhenti berputar sejenak. "Kapan tepatnya?" tanya Zara dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Minggu depan, mungkin hari Senin," jawab Dylan. "Aku tahu ini datang cepat, dan aku nggak ingin kamu merasa terbebani, tapi aku harus pergi. Ini kesempatan besar."

Zara menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan diri. "Aku mengerti, Dylan. Ini penting buat kamu."

"Zara..." Suara Dylan terdengar lebih lembut. "Aku nggak ingin hubungan kita berakhir seperti ini. Aku ingin kita tetap bersama meski jarak memisahkan."

Zara menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Kita akan coba, Dylan. Kita akan coba bertahan."

Dylan terdengar lega, meski ada keheningan yang cukup lama di antara mereka. "Aku janji, aku nggak akan membiarkan jarak itu merusak apa yang kita punya."

Zara hanya bisa mengangguk meskipun Dylan tidak melihatnya. "Aku akan menunggu, Dylan."

Setelah panggilan itu berakhir, Zara merasa campur aduk. Satu sisi, dia merasa lega karena akhirnya ada kepastian, namun sisi lain hatinya merasa berat. Jarak ini akan menguji segalanya.

---

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan akhirnya hari Senin yang dinanti pun datang. Dylan menghubungi Zara pagi-pagi, memberitahunya bahwa dia sudah siap untuk berangkat. Mereka bertemu di bandara, dan meskipun suasana hati mereka campur aduk, ada rasa percaya diri yang tercermin di wajah mereka. Mereka tahu bahwa ini bukan akhir, hanya sebuah awal dari perjalanan yang lebih panjang dan penuh tantangan.

Di tengah kepadatan bandara, Dylan menatap Zara dengan penuh arti. "Aku nggak tahu kapan aku bisa pulang, tapi aku akan berusaha supaya kita tetap terhubung."

Zara memaksakan senyum. "Aku tahu. Kita akan baik-baik saja."

Dylan meraih tangannya dengan lembut, "Aku akan kangen."

Zara merasa matanya mulai berkaca-kaca, namun dia menahan diri untuk tidak menangis. "Aku juga, Dylan. Tapi kita harus tetap kuat."

Mereka berpelukan sebentar, dan Zara merasa berat untuk melepaskan pelukan itu. Namun, akhirnya, Dylan menarik diri, mengangkat koper, dan melangkah menuju pintu keberangkatan. Zara berdiri di sana, menatapnya pergi, dengan perasaan yang lebih rumit dari sebelumnya.

---

Beberapa hari setelah kepergian Dylan, Zara merasa dunia seperti berjalan dengan lebih lambat. Setiap pagi, dia bangun dengan perasaan kosong. Pekerjaan menjadi pengalih pikirannya, namun dia tetap merasa ada yang hilang. Meski mereka terus berkomunikasi melalui pesan dan telepon, semuanya terasa berbeda. Tidak ada tawa canggung di antara mereka, tidak ada obrolan santai saat makan siang, tidak ada canda yang membuat mereka tertawa.

Zara kembali merasa terjebak dalam rutinitas yang kaku. Dia bahkan sempat bertanya pada dirinya sendiri, apakah hubungan mereka bisa bertahan dengan jarak yang memisahkan mereka. Tapi, ada satu hal yang pasti—dia tidak ingin menyerah begitu saja.

Malam itu, saat dia sedang duduk di balkon apartemennya, menikmati udara malam yang sejuk, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Dylan.

Dylan: "Aku tahu kita jarang ngobrol akhir-akhir ini, tapi aku nggak mau kamu merasa aku mengabaikanmu. Aku rindu kamu."

Zara tersenyum tipis, lalu membalas.

Zara: "Aku juga rindu. Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku percaya kita bisa lewati ini."

Tak lama setelah itu, pesan Dylan kembali datang.

Dylan: "Kamu nggak sendirian. Aku akan selalu ada buat kamu, meskipun kita terpisah ribuan mil."

Zara merasa hatinya sedikit lebih ringan. Mungkin jarak memisahkan mereka, tapi perasaan mereka tetap terhubung. Itu memberi harapan baru, bahkan di tengah kesepian yang datang menyertai.

"Jarak bukanlah akhir, kan?" Zara berbisik pada dirinya sendiri.

Tapi, dia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan. Dan jika mereka berdua ingin tetap bersama, mereka harus siap menghadapi segala rintangan yang datang. Tapi, setidaknya untuk saat ini, dia merasa lebih yakin. Mereka akan melewati ini bersama.