"Ayah aku mohon! Aku tidak pernah meminta apa pun dari Ayah! Aku hanya ingin menikah dengannya! Aku mencintainya!" Ujar Seorang gadis dengan rambut perak.
"Apa kau sudah tidak waras?! Dia adalah seorang Duke! Bagaimana mungkin dia menginginkan dirimu?!"
Gadis itu tersentak mendengar perkataan Ayahnya.
"Ayah.., kita belum mencobanya. Aku mohon ayah.., hiks." Mohon gadis itu.
"Haah! Bodoh kau begitu menyusahkan! Dia tidak akan menikahi orang sepertimu tanpa ada keuntungan sedikit pun!"
"Hiks Ayah! Aku berjanji akan keluar dari keluarga ini dan tidak akan pernah muncul lagi!"
Pria yang di sebut ayah itu terdiam.
"Kau berjanji? Kalau begitu hari ini kau tidak akan menjadi Anakku lagi, kau mengerti?! Kita tidak mempunyai hubungan apa pun, dan jangan ganggu aku lagi!"
Gadis itu menangis dalam diam.
"Yaa., Ayah.."
"Kalau begitu aku akan membuat kontrak dengan Duke Nixton dan menikahkan mu dengannya. Dengan ini sudah tidak ada hubungan apa pun di antara kita!" Ujar pria itu sambil menatap tajam pada gadis berambut perak di depannya.
"Yaa., Ayah..."
Semua gambaran itu semakin memudar., Kemudian menghilang dan tergantikan dengan Sila yang mulai membuka matanya perlahan.
"Ah? Aku di mana?" batin Sila. "Mimpi apa itu?"
"Ibu? Ibu baik-baik saja?" Suara Noel mulai terdengar.
"Noel?" -batin Sila.
Sila mulai mengalihkan tatapannya ke arah Noel, tanpa sengaja tataannya bertemu dengan Avel. Namun Sila tak memedulikan itu, ia lebih fokus menatap Noel sekarang.
Sila tersenyum. "Sayang?" Panggil Sila lembut dan lemah.
"Hiks.., Ibu? Ibu baik-baik saja?" Tanya Noel khawatir.
Sila mengangguk perlahan. "Ibu sangat baik, bagaimana dengan Noel?"
"Selama dua hari ini Noel tidur dengan Ayah." Ujar Noel. "Noel rindu Ibu."
"Dua hari? Aku tidur dua hari? Entahlah., Mengapa aku merasa aku seperti babi sekarang?" batin Sila. "Dia tidak mungkin berpikir aku ini jelmaan babi bukan?"
"Kau tidak suka tidur dengan ku?" Tanya Avel pada Noel.
"Ah? Noel suka tidur dengan ayah., Tapi., Ibu selalu menepuk-nepuk punggung Noel. Ibu juga selalu menyanyikan lagu tidur untuk Noel." Ujar Noel.
Avel terdiam.
"Ku kira dia tidak perduli dengan anaknya sendiri..." -batin Avel.
"Baiklah, mulai nanti malam Noel bisa tidur dengan Ibu." Ujar Sila.
"Sungguh Ibu?!" Tanya Noel semringah.
"Tentu saja!" Jawab Sila.
Langsung saja Noel menghamburkan dirinya ke arah Sila, memeluk Sila erat seakan tidak mau melepaskannya.
"Noel? Keluar lah, Ayah ingin berbicara dengan Ibumu." Ujar Avel.
"Baik Ayah..."
Cup.
"Sampai jumpa Ibu!" Ujar Noel sambil mengecup pipi Sila singkat.
Sila terpaku dengan hati yang berbunga-bunga di tempat, oh ya ampun! Betapa menggemaskannya Noel?
"Anakku memang yang paling tampan." -batin Sila.
Sila terus tersenyum tanpa menyadari bahwa Noel sudah pergi dari ruangan, dan hal itu tak luput dari penglihatan Avel. Avel bahkan di buat heran dengan sikap Sila.
"Apa kau sudah gila karna tidur selama dua hari?" Tanya Avel datar.
Sila tersadar.
"Diam kau! Aku hanya memuja wajah tampan Anakku! Dia sangat menggemaskan dan tampan! Ah dia memang Anakku." Ujar Sila.
"Anak Kita." Tekan Avel. "Lagi pula sebagian besar wajahnya mirip dengan ku."
Sila terdiam. "Sejak kapan si brengsek ini menganggap Noel anaknya?" Batin Sila. "Setelah tidur dua hari dengan Noel, dan sekarang kau ingin menjadi Ayahnya? Tidak akan ku biarkan."
"Ada apa dengan tatapan mu itu? Aku benar-benar Ayahnya." Ujar Avel.
"Cih."
"Kau!"
"Memangnya kau pernah memenuhi tugas mu sebagai seorang Ayah?!" Kesal Sila.
Kali ini Avel lah yang di buat terdiam.
Avel menghela nafasnya pelan. "Maafkan aku." Ujar Avel sambil menundukkan kepalanya sedikit.
DEG.
Sila terdiam.
"A-Ada apa dengan pria ini? Apa barusan dia meminta maaf? Seorang Avel meminta maaf? Ini pertama kalinya aku mendengar kata maaf dari dirinya, dalam ingatan Sila pun tidak ada." -Batin Sila.
"Kenapa kau diam?" Tanya Avel.
"Kau meminta maaf padaku?" Tanya Sila.
"Tentu saja." Jawab Avel malas.
"Kalau begitu tidak akan ku maafkan." Ujar Sila santai.
"Apa?!" Kaget Avel.
"....."
"Sila?! Aku sudah merendahkan diri untuk meminta maaf! Tidakkah kau merasa kau keterlaluan?" Tanya Avel.
"Oh ya? Orang sepertimu berbicara tentang 'Keterlaluan'?" Tanya Sila. "Lalu bagaimana dengan perlakuan mu padaku! Yang membiarkan aku tinggal di tempat dingin itu, dan membiarkan aku memakai baju kotor! Bagaimana dengan membiarkan para pelayan menindas ku?!" Teriak Sila tak terima.
Avel terdiam. Ini pertama kalinya ia melihat sosok Sila yang penuh akan emosi dan amarah.
"Tempat dingin? Apa maksudnya? Bukankah dia yang meminta tinggal di sana? Dan lagi., Aku sama sekali tidak tahu para pelayan rendahan itu merendahkannya, padahal dia seorang Duchess." -Batin Avel.
"Sekarang kau diam?! Bagaimana dengan perlakuan mu pada Noel?! Dia anak mu! Jika kau membenciku, setidaknya jangan benci dengan Noel! Dia adalah Anakmu!"
"Sila dengarkan ak-"
"Kau bahkan membiarkan jalang merah itu memukul darah daging mu sendiri! Kau membiarkan Anakku penuh dengan luka! Apa kau pantas menjadi seorang Ayah hah?! Apa kau pantas?!"
"Sila deng-"
"Tidak! Aku tidak mau dengar apa pun darimu! Tidak ada yang bisa aku dengar dari orang tidak punya hati seperti mu! Aku tid-"
"SILA?! DENGARKAN AKU!" Bentak Avel.
DEG.
Sila terdiam. Ini pertama kalinya Avel membentaknya, juga pertama kalinya ada seseorang yang membentaknya. Pasalnya di kehidupan sebelumnya pun Sila tidak pernah merasakan kedekatan atau kemarahan dari siapa pun.
Air mata mulai mengalir keluar dari sudut matanya, mata cantik itu berubah merah. Sila benar-benar mengeluarkan segala kekesalannya.
Avel tersadar. Ia langsung menghela nafasnya panjang dan menatap Sila. "Haah., Maafkan aku." Ujar Avel menyesal.
"....." Sila tak menjawab.
"Masalah tentang tinggal di loteng, aku sama sekali tidak tahu. Kau lah yang memintanya. Kau yang meminta agar tinggal di sana dengan alasan agar kau tidak bertemu dengan kami. Kau tidak ingin bertemu siapa pun." Ujar Avel.
Sila terdiam. "Apa...? Aku yang meminta? Mana mungkin, itu sama saja ingin membunuh diri sendiri." Batin Sila. "Tapi., Dalam ingatan Duchess Sila, justru dia yang di paksa tinggal di loteng."
"Aku tidak tahu masalah pelayan rendahan itu merundung mu, karna kau selalu menutup diri." Ujar Avel.
"Mana mungkin kau tidak tahu?" -batin Sila.
"Aku sungguh tidak tahu apa pun, apa kau pikir pekerjaan ku sebagai Duke hanya sebuah gelar saja? Mana mungkin aku mengurusi hal seperti itu?" Tanya Avel. "Kau lah yang selalu menutup diri."
"Tidak..., Jelas-jelas kau yang menyuruh aku tinggal di sana, karna kau tidak ingin melihat aku." Ujar Sila.
Avel menggeleng. "Tidak! Aku juga tidak tahu tentang Noel."
"Apa maksudnya ini? Apakah itu Sona?" -batin Sila.
"Alasan ku tetap mempertahankan gelar Duchess padamu karna ini, agar kau tidak perlu takut dengan apa pun, tidak ada yang bisa merundung mu." Ujar Avel.
"Apa maksudnya ini? Apa aku salah paham? Kalau bukan dia.., itu berarti...." -batin Sila.
Merasa Sila hanya diam saja, Avel pun sedikit mendesah pasrah. Lalu ia pun bangkit dan hendak pergi.
"Kau istirahat lah, tenangkan dirimu. Nanti kita bicarakan lagi." Ujar Avel.
Blam!
Avel benar-benar pergi meninggalkan Sila sendiri dalam ruangan. Sila terus terdiam sembari menatap kosong ke depan. Pikirannya saat ini begitu kelut, apa yang harus ia lakukan?
"Aku harus mencari tahu., Lagi pula kalau di pikir-pikir pun, untuk apa dia mempertahankan gelar Duchess padaku? Padahal Sona lah yang lebih cocok. Itu cukup menjelaskan." batin Sila.
Bersambung....