webnovel

MEMBARA

"Jangan ragu untuk minta maaf secara berlebihan," Peeta memberi saran.

Jadi saat kami kembali ke gerbong makan, ketika orangorang masih makan, aku minta maaf pada Effie. Menurutku permintaan maafku sudah jauh lebih besar daripada kesalahanku tapi dalam pikiran Effie mungkin aku cuma berhasil menunjukkan tata krama yang baik sehabis melanggar etiket. Tapi Effie pantas diacungi jempol, dia menerima permintaan maafku dengan elegan. Dia bilang, jelas aku berada di bawah tekanan yang teramat besar. Dan komentar-komentarnya tentang ada orang yang harus mematuhi jadwal hanya bertahan sekitar lima menit. Aku benar-benar lolos dengan mudah.

Ketika Effie selesai, Peeta mengajakku berjalan melewati beberapa gerbong untuk melihat lukisan-lukisannya. Aku tidak punya perkiraan apa-apa tentang lukisannya. Mungkin versi besar dari hiasan bunga di atas kue keringnya. Tapi yang kulihat sama sekali berbeda. Peeta melukis Hunger Games.

Sebagian tidak bisa langsung dipahami, jika tidak benarbenar bersamanya di arena. Air menetes di celah gua kami. Kolam kering. Sepasang tangan tangannya yang menggali tanah mencari umbi-umbian. Lukisan-lukisan Iain akan dikenali dengan mudah. Trompet emas yang disebut Cornucopia. Clove menyusun pisau-pisau di bagian dalam jaketnya. Salah satu mutt, berambut pirang dan bermata hijau yang dulunya pasti Glimmer, menggeram sambil berusaha menerjang kami. Dan aku. Aku ada di mana-mana. Tinggi di atas pohon. Memukulkan baju di bebatuan di sungai. Terbaring tak sadarkan diri di atas genangan darah. Dan ada satu Yang tak kukenali— mungkin seperti ini tampaknya aku ketika demam tinggi bangkit dari kabut perak kelabu yang sama dengan warna mataku.

"Bagaimana menurutmu?" tanyanya.

"Aku membencinya," jawabku. Aku nyaris bisa mencium bau darah, tanah, bau napas mutt yang terasa tidak alami. "Selama ini aku berusaha mati-matian untuk melupakan arena pertarungan dan kau menghidupkannya lagi. Bagaimana ka bisa mengingat semua itu dengan begitu jelas?"

"Aku melihatnya setiap malam," kata Peeta,

Aku tahu maksudnya. Mimpi-mimpi buruk yang buka barang baru lagi buatku sebelum Hunger Games kini meng hantuiku setiap kali aku tidur. Tapi mimpi buruk lamaku mimpi tentang ayahku yang meledak berkeping-keping, suda jarang. Belakangan, mimpiku jelas sekali tentang apa yan terjadi di arena. Usahaku yang sia-sia ketika berusaha m nyelamatkan Rue. Peeta yang nyaris mati kehabisan darah Tubuh Glimmer yang menggembung lalu hancur di tanganku Akhir hidup Cato yang mengerikan dengan para mutt. Itula mimpi-mimpi buruk yang sering muncul. "Aku juga. Apaka jadi lebih baik? Dengan melukiskannya?"

"Aku tidak tahu. Aku rasa aku sedikit tidak takut lagi untu tidur pada malam hari, atau begitu yang kukatakan pada diri ku sendiri," katanya. "Tapi mimpi-mimpi itu tidak ke man mana."

"Mungkin mimpi-mimpi itu takkan pernah pergi. Haymitc masih bermimpi." Haymitch tidak mengatakannya, tapi ak yakin ini sebabnya dia tidak suka tidur dalam kegelapan.

"Memang. Tapi bagiku, lebih baik bangun dengan tanga memegang kuas daripada pisau," katanya. "Jadi kau bena benar membencinya?"

"Ya. Tapi lukisan-lukisan itu luar biasa. Sungguh," katak Memang lukisannya luar biasa indah. Tapi aku tidak mau m lihatnya lagi. "Kau mau lihat bakatku? Cinna melakukanny dengan baik."

Peeta tertawa. "Nanti saja." Kereta bergerak maju, dan aku bisa melihat daratan bergerak melewati kami melalui jendela "Kemari, kita hampir tiba di Distrik Sebelas. Ayo kita Iiha dulu."

Kami tiba di gerbong paling ujung. Ada beberapa kursi dan sofa yang bisa jadi tempat duduk, tapi yang menyenangkan adalah jendela-jendela belakang bisa dibuka hingga ke langitlangit jadi kami bisa berkereta di luar, di udara yang segar, dan kau bisa melihat pemandangan alam membentang luas. Tanah-tanah terbuka dengan kawanan-kawanan ternak penghasil susu sedang merumput. Jauh berbeda dengan rumah  kami yang tertutup rapat. Kereta kami perlahan-lahan me lambat dan kupikir kami akan berhenti sebentar Iagi, ketika ada pagar tegak menjulang di depan kami. Berdiri kurang lebih sepuluh meter di udara dan ditutup dengan lilitan kawat berduri di atasnya, pagar ini membuat pagar yang ada di Distrik 12 seperti tak ada artinya. Mataku segera memeriksa bagian dasar pagar, yang penuh dengan deretan pelat logam. Pasti tidak bisa menggali liang di bawah sana, tidak bisa meloloskan diri untuk berburu. Lalu aku melihat menara-menara pengawas, yang ditempatkan dengan jarak yang sudah diatur, dijaga oleh para petugas bersenjata, tampak tidak cocok berada di antara hamparan bunga-bunga liar di sekitar mereka.

"Nah, itu kelihatan beda," kata Peeta.

Rue pernah memberi kesan bahwa peraturan-peraturan diterapkan dengan lebih keras di Distrik l l . Tapi aku tidak membayangkannya seperti ini.

Sekarang sedang musim panen, terhampar sejauh mata memandang. Lelaki, perempuan, dan anak-anak mengenakan topi jerami untuk menghalangi sengatan matahari, kini berdiri dan menoleh memandang kami, mengambil waktu untuk meluruskan punggung ketika mereka melihat kereta kami berlalu. Aku bisa melihat kebun buah-buahan di kejauhan, dan aku ber tanya-tanya apakah Rue pernah bekerja di sana, memetik buah dari dahan-dahan paling tinggi di pepohonan. Gubuk-gubuk masyarakat—tampak lebih bagus jika dibandingkan dengan rumah-rumah di Seam—dibangun di sana-sini, tapi semuanya tak berpenghuni. Semua harus turun membantu ketika masa panen tiba.

Hamparan pemandangan itu terus berlanjut. Aku tidak menyangka betapa luasnya ukuran Distrik 11 . "Menurutmu berapa banyak orang yang tinggal di sini?" tanya Peeta. Aku menggeleng tidak tahu. Di sekolah mereka menyebutnya distrik yang besar, itu saja. Tidak ada jumlah penduduk yang disebutkan. Tapi anak-anak yang kami lihat lewat kamera pada hari pemungutan setiap tahun tidak mungkin cuma sampling dari anak-anak yang sesungguhnya tinggal di sini. Apa yang mereka lakukan? Melakukan pemungutan awal? Memilih pemenang lebih dulu dan memastikan mereka ada di antara yang hadir saat pemungutan? Bagaimana caranya Rue bisa berada di panggung tanpa ada seorang pun yang mau menggantikannya?

Aku mulai lelah melihat luasnya tempat yang tak berujung ini. Ketika Effie memberitahu kami untuk berganti pakaian, aku langsung menurut. Aku pergi ke kompartemenku dan membiarkan tim persiapanku menata rambut dan hiasan wajahku. Cinna masuk membawa rok oranye indah berpola daun-daun musim gugur. Kupikir Peeta akan menyukai warna itu.

Effie menjelaskan program hari ini kepada aku dan Peeta untuk terakhir kalinya. Di sebagian distrik, para pemenang diarak keliling kota sementara para penduduk bersorak menyambut. Tapi di Distrik Il—mungkin karena memang tidak banyak kota yang bisa dilewati, karena wilayah ini tersebar luas, atau mungkin karena mereka tidak ingin kehilangan orang sementara mereka dibutuhkan untuk memanen—penampilan publik kami dilaksanakan di alun-alun. Alun-alun itu berada di depan Gedung Pengadilan, yang berupa gedung marmer raksasa. Dulunya gedung ini pasti indah, tapi waktu telah mengikisnya. Bahkan lewat televisi, kau bisa melihat tanaman merambat menguasai bagian depan gedung yang mulai rapuh, dan atapnya yang mulai doyong. Alun-alun sendiri dikelilingi toko-toko yang bagian depannya sudah lapuk, kebanyakan sudah ditinggalkan pemiliknya. Di mana pun penduduk "berada" yang tinggal di Distrik I I , pasti tempatnya bukan di sini.

Penampilan publik kami sepenuhnya berlangsung di luar, di tempat yang disebut Effie sebagai beranda, ruangan luas berubin antara pintu depan dan tangga namun tertutup atap yang ditunjang pilar-pilar. Aku dan Peeta akan diperkenalkan di sana, wali kota Distrik 1 1 akan membacakan pidato untuk menghormati kami, dan kami akan menjawabnya dengan ucapan terima kasih yang sudah dituliskan oleh Capitol. Jika pemenang memiliki sekutu istimewa di antara peserta-peserta yang tewas, menambahkan beberapa komentar pribadi dianggap menunjukkan niat baik. Harusnya aku mengatakan sepatah-dua patah kata tentang Rue dan Thresh, tapi setiap kali aku berusaha menulisnya di rumah, aku cuma memandangi kertas kosong. Sulit bagiku untuk bicara tentang mereka tanpa merasakan emosi yang meluap. Untungnya, Peeta sudah menulisnya, dan dengan sedikit tambahan, tulisannya bisa jadi dari kami berdua. Pada akhir upacara, kami akan diberi semacam plakat, lalu kami bisa masuk ke Gedung Pengadilan, dan makan malam akan disajikan di sana.

Ketika kereta masuk ke stasiun Distrik I I, Cinna memberikan sentuhan terakhir pada pakaianku, mengganti ikat rambut kuning dengan ikat rambut emas metalik lalu memasang pin mockingjay yang kupakai di arena ke pakaianku. Tidak ada komite penyambutan di peron, hanya ada tim Penjaga Perdamaian yang terdiri atas delapan orang, yang mengarahkan kami agar naik ke bagian belakang truk berlapis baja. Effie mendengus ketika pintu berdentam menutup di belakang kami. "Sungguh, kita semua dianggap seperti penjahat," katanya.

Bukan kita semua, Effie. Hanya aku, pikirku.

Truk berhenti di bagian belakang Gedung Pengadilan dan kami turun. Kami bergegas masuk ke gedung. Aku bisa mencium aroma makanan Iezat yang sedang disiapkan, tapi aroma itu tidak menghilangkan bau gedung yang sudah berlumut dan berjamur. Mereka tidak memberi kami waktu melihat-lihat. Ketika kami berbaris masuk lewat pintu depan, aku bisa mendengar lagu kebangsaan mulai dilantunkan di alun-alun. Ada orang yang memasangkan mikrofon padaku. Peeta menggenggam tangan kiriku. Wali kota memperkenalkan kami ketika pintu-pintu besar itu mendecit terbuka dengan susah payah.

"Senyum lebar!" kata Effie, lalu mendorong kami. Kaki kami mulai bergerak maju.

Ini dia. Ini dia saatnya ketika aku harus meyakinkan semua orang bahwa aku jatuh Cinta setengah mati pada Peeta, pikirku. Upacara yang khidmat ini sudah direncanakan sedemikian rupa, jadi aku tidak tahu bagaimana melakukannya. Bukan saatnya untuk ciuman, tapi mungkin aku bisa mengakalinya.

Terdengar tepukan tangan keras, tapi tidak ada sambutan Iain seperti teriakan, sorakan, dan siulan yang kami terima di Capitol. Kami berjalan melintasi beranda yang terlindung dari sengatan panas hingga atapnya habis dan kami berdiri di puncak tangga marmer raksasa di bawah sinar matahari yang membara.